Wakil Ketua Komisi II DPR: Tidak Perlu Wacana Penundaan Pemilu, Nanti Isunya Liar
Menurut Saan pelaksanaan Pemilu saat ini sebaiknya dijalankan sesuai UUD.
Menurut Saan pelaksanaan Pemilu saat ini sebaiknya dijalankan sesuai UUD
Wakil Ketua Komisi II DPR: Tidak Perlu Wacana Penundaan Pemilu, Nanti Isunya Liar
Wakil Ketia Komisi II DPR Saan Mustopa menolak wacana penundaan Pemilu 2024. Dia menyebut, isu penundaan Pemilu ini jangan diwacanakan kembali, sebab akan menimbulkan bias publik. "Jadi enggak perlu kita mewacanakan apa terkait soal penundaan Pemilu, nanti isunya liar. Apalagi misalnya nanti oh ada bencana, nanti macam-macam. Menurut saya dalam situasi menjelang Pemilu 2024, walaupun misalnya untuk yang akan datang, jangan sampai nanti diinterpretasi lain," kata Saan saat ditemui wartawan di Kompleks Parlemen DPR, Jakarta, (16/8).
Menurutnya, pelaksanaan Pemilu saat ini sebaiknya dijalankan sesuai UU No 8 Tahun 2012, UU No. 15 Tahun 2011, dan UU No. 42 Tahun 2008, beserta turunannya.
"Ya nanti darurat kan agak susah ya, agak bias nanti. Udah lah Undang-Undang yang terkait dengan Pemilu, baik yang ada dalam Undang-Undang Dasar dan sebagainya ya udah kita ikuti aja sekarang," beber Saan.
Selain itu, Saan melanjutkan, kalau pun isu amandemen tentang penundaan pemilu ingin dilaksanakan, sebaiknya dibahas setelah Pemilu 2024 berlangsung.
"Ya setelah Pemilu, kalaupun wacana mau dimunculkan, jangan dimunculkan wacana ini (penundaan pemilu), nanti akan menggganggu proses persiapan Pemilu 14 Februari 2024," pungkasnya.
Sementara itu, dalam sidang tahunan Ketua MPR Bambang Soesatyo mempertanyakan jika terjadi situasi darurat dan mengharuskan penundaan Pemilu, maka lembaga mana yang berhak untuk menentukan keputusan menunda pelaksanaan Pemilu. Pernyataan politikus yang akrab disapa Bamsoet itu terkait dengan amandemen UUD 45 yang mengubah status MPR dari sebelumnya lembaga tertinggi negara menjadi lembaga negara.
"Yang menjadi persoalan adalah, bagaimana sekiranya menjelang Pemilihan Umum terjadi sesuatu yang di luar dugaan kita bersama, seperti bencana alam yang dahsyat berskala besar, peperangan, pemberontakan, atau pandemi yang tidak segera dapat diatasi, atau keadaan darurat negara yang menyebabkan pelaksanaan Pemilihan Umum tidak dapat diselenggarakan sebagaimana mestinya, tepat pada waktunya, sesuai perintah konstitusi? Maka secara hukum, tentunya tidak ada Presiden dan / atau Wakil Presiden yang terpilih sebagai produk Pemilu," kata Bamsoet.
"Dalam keadaan demikian, timbul pertanyaan, siapa yang memiliki kewajiban hukum untuk mengatasi keadaan-keadaan bahaya tersebut? Lembaga manakah yang berwenang menunda pelaksanaan pemilihan umum? Bagaimana pengaturan konstitusional-nya jika pemilihan umum tertunda, sedangkan masa jabatan Presiden, Wakil Presiden, anggota-anggota MPR, DPR, DPD, dan DPRD, serta para menteri anggota kabinet telah habis ? 28 Masalah-masalah seperti di atas belum ada jalan keluar konstitusional-nya setelah Perubahan Undang-Undang Dasar 1945. Hal itu memerlukan perhatian yang sungguh-sungguh dari kita semua sebagai warga bangsa," lanjutnya.
Bamsoet melanjutkan, di masa sebelum perubahan Undang-Undang Dasar 1945, MPR masih dapat menetapkan berbagai Ketetapan yang bersifat pengaturan, untuk melengkapi kevakuman pengaturan di dalam konstitusi.
"Sesuai amanat ketentuan Pasal 1 ayat (2) UndangUndang Dasar, sebagai representasi dari prinsip daulat rakyat, maka MPR dapat di-atribusikan dengan kewenangan subyektif superlatif dan kewajiban hukum, untuk mengambil keputusan atau penetapan-penetapan yang bersifat pengaturan guna mengatasi dampak dari suatu keadaan kahar fiskal maupun kahar politik yang tidak dapat diantisipasi dan tidak bisa dikendalikan secara wajar. Idealnya memang, MPR RI dikembalikan menjadi lembaga tertinggi negara sebagaimana disampaikan Presiden ke-5 Republik Indonesia, Ibu Megawati Soekarnoputri saat Hari Jadi ke-58 Lemhannas tanggal 23 Mei 2023 yang lalu," pungkasnya. Magang: Fhandra Hardiyon