UU Kesehatan: Anggaran Wajib 5 Persen untuk Kesehatan di APBN Dihapus
Dalam UU Kesehatan terbaru ini, anggaran wajib untuk sektor kesehatan atau spending mandatory dihapus.
UU Kesehatan: Anggaran Wajib 5 Persen untuk Kesehatan di APBN Dihapus
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan menjadi Undang-Undang (UU). Dalam UU terbaru ini, anggaran wajib untuk sektor kesehatan atau spending mandatory dihapus.
Dalam Pasal 402 ayat 1 UU Kesehatan hanya menyebut, pemerintah pusat melakukan pemantauan secara nasional dan regional untuk memastikan tercapainya tujuan pendanaan kesehatan.
“Untuk mendukung pemantauan pendanaan Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemerintah pusat mengembangkan sistem informasi pendanaan kesehatan yang terintegrasi dengan Sistem Informasi Kesehatan Nasional.”
demikian isi Pasal 402 ayat 2 dikutip, Selasa (11/7).
merdeka.com
Sementara pada ayat 4, setiap fasilitas layanan kesehatan, instansi pemerintah pusat dan daerah, sampai badan penyelenggara jaminan sosial kesehatan harus melaporkan realisasi belanja kesehatan dan hasil capaian setiap tahun. Hal yang sama berlaku bagi badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, lembaga swasta, dan mitra pembangunan yang menjalankan fungsi kesehatan.
Pendanaan kesehatan pada UU Kesehatan ini sangat berbeda dengan UU Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan. Pada Pasal 171 UU Nomor 36 Tahun 2009, besar anggaran kesehatan pemerintah dialokasikan minimal sebesar 5% dari anggaran pendapatan dan belanja negara di luar gaji. Sementara besar anggaran kesehatan pemerintah daerah provinsi, kabupaten atau kota dialokasikan minimal 10% dari anggaran pendapatan dan belanja daerah di luar gaji. “Besaran anggaran kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diprioritaskan untuk kepentingan pelayanan publik yang besarannya sekurang-kurangnya 2/3 dari anggaran kesehatan dalam anggaran pendapatan dan belanja negara dan anggaran pendapatan dan belanja daerah,” bunyi Pasal 171 ayat 3 UU Nomor 36 Tahun 2009.Sebelumnya, sejumlah guru besar lintas disiplin keilmuan dan profesi yang tergabung dalam Forum Guru Besar Lintas Profesi (FGBLP) menyoroti hilangnya pasal terkait mandatory spending dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan. Hal ini tercantum dalam poin ketiga petisi FGBLP dalam usulannya untuk menunda pengesahan RUU Kesehatan. "(a) Hilangnya pasal terkait mandatory spending yang tidak sesuai dengan amanah Abuja Declaration WHO dan TAP MPR RI X/MPR/2001," kata Perwakilan FGBLP Laila Nuranna dalam acara konferensi pers secara daring di Jakarta, Senin (10/7). Dia mengatakan, isu tersebut berpotensi mengganggu ketahanan kesehatan bangsa karena tidak kondusif dan menunjukkan ketidakberpihakan pemerintah kepada ketahanan kesehatan bangsa yang adekuat.
Sementara Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengatakan, kementeriannya mengusulkan mekanisme rencana induk kesehatan lima tahun sebagai metode baru menggantikan program mandatory spending.
"Pengalaman mandatory spending itu tidak 100 persen mencapai tujuan. Tujuan dialokasikan mandatory spending bukan besarnya alokasi, tapi adanya komitmen spending (pengeluaran) anggaran dari pemerintah untuk memastikan program di sektor tertentu bisa berjalan," katanya usai Rapat Kerja (Raker) bersama Komisi IX DPR RI di Jakarta pada 19 Juni 2023.
Berbekal pengalaman tersebut, Kemenkes telah berupaya mengusulkan metode lain yang lebih efektif dan efisien untuk mencapai pemenuhan dari substansi alokasi anggaran kesehatan yaitu komitmen pemerintah untuk melaksanakan program di sektor tertentu. Metode baru tersebut dikonsultasikan ke Komisi IX DPR RI untuk menyusun program yang lebih jelas agar pelaksanaan program kesehatan di berbagai sektor dapat menyerap anggaran secara maksimal. "Selama programnya jelas, pengeluaran anggarannya jelas, tidak pernah Menteri Keuangan tidak mendukung itu. Dari pada kami taruh uang sekian, tapi programnya tidak ada, itu bisa terjadi kebocoran, ketidakefisienan dari anggaran yang kami berikan," kata Budi.