Wacana pemerintah gunakan UU Pemilu lama membuat DPR meradang
Merdeka.com - Pengambilan keputusan isu-isu krusial terutama ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) masih mengalami jalan buntu. Pemerintah mengeluarkan wacana untuk kembali menggunakan Undang-Undang (UU) Pemilu lama jika pembahasan revisi mengalami tetap deadlock dan tak kunjung mencapai titik temu.
Wacana pemerintah menggunakan UU Pemilu lama ini langsung menuai reaksi dari DPR dan sejumlah elit partai politik. Kekeh atau ngototnya pemerintah soal ambang batas pencalonan Presiden (presidential threshold) untuk Pemilu 2019 di angka 20 persen, dipertanyakan. Ada yang menduga, dengan ambang batas pencalonan Presiden di angka 20 persen, maka berpeluang besar akan muncul calon presiden tunggal dan bahkan melawan calon boneka.
DPR meradang lantaran pemerintah berencana menggunakan UU Pemilu lama jika pembahasan RUU Pemilu tak kunjung selesai. Wakil Ketua Pansus RUU Pemilu Ahmad Riza Patria mengaku kaget dengan usulan pemerintah tersebut.
-
Mengapa KPU perlu membuat peraturan pemilu? Menyusun peraturan pemilu yang mengatur aturan dan prosedur yang harus diikuti oleh semua peserta pemilu, seperti tata cara pencalonan, penggunaan surat suara, kampanye, pengawasan, dan penghitungan suara.
-
Apa perubahan UU Pemilu terbaru? Salah satu perubahan yang tercantum pada Undang Undang Pemilu terbaru ini adalah Pasal 10A yang mengatur pembentukan Komisi Pemilihan Umum (KPU) di provinsi-provinsi baru.
-
Mengapa UU Pemilu terbaru diterbitkan? Penerbitan Undang-Undang baru ini sebagai langkah signifikan dalam reformasi sistem Pemilu di Indonesia.
-
Bagaimana UU Pemilu terbaru diubah? Undang Undang Pemilu tersebut terbit pasca Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menyetujui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2022 yang mengubah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu menjadi Undang Undang yang lebih adaptif.
-
Siapa yang mengatur UU Pemilu? UU Pemilu Nomor 7 Tahun 2017, Ketahui Asas, Prinsip, dan Tujuan UU Pemilu mengatur segala sesuatu tentang penyelenggaraan pemilu.
-
Mengapa Bawaslu perlu mempelajari UU 7/2017 dan 10/2016 untuk Pilkada 2024? 'Dan pelajaran yang terpenting adalah pengawas pemilu harus cepat menggunakan kacamata Undang-Undang 7/2017 (tentang Pemilihan Umum). Dia harus secara cepat juga bisa berubah menggunakan Undang-Undang 10/2016 (tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015),' jelasnya.
"Saya kaget kenapa ada opsi pakai UU lama, ada opsi Perppu mekanisme ini dimungkinkan tapi enggak perlu muncul kalau kita optimis UU ini selesai. Ini pasti selesai enggak ada yang selesai. Tinggal satu point ya sudah di voting saja selesai," kata Riza di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (11/7).
Politikus Gerindra ini menegaskan, pemerintah tidak diperbolehkan menarik diri dari pembahasan RUU Pemilu hanya karena sikapnya soal angka ambang batas Presiden 20 persen tidak diakomodir oleh Pansus. Riza merasa heran dengan sikap pemerintah yang terkesan 'ngotot' memaksakan ambang batas pencalonan Presiden di angka 20 persen. Padahal, kata Riza, pemerintah tidak memiliki kewenangan untuk mencalonkan pasangan calon Presiden di Pemilu serentak 2019.
"Dari sekian isu belum satu isu belum selesai yaitu PT. Saya agak heran pribadi kok pemerintah ngotot di UU diatur siapa yang punya kewenangn siapa. Yang punya kewenang mengusung yakni parpol atau gabungan parpol bukan pemerintah. Eksekutif enggak punya hak dan kewenangan," tegasnya.
Belum lagi, kata dia, pandangan sejumlah hakim Mahkamah Konstitusi yang menyebut Pemilu bakal ilegal apabila tetap menggunakan ambang batas. "Dari PT karena serentak sudah banyak pakar bahkan tiga eks hakim MK menyampaikan ini ilegal kalau ada treshold masa Pemilu 2019 menggunakan threshold 2014 yang sudah terpakai untuk kepentingan 2019," tambahnya.
Sedangkan Wakil Ketua Panitia Khusus RUU Pemilu Yandri Susanto mengungkapkan, sejumlah konsekuensi apabila pemerintah memakai UU Pemilu lama. Salah satu imbasnya adalah KPU dan Bawaslu tidak memiliki pedoman dalam membuat peraturan KPU untuk gelaran Pemilu serentak 2019.
"Detail peraturan yang akan diterjemahkan oleh KPU dan Bawaslu, dan termasuk peserta itu tidak ada pedoman. Sementara pemilu untuk pertama kali serentak," kata Yandri di Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (11/7).
Politikus PAN ini menyesalkan rencana pemerintah yang wacanakan kembali ke UU Pemilu lama sebagai alat untuk menyandera pengambilan keputusan isu-isu RUU Pemilu. Alih-alih agar Pansus mengakomodir sikap pemerintah soal ambang batas pencalonan presiden 20 persen. Pemerintah dianggap tidak fair gara-gara satu pasal yang kemudian menyebabkan kembali ke UU Pemilu lama.
Oleh karenanya, dia berharap, persoalan angka ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) yang diajukan pemerintah sebesar 20-25 persen, tidak mengorbankan persiapan pemilu serentak.
"Harapan kami seperti yang disampaikan kemarin janji pak menteri waktu awal pembahasan pansus, bahwa ini rezim partai politik, haknya parpol, maka pemerintah mengikuti mayoritas partai politik kalau enggak ada musyawarah mufakat," pungkasnya.
Pandangan tidak adil dan tidak fair jika pemerintah menarik diri dalam pembahasan RUU Pemilu dan menggunakan UU Pemilu lama disampaikan Wakil Ketua Majelis Syuro Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Hidayat Nur Wahid.
"Saya kira itu tindakan yang tidak fair dari pemerintah main ancam, pastilah bukan langkah demokratis dan perlu dicatat juga keterlambatan karena faktor pemerintah," katanya di Gedung DPR, Senayan, Jakarta Pusat, Selasa (11/7).
Politikus PKS ini menilai pemerintah yang sebenarnya terkesan memperlambat proses pembahasan RUU Pemilu. Karena pemerintah terlalu ngotot dengan keinginannya di isu krusial termasuk presidential threshold.
"Karena pemerintah mau ngotot dengan sendiri gitu. Harusnya semua saling berdialog untuk menemukan titik tengah. Jadi menurut saya sebaiknya pemerintah tidak mengembangkan budaya saling mengancam karena itu tidak demokratis dan tidak reformis," ujarnya.
Selain itu, mantan Ketua MPR ini mengungkapkan, penggunaan UU pemilu yang lama sudah tidak sesuai dengan kondisi Indonesia sekarang. Jika hal itu terus dilakukan, kata Hidayat, akan melanggar konstitusi.
"Kembali pada UU lama ada kondisi sudah sangat berubah. Tidak mungkin UU lama dipakai untuk sekarang, dulu belum ada Provinsi Kalimantan Utara, sekarang ada apa mau diabaikan? itu melanggar konstitusi," tuturnya.
Sedangkan Wakil Ketua Umum Partai Demokrat Roy Suryo dengan tegas menolak usulan pemerintah terkait wacana menggunakan UU Pemilu lama jika pembahasan RUU Pemilu yang tengah dibahas DPR tak mencapai titik temu. Dia berharap pemilu serentak pada 2019 mendatang menggunakan UU Pemilu baru yang saat ini revisinya sedang dibahas DPR.
"Artinya dengan sistem baru Pileg yang bersamaan dengan pilpres, itu tak seharusnya ada yang namanya presidential threshold untuk Pilpres. Karena bagaimana pun juga presidential threshold itu ditentukan oleh hasil pemilu," kata Roy di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (11/7).
Roy menyarankan pemerintah dan Pansus RUU Pemilu melihat putusan Mahkamah Konstitusi (MK) soal pemilu dengan format serentak. Untuk itu, Partai Demokrat mengusulkan ambang batas pencalonan Presiden di angka 0 persen sebagai representasi dari putusan MK.
"Makanya kembali ke putusan MK berarti tak ada threshold. Artinya sama saja dengan kembali ke usulan Partai Demokrat yang mengatakan bahwa tak ada threshold untuk melaksanakan putusan MK-nya," tegasnya.
Ketua Pansus RUU Pemilu Lukman Edy mengharapkan pemerintah mempertimbangkan kembali rencana untuk kembali menggunakan Undang-Undang lama. Dia mengingatkan, tanpa adanya revisi maka pelaksana pemilu serentak tidak memiliki landasan hukum selain keputusan Mahkamah Konstitusi.
Politikus PKB ini mengungkapkan, keputusan pemerintah tersebut juga bisa mengganggu jalannya pemilihan kepala daerah yang tengah mengalami proses penyesuaian agar dapat serentak. Sebab KPU nantinya tidak akan memiliki landasan hukum kuat dalam menyelenggarakan pesta demokrasi tersebut.
"Kalau keserentakan itu kan tidak tercantum dalam undang-undang lama. Apakah itu akan dijabarkan dalam peraturan KPU? Itu dia makanya ada problem legitimasi nanti. Artinya KPU akan membuat peraturan berkenaan keserentakan berlandaskan kepada keputusan Mahkamah Konstitusi bukan berdasarkan undang-undang," kata politisi PKB ini di Gedung DPR, Senin (10/7) malam.
Lukman mengungkapkan, jika terjadi penundaan dan kembali ke UU lama maka akan ada implikasi dari keputusan tersebut, baik secara politik, legitimasi, konstitusional hingga sosiologi masyarakat. Jangan sampai nantinya pelaksanaan pesta demokrasi ini berjalan tanpa adanya aturan main yang jelas dan tegas.
(mdk/msh)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
DPR akan mengesahkan Revisi Undang-Undang Pilkada (RUU Pilkada) dalam rapat paripurna, Kamis (22/8).
Baca SelengkapnyaDPR menampung usulan pembentukan undang-undang (UU) sapu jagat atau Omnibus Law Politik.
Baca SelengkapnyaDampak buruk yang bisa terjadi jika Baleg DPR RI menganulir putusan MK soal UU Pilkada, massa bisa turun ke jalan.
Baca SelengkapnyaRullyandi menilai, persetujuan pembentukan pansus oleh anggota dan pimpinan DPD RI ini pun melanggar UU MD3.
Baca SelengkapnyaYenny Wahid turut menolak RUU Pilkada. Dia memprotes sikap DPR merevisi UU Pilkada lewat sebuah postingan di akun Instagram @yennywahid.
Baca SelengkapnyaPerludem mengkritik keras putusan MA yang dianggap gagal menafsirkan UU
Baca SelengkapnyaPutusan Mahkamah Konstitusi (MK) tidak dapat dianulir badan legislatif maupun eksekutif.
Baca SelengkapnyaBerkaca dari pandemi Covid-19, konstitusi di Indonesia belum mengatur soal penundaan pemilu.
Baca SelengkapnyaBanyaknya tahapan Pilkada 2024 yang akan bersinggungan dengan tahapan Pemilu nasional 2024.
Baca SelengkapnyaRevisi ini dinilai sebagai praktik pembegalan demokrasi yang secara nyata dipertontonkan kepada publik.
Baca SelengkapnyaSebelumnya, Bamsoet mengklaim semua partai politik telah sepakat untuk melakukan amandemen UUD 1945.
Baca SelengkapnyaUsulan penundaan Pemilu 2024 kali ini diutarakan Bawaslu.
Baca Selengkapnya