Membedah Overdiagnosa, Ancaman Tersembunyi dalam Dunia Kesehatan Mental
Apa itu overdiagnosa? Mengapa fenomena ini dapat mengancam dunia kesehatan? Simak alasannya di artikel berikut!
Dalam era modern yang ditandai oleh peningkatan kesadaran akan kesehatan mental, banyak individu yang berusaha untuk memahami dan mengelola masalah psikologis yang mereka hadapi. Pengenalan isu kesehatan mental ke dalam diskursus publik merupakan langkah krusial dalam mengurangi stigma dan membantu mereka yang membutuhkan dukungan serta perawatan. Namun, di balik kemajuan tersebut, terdapat tantangan yang penting untuk diperhatikan yaitu fenomena overdiagnosa. Overdiagnosa kesehatan mental adalah fenomena di mana seseorang didiagnosis memiliki gangguan mental meskipun gejalanya tidak sepenuhnya memenuhi kriteria diagnostik. Fenomena ini tidak hanya berpotensi memengaruhi kualitas hidup individu, tetapi juga cara pandang masyarakat terhadap kesehatan mental secara keseluruhan. Melalui artikel ini, kita akan mengeksplorasi definisi overdiagnosa, faktor-faktor penyebabnya, serta bahaya yang mungkin timbul akibat praktik yang semakin mengkhawatirkan ini.
Definisi Overdiagnosa
Definisi overdiagnosa merujuk pada proses pemberian diagnosis gangguan mental kepada individu yang sebenarnya tidak memenuhi kriteria diagnostik yang diperlukan atau memiliki gejala yang tidak cukup signifikan untuk dianggap memiliki gangguan mental. Dengan kata lain, overdiagnosa terjadi ketika gejala yang mungkin merupakan respons normal terhadap stres, dianggap sebagai tanda gangguan mental yang memerlukan intervensi medis. Penelitian Horwitz dan Wakefield (2016) dalam American Journal of Psychiatry menyoroti bahwa overdiagnosa dalam kesehatan mental sering kali dipicu oleh tekanan sosial untuk tetap produktif dan bahagia.
-
Dampak apa yang ditimbulkan overthinking terhadap kesehatan mental? Overthinking seringkali terkait dengan gangguan kecemasan, seperti gangguan kecemasan umum (GAD) atau gangguan kecemasan sosial. Hal ini dapat menyebabkan gejala-gejala seperti ketegangan, stres berlebihan, rasa cemas yang persisten, dan kekhawatiran kronis.
-
Kenapa kesehatan mental jadi isu besar? Mengingat kesehatan mental akhir-akhir ini menjadi isu besar generasi mendatang yang harus kita hadapi melalui terobosan-terobosan pada program Health Tourism ke depan yang perlu diadakan sebagai jawaban,' jelas dia.
-
Apa masalah kesehatan mental di Indonesia? Masalah kesehatan mental merupakan salah satu momok yang bisa sangat menakutkan.
-
Apa saja tanda gangguan kesehatan mental? Berikut ini adalah beberapa tanda atau gejala yang bisa menjadi indikasi bahwa kita perlu memeriksakan kesehatan mental kita: Perubahan suasana hati yang ekstrem atau tidak stabil. Misalnya, merasa sangat sedih, marah, cemas, takut, atau bahagia tanpa alasan yang jelas. Perubahan perilaku yang signifikan atau tidak biasa. Misalnya, menjadi penyendiri, agresif, impulsif, atau tidak peduli dengan orang lain. Perubahan pola tidur atau nafsu makan yang drastis. Misalnya, sulit tidur atau tidur terlalu banyak; tidak nafsu makan atau makan terlalu banyak. Perubahan kinerja atau produktivitas di sekolah atau tempat kerja. Misalnya, sulit berkonsentrasi, sering lupa, kurang motivasi, atau sering absen. Perubahan minat atau kesenangan terhadap aktivitas yang biasa dilakukan. Misalnya, tidak lagi menikmati hobi, olahraga, atau bersosialisasi dengan teman. Perasaan tidak berharga, bersalah, putus asa, atau ingin bunuh diri. Mengalami halusinasi (melihat atau mendengar sesuatu yang tidak ada) atau delusi (percaya pada sesuatu yang tidak nyata). Mengonsumsi alkohol atau obat-obatan secara berlebihan untuk mengatasi masalah. Mengalami gejala fisik yang tidak dapat dijelaskan secara medis. Misalnya, sakit kepala, nyeri dada, mual, atau sesak napas.
-
Bagaimana *medical gaslighting* bisa memengaruhi kesehatan mental? Dari jumlah tersebut, 17% melaporkan bahwa mereka diabaikan atau harus membuktikan gejala yang mereka alami, yang berakibat pada diagnosis yang tertunda dan hasil kesehatan yang lebih buruk. Wanita kulit berwarna, khususnya, menghadapi tantangan yang lebih besar dalam pemeriksaan kesehatan, yang semakin memperburuk ketidaksetaraan kesehatan dan merusak kesejahteraan wanita dalam sistem perawatan kesehatan.
-
Kenapa self diagnose bisa berujung bahaya? Singkatnya, banyak orang saat ini melakukan self diagnose terhadap kondisi mental mereka sendiri. Hasilnya, ketika seseorang sedang sedih, dia menganggap bahwa sedang mengalami depresi.
Menurut Moynihan, Doust, dan Henry (2012) dalam Journal of the American Medical Association (JAMA), overdiagnosa adalah pemberian diagnosis medis, termasuk dalam kesehatan mental, yang terjadi pada individu sehat yang sebenarnya tidak memerlukan diagnosis tersebut. Ini bisa terjadi ketika alat diagnostik atau panduan medis seperti DSM (Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders) mengalami perluasan dalam kriteria diagnostik, sehingga kondisi ringan dan temporer pun dapat dikategorikan sebagai gangguan mental.
Allen Frances (2013), seorang psikiater yang terlibat dalam penyusunan DSM-IV, juga mengemukakan bahwa overdiagnosa dalam kesehatan mental adalah “medikalisasi dari respons emosional normal,” yang artinya respons yang alami terhadap peristiwa hidup sehari-hari, seperti kesedihan atau stres, dianggap sebagai gangguan yang memerlukan pengobatan. Frances berpendapat bahwa perkembangan DSM-5 memperluas cakupan beberapa gangguan, seperti depresi atau gangguan kecemasan, yang berpotensi memicu peningkatan overdiagnosa.
Faktor Penyebab Overdiagnosa
- Kemajuan dalam Diagnostik
Dengan semakin banyaknya teknologi dan metode untuk mendiagnosis kondisi mental, batasan antara masalah kesehatan mental yang ringan dan yang lebih serius menjadi kabur. Di sisi lain, keterbatasan dari alat diagnostik, yang bergantung pada gejala subyektif, turut meningkatkan risiko overdiagnosa (Frances, 2013).
- Perluasan Kriteria Diagnostik dalam Manual Diagnostik
Revisi terhadap Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM), terutama dalam edisi terbaru seperti DSM-5, sering kali memperluas kriteria diagnostik untuk gangguan mental. Hal ini dapat menyebabkan lebih banyak gejala ringan atau respons emosional sehari-hari yang terdiagnosis sebagai gangguan mental. Perubahan ini berisiko menambah jumlah diagnosis tanpa memberikan perbaikan yang signifikan terhadap kualitas perawatan (Horwitz et al., 2016). Frances (2013), dalam bukunya Saving Normal, menekankan bahwa perluasan kategori ini membuat semakin banyak orang didiagnosis memiliki gangguan mental meskipun mereka hanya mengalami perubahan suasana hati normal atau masalah sehari-hari yang sementara.
Kesehatan mental berbeda dengan kesehatan fisik karena diagnosisnya lebih subjektif dan tergantung pada interpretasi gejala. Beberapa ahli, seperti Moynihan et al. (2012) dalam artikel yang diterbitkan di Journal of the American Medical Association (JAMA), menjelaskan bahwa metode diagnostik untuk gangguan mental tidak selalu memiliki batasan yang jelas antara kondisi klinis dan non-klinis. Faktor ini menyebabkan kemungkinan overdiagnosa menjadi lebih tinggi, terutama ketika gejala yang dialami pasien sebenarnya berada pada rentang normal.
- Tekanan Sosial dan Stigma Terhadap Ketidaksempurnaan Mental
Lingkungan sosial yang menuntut kesempurnaan dalam kesehatan mental turut menambah potensi overdiagnosa. Beberapa individu yang mengalami masalah hidup biasa seperti stres pekerjaan atau kesedihan akibat kehilangan cenderung dianggap memerlukan penanganan medis, meskipun gejala mereka mungkin hanya temporer. Beberapa masyarakat menganggap bahwa setiap ketidaknyamanan, kesedihan, atau kecemasan harus segera diselesaikan dan tidak boleh memengaruhi kualitas hidup. Horwitz & Wakefield (2016) dalam penelitian mereka di American Journal of Psychiatry menyatakan bahwa sikap ini membuat individu yang mengalami gejala-gejala ringan dan normal terdorong untuk mencari bantuan medis, yang akhirnya dapat meningkatkan potensi overdiagnosa.
Faktor lain yang menyebabkan overdiagnosa yaitu kurangnya pemahaman di kalangan masyarakat mengenai batasan antara gangguan mental dan kondisi emosional normal. Kondisi ini membuat masyarakat cenderung memandang masalah sehari-hari sebagai sesuatu yang membutuhkan diagnosis medis. Para ahli, termasuk Wakefield et al. (2016), menyarankan bahwa ketika masyarakat tidak diberikan informasi yang cukup tentang perbedaan antara gangguan mental yang serius dan respons emosional yang wajar, maka mereka lebih cenderung menyalahartikan masalah biasa sebagai gangguan yang memerlukan diagnosis formal.
- Tekanan untuk Diagnosis Cepat dalam Sistem Kesehatan
Sistem kesehatan yang bergerak cepat, terutama di negara-negara dengan sistem kesehatan privat, cenderung memberikan tekanan pada praktisi medis untuk memberikan diagnosis yang cepat. Ini dikarenakan keterbatasan waktu konsultasi atau keharusan untuk memenuhi target tertentu. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Saini et al. (2018), mereka menemukan bahwa dalam beberapa situasi, tenaga medis seringkali merasa perlu untuk memberikan diagnosis secepat mungkin dengan sedikit waktu untuk mengeksplorasi gejala secara mendalam.
Dampak Negatif Overdiagnosa
Overdiagnosa memiliki dampak yang tidak hanya memengaruhi individu yang didiagnosis, tetapi juga masyarakat dan sistem kesehatan secara keseluruhan. Dampak-dampak negatif tersebut antara lain:
- Meningkatnya Beban Psikologis
Overdiagnosa dapat menyebabkan individu merasa cemas atau tertekan oleh label kesehatan mental yang tidak sepenuhnya akurat. Frances (2013) dalam bukunya Saving Normal menjelaskan bahwa individu yang didiagnosis mengalami gangguan mental sering kali merasa terbebani oleh stigma dan pandangan negatif dari masyarakat. Stigma sosial terhadap gangguan mental dapat mengakibatkan stres tambahan, dan label gangguan mental dapat memengaruhi identitas serta pandangan mereka terhadap diri sendiri. Mereka mungkin mulai melihat diri mereka sebagai “sakit” meskipun mungkin hanya mengalami gejala stres atau kecemasan sementara. Kondisi ini menambah beban psikologis yang seharusnya bisa dihindari jika diagnosis diberikan lebih bijaksana. Selain itu, overdiagnosa juga dapat memperburuk stigma terhadap masalah kesehatan mental. Pemberian diagnosis yang berlebihan membuat individu merasa dihakimi dan dikucilkan, yang kemudian dapat memperburuk kondisi psikologis mereka. Studi Horwitz dan Wakefield (2016) menyatakan bahwa stigma ini sering kali menyebabkan orang yang telah didiagnosis menghindari interaksi sosial dan mengalami kesulitan dalam membangun hubungan interpersonal.
- Ketergantungan pada Obat-obatan
Dalam beberapa kasus, overdiagnosa mengakibatkan pemberian obat-obatan psikotropika yang sebenarnya tidak diperlukan. The New England Journal of Medicine mencatat peningkatan konsumsi obat antidepresan dan antipsikotik, meskipun gejala yang dialami pasien ringan atau temporer (Saini et al., 2018). Padahal, penggunaan obat-obatan tersebut tanpa indikasi medis yang kuat bisa menimbulkan efek samping jangka panjang, seperti ketergantungan, gangguan metabolik, hingga dampak pada kesehatan fisik lainnya.
- Membebani Sumber Daya Kesehatan
Overdiagnosa tidak hanya merugikan individu, tetapi juga menyerap sumber daya kesehatan yang seharusnya bisa dialokasikan untuk kasus yang lebih membutuhkan. Dalam situasi di mana anggaran kesehatan terbatas, penggunaan sumber daya untuk mengatasi kasus-kasus overdiagnosa dapat menghambat pelayanan bagi pasien yang membutuhkan perawatan lebih serius. Menurut penelitian di Journal of the American Medical Association (JAMA), waktu dan dana yang seharusnya dialokasikan untuk pasien dengan gangguan mental serius terkuras untuk menangani kasus-kasus overdiagnosa (Moynihan et al., 2012). Ini berpotensi mengurangi kualitas pelayanan kesehatan secara keseluruhan dan membuat layanan kesehatan sulit menjangkau pasien yang benar-benar membutuhkan perawatan intensif.
- Mengaburkan Pemahaman Publik Terhadap Kesehatan Mental
Overdiagnosa juga dapat membuat masyarakat kehilangan pemahaman tentang batasan antara kondisi mental normal dan gangguan mental yang serius. Penelitian dari American Journal of Psychiatry menunjukkan bahwa ketika gejala ringan dianggap sebagai gangguan mental, hal ini dapat membuat masyarakat kehilangan pemahaman mengenai perbedaan antara respons emosional normal dan gangguan mental yang serius (Wakefield et al., 2016). Akibatnya, pemahaman masyarakat terhadap kesehatan mental menjadi terdistorsi, dan ini dapat meningkatkan kecemasan terkait hal-hal yang sebenarnya masih dalam batas normal.
Overdiagnosa dalam kesehatan mental merupakan fenomena yang menimbulkan berbagai dampak negatif baik bagi individu, masyarakat, maupun sistem kesehatan. Faktor-faktor seperti kemajuan teknologi diagnostik, evolusi panduan diagnostik, serta tekanan sosial turut memperparah situasi ini. Dampak overdiagnosa meliputi peningkatan beban psikologis, ketergantungan pada obat-obatan, hingga pemborosan sumber daya kesehatan. Dengan langkah-langkah seperti peningkatan akurasi diagnostik, penyuluhan kepada masyarakat, dan riset lanjutan, diharapkan fenomena ini dapat dikurangi.