Kepala BGN Sarankan Menu Serangga untuk Makan Bergizi Gratis, Apa Sebenarnya Kandungan Nutrisi dari Serangga?
Kepala BGN Menyarankan serangga menjadi menu untuk makan bergizi gratis. Ketahui kandungan nutrisi dari serangga.

Gagasan memasukkan serangga sebagai bagian dari program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang diusulkan oleh Kepala Badan Gizi Nasional (BGN) Dadan Hindayana telah mengundang perhatian publik. Dalam pernyataan pada acara Rampinas PIRA di Jakarta, Sabtu (25/1), disebutkan bahwa serangga dapat menjadi alternatif makanan bergizi, terutama di daerah-daerah yang telah terbiasa mengonsumsinya.
“Kalau ada daerah-daerah tertentu yang terbiasa makan seperti itu (serangga), itu (serangga) bisa menjadi menu di daerah tersebut,” ucapnya, sebagaimana dikutip dari Antara.
Namun, apa sebenarnya kandungan nutrisi dari serangga, dan mengapa makanan ini mulai dianggap sebagai solusi inovatif untuk memenuhi kebutuhan gizi masyarakat?
Nilai Gizi Serangga: Alternatif Sehat dan Berkelanjutan
Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) telah menyoroti bahwa kandungan nutrisi serangga tidak kalah dibandingkan dengan sumber protein lain seperti ayam, daging sapi, ikan, maupun babi. Bahkan, beberapa jenis serangga memiliki kandungan protein yang lebih tinggi. Crude protein dalam banyak spesies serangga mencapai lebih dari 60%. Selain itu, kerangka luar serangga yang terbuat dari kitin juga dapat dicerna oleh tubuh manusia, bahkan memberikan efek positif pada sistem imun, sebagaimana ditunjukkan dalam beberapa penelitian.
Komposisi nutrisi serangga bervariasi tergantung pada spesies, habitat, dan diet serangga tersebut. Beberapa jenis serangga kaya akan protein, asam lemak tak jenuh, serat, mineral, dan vitamin. Rumpold dan Schlüter (2013) dalam kajiannya mencatat bahwa serangga seperti jangkrik, ulat, dan belalang mengandung mikronutrien penting seperti zat besi, magnesium, selenium, fosfor, dan seng. Vitamin seperti riboflavin, asam pantotenat, dan biotin juga ditemukan dalam jumlah signifikan pada serangga tertentu. Bahkan, serangga seperti jangkrik memiliki kandungan vitamin B12 yang lebih tinggi daripada salmon.
Selain kaya nutrisi, serangga juga menawarkan solusi keberlanjutan. Produksi serangga sebagai sumber pangan membutuhkan lahan dan air yang jauh lebih sedikit dibandingkan dengan ternak sapi atau ayam. Hal ini menjadikan serangga sebagai pilihan yang ramah lingkungan.

Serangga dalam Tradisi Kuliner
Meskipun bagi sebagian masyarakat konsep mengonsumsi serangga terdengar asing, hal ini sebenarnya bukan sesuatu yang baru. Di berbagai belahan dunia, serangga telah lama menjadi bagian dari tradisi kuliner. FAO melaporkan bahwa lebih dari 2 miliar orang di seluruh dunia secara rutin mengonsumsi serangga sebagai bagian dari diet mereka.
Di Indonesia, serangga telah lama diolah menjadi berbagai makanan khas, seperti:
Satai Ulat Sagu
Makanan khas Papua ini terbuat dari ulat sagu yang dipanggang setelah ditusuk seperti satai. Selain memiliki rasa gurih, ulat sagu juga kaya akan protein.
Belalang Goreng
Di Gunungkidul, Yogyakarta, belalang goreng menjadi camilan yang populer. Belalang dibumbui dengan bawang putih, garam, dan ketumbar sebelum digoreng hingga renyah.
Rempeyek Laron
Laron yang muncul di awal musim hujan dimanfaatkan sebagai isian rempeyek. Hasilnya adalah camilan renyah yang gurih.
Botok Tawon
Larva tawon diolah bersama parutan kelapa berbumbu menjadi botok, makanan tradisional yang banyak ditemukan di Jawa Timur.
Jangkrik Goreng Balado
Jangkrik tidak hanya populer di Indonesia, tetapi juga di Thailand. Di Ciamis, Jawa Barat, jangkrik sering diolah menjadi makanan pedas gurih.
Sayok
Makanan khas masyarakat Danau Linow, Sulawesi Utara, ini terbuat dari larva capung yang kaya protein.
Manfaat Kesehatan dari Serangga
Selain sebagai sumber protein, serangga juga memberikan berbagai manfaat kesehatan. Kandungan antioksidan dalam serangga seperti jangkrik, belalang, dan ulat sutera, misalnya, lebih tinggi dibandingkan jus jeruk. Antioksidan membantu melindungi tubuh dari kerusakan sel yang disebabkan oleh radikal bebas, yang dapat memicu kanker dan penyakit kronis lainnya.
Kitin, komponen utama kerangka luar serangga, berfungsi sebagai serat prebiotik yang mendukung kesehatan saluran pencernaan. Beberapa penelitian bahkan menunjukkan bahwa kitin dapat membantu mencegah peradangan pada usus besar.
Serangga juga merupakan sumber asam lemak esensial, seperti omega-3 dan omega-6, yang penting untuk kesehatan jantung dan otak. Sebagai perbandingan, kandungan omega-3 pada jangkrik memiliki rasio yang lebih optimal dibandingkan dengan ikan laut, tanpa risiko kontaminasi logam berat yang sering ditemukan pada ikan.
Populasi dunia yang terus bertambah menuntut solusi inovatif untuk memenuhi kebutuhan pangan. Serangga menawarkan jawaban atas tantangan ini. Dengan kandungan nutrisi yang kaya, dampak lingkungan yang rendah, serta kemudahan dalam produksi, serangga dapat menjadi sumber pangan masa depan yang menjanjikan.
Di banyak negara, serangga bahkan telah diproduksi secara komersial. Thailand, misalnya, memiliki lebih dari 20.000 peternakan serangga. Sementara itu, di Meksiko, serangga seperti chapulines (belalang) sudah menjadi bagian dari makanan sehari-hari.
Meskipun memiliki banyak keunggulan, tantangan utama dari konsumsi serangga adalah stigma budaya. Di banyak negara, termasuk Indonesia, mengonsumsi serangga masih dianggap tabu atau aneh. Oleh karena itu, edukasi dan promosi tentang manfaat serangga perlu digalakkan.
FAO menyatakan bahwa kandungan nutrisi dari serangga tidak berbeda jauh dari sumber daging lain seperti ayam, sapi, babi, dan ikan. Bahkan kandungan protein lebih tinggi juga bisa ditemui di serangga. Hanya saja, tidak semua orang dan daerah biasa mengonsumsinya serta serangga masih dianggap bukan sebagai bahan makanan.