Bamsoet: Tidak Ada Amandemen, Apalagi Merubah Sistem Pemilihan Presiden di MPR
Bamsoet membantah pihaknya telah memutuskan bahwa pemilihan presiden akan dilakukan oleh MPR
Hal ini ditegaskannya usai Pimpinan MPR bertemu dengan Ketua Umum PKB, Muhaimin Iskandar
Bamsoet: Tidak Ada Amandemen, Apalagi Merubah Sistem Pemilihan Presiden di MPR
Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI Bambang Soesatyo membantah pihaknya telah memutuskan bahwa pemilihan presiden akan dilakukan oleh MPR. Hal ini ditegaskannya usai Pimpinan MPR bertemu dengan Ketua Umum PKB, Muhaimin Iskandar alias Cak Imin.
"Yang pertama tidak ada ucapan yang disampaikan dari kami pimpinan bahwa kita sudah memutuskan untuk amandemen, tidak ada. Apalagi merubah sistem pemilihan presiden di MPR, yang ada adalah kami berkunjung menyampaikan berbagai aspirasi yang kami terima," kata pria akrab disapa Bamsoet di Kantor DPP PKB, Jakarta Pusat, Sabtu (8/6).
Pihaknya hanya menerima aspirasi usulan amandemen terbatas untuk menghadirkan Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN) dengan menambah dua ayat di dua pasal undang-undang dasar.
"Yang kedua amandemen atau kajian amandemen secara menyeluruh untuk melakukan penyempurnaan, yang ketiga kembali ke Undang-Undang Dasar sesuai dengan dekrit Presiden 5 Juli 59 beserta penjelasan dan terakhir lagi kemudian aspirasi kembali undang-undang dasar yang asli dan perubahannya melalui adendum," ujarnya.
"Nah yang terakhir tidak perlu amandemen, karena undang-undang dasar kita hari ini sudah sesuai dan masih cocok," sambungnya.
Ia menjelaskan, perubahan atau amandemen itu harus melalui aturan yang sudah ditentukan oleh undang-undang dasar sesuai dengan Pasal 37, yang diusulkan oleh sepertiga, kourumnya 2/3 dan seterusnya.
"Jadi yang saya sampaikan atau kami sampaikan pimpinan adalah menyerap aspirasi apa yang berkembang di masyarakat, itu yang bisa saya sampaikan jangan sampai ada lagi miss komunikasi enggak pernah kita menyampaikan kita akan kembali memilih Presiden di MPR, belum karena kita belum bersidang," tegasnya.
Selain itu, dirinya mengaku telah mendapatkan masukan dari Cak Imin yakni untuk mengatasi berbagai undang-undang yang ada saat ini tidak cukup dengan merubah undang-undang. Akan tetapi, melalui pokok pangkalnya tersebut untuk menyempurnakan atau melakukan perubahan di konstitusinya.
"Karena masih banyak lubang-lubang yang kadang dimanfaatkan untuk tujuan tertentu, oleh kelompok tertentu dan seterusnya. Beliau juga menyampaikan kepada kita, menerima dengan baik, beliau akan menyiapkan berbagai masukan secara tertulis. Karena kami sudah bertekad bahwa kami akan membuat suatu legacy dokumen kearifan yang kita sampaikan ke MPR yang akan datang maupun kepada presiden terpilih yang akan datang," ucapnya.
Sementara itu, Wakil Ketua MPR RI Ahmad Basarah memastikan, MPR dilarang untuk melakukan aktivitas konstitusional kelembagaan termasuk untuk merubah UUD 1945 sebelum enam bulan masa jabatan atau masa bakti berakhir.
"Sekarang menuju 1 Oktober, kita sudah tinggal kurang empat bulan, jadi sudah kurang dari 6 bulan. Maka sudah pasti MPR tidak dapat merubah konstitusi dalam periode sekarang ini," ujar Basarah.
Kemudian, terkait dengan adanya aspirasi masyarakat itu datang dari tiga kelompok. Salah satunya mengatakan perubahan UU 1945 di periode 1999 sampai 2002 itu kebablasan.
"Maka mereka mengatakan tidak layak lagi Undang-Undang Dasar 1945 ini disebut sebagai Undang-Undang Dasar 1945, karena perubahan yang sangat fundamental. Maka mereka mengatakan ini undang-undang tahun 2002 bukan undang-undang 1945, lalu reaksinya mereka mengusulkan agar kembali kepada undang-undang dasar yang asli," paparnya.
Lalu, kelompok masyarakat berikutnya yang mengatakan bahwa UUD 1945 ini sudah cukup baik. Tetapi, mengingat dinamika masyarakat diperlukan beberapa perubahan-perubahan, dalam hal ini mereka menyebut amandemen ke-5.
"Satu di antaranya teman-teman DPD RI yang mengusulkan tentang positioning DPD RI dalam kelembagaan legislatif di kamar Parlemen Indonesia . Terakhir, berkembang usulan yang mengatakan bahwa bangsa ini perlu kembali memiliki apa yang dulu di zaman Bung Karno disebut pembangunan konsep," katanya.
"Pembangunan nasional semesta berencana di Zaman Pak Harto disebut garis-garis besar daripada haluan negara dan di era Pak Bamsoey memimpin MPR sekarang melalui badan pengkajian diusulkan adanya pokok-pokok haluan negara. Kembali wewenang itu dimiliki MPR," sambungnya.
Selanjutnya, untuk UUD ini disebutnya sudah cukup baik. Sehingga, hanya tinggal butuh pelaksanaannya saja.
"Nah MPR fungsinya, karena undang-undang dasar kami sadari dia merupakan visi berbangsa dan bernegara kita. Sehingga merubahnya tentu berbeda dengan kamar DPR untuk merevisi undang-undang. Karena undang-undang dasar ini menyangkut tentang bangsa bernegara,"
pungkas Wakil Ketua MPR RI Ahmad Basarah.
merdeka.com