Tanamkan Sikap Toleransi Anti-Kekerasan ke Anak
Mereka yang agresif akan menganggap bahwa sifat toleransi itu menunjukkan kelemahan.
Beri pemahanan toleransi sejak dini anak agar tidak agresif mudah melakukan kekerasan.
Marak Bullying, Orangtua Perlu Tanamkan Sikap Toleransi Anti-Kekerasan pada Anak
Orangtua harus memberikan pola pendidikan tepat untuk anaknya. Pendidikan yang baik dapat membentuk karakter anak secara sehat, sehingga jauh dari sifat agresif yang cenderung mengarah pada tindak kekerasan.
Aktivis pemerhati isu anak dan toleransi, Tika Bisono menjelaskan bahwa penelitian terkait kekerasan dilakukan anak-anak sudah banyak.
Ada korelasi antara pelaku kekerasan yang telah dewasa dengan miskinnya pemahaman toleransi yang ditanamkan ketika masih anak-anak.
Menurutnya, di usia dini sangat mudah memupuk berbagai pemahaman terhadap anak, termasuk paham kekerasan. Latar belakang paham kekerasan adalah sifat agresif yang sarat pemaksaan.
Seseorang yang jalan pikirannya sudah didominasi paham kekerasan, akan menolak penyelesaian masalah atau pencapaian tujuan dengan cara toleran.
"Sifat agresif, koersif, intimidatif, pemaksaan, merupakan elemen-elemen yang ada ditindak kekerasan. Jika dipupuk atau diberi ruang, maka yang akan terjadi adalah distorsi pemahaman, bahwa kekerasan itu adalah cara satu-satunya untuk mendapatkan hal yang diinginkan."
Demikian disampaikan Tika yang juga Psikolog
merdekacom
Mereka yang agresif akan menganggap bahwa sifat toleransi itu menunjukkan kelemahan. Menurut Tika, toleransi itu membuat posisi kita setara dengan orang lain.
Orang yang agresif akan melihat bahwa untuk mendapatkan kendali tidak boleh setara dengan sesamanya.
"Posisi orang yang mengendalikan ada di atas yang dikendalikan. Tentunya sangat berbahaya jika realitanya saat ini sudah banyak lembaga pendidikan anak di Indonesia yang justru menanamkan prinsip kekerasan dan intoleransi sedari dini."
Tika mengatakan, seorang yang agresif saat menemukan hambatan dalam proses akan memaksa pihak lain setuju dengannya.
Tika mengatakan, mereka yang berpaham kekerasan sebenarnya sudah melanggar empat pilar kebangsaan, yaitu UUD 45, Pancasila, NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika. Kalau sudah seperti itu maka tidak ada tempat di Indonesia.
Tika menilai jika ada yang bisa diapresiasi pada masa pemerintahan Orde Baru, maka kita akan tertuju pada penekanan rasa nasionalisme. Di zaman itu, pernah ada Undang-Undang Subversif yang membatasi ruang gerak kelompok radikal.
"Ketegasan Pemerintah kala itu dalam menjaga keutuhan NKRI perlu diacungi jempol, walaupun tetap ada hal yang harus dikritisi," terang Tika.
Tika yang juga psikolog ini mengungkapkan sebenarnya sudah ada puluhan sekolah yang ditemukan mengajarkan paham intoleransi dan kekerasan. Tika mengatakan, Pemerintah perlu melihat langsung ke sekolah-sekolah ini untuk menemukan adanya pelanggaran kurikulum pendidikan.
Dia menambahkan, jika kita berkaca pada negara-negara maju, sebenarnya cara Indonesia menanamkan rasa nasionalisme pada generasi muda perlu ditingkatkan. Sebagai contoh, sebelum pelajaran dimulai, siswa Amerika Serikat mengucapkan sumpah setia terhadap negaranya.
Meski begitu, Tika melihat, semangat kebhinekaan hanya ditemukan di Indonesia. Bahkan beberapa negara lain seperti Singapura, Malaysia justru iri karena sulit sekali menyatukan etnis.
"Mereka pun iri melihat Indonesia walaupun terdiri dari banyak etnis dan suku bisa sepakat untuk bersatu dan menggunakan bahasa yang sama. Ini jelas tidak akan kita temukan di manapun kecuali hanya di Indonesia."
tutup Tika.
merdekacom