5 Masalah Kesehatan Mental yang Paling Sering Disalahpahami
Sejumlah masalah kesehatan mental kerap disalahpahami sehingga bisa sangat berdampak pada penanganannya.
Kita hidup di era di mana kesadaran akan kesehatan mental semakin meningkat. Tagar seperti #itsokaytotalk dan #mentalhealthmatters kerap menghiasi media sosial kita, mendorong orang untuk lebih terbuka dalam berbicara tentang perasaan mereka.
Namun, di balik meningkatnya kesadaran ini, masih ada kesenjangan besar dalam pemahaman spesifik mengenai beberapa gangguan kesehatan mental. Misinformasi yang beredar tidak hanya salah, tetapi juga bisa merugikan mereka yang menderita. Berikut adalah lima masalah kesehatan mental yang paling sering disalahpahami.
-
Kenapa kesehatan mental mudah diabaikan? Kesehatan mental sering kali hilang dari perdebatan kesehatan masyarakat, meski itu penting untuk kesejahteraan.
-
Apa masalah kesehatan mental di Indonesia? Masalah kesehatan mental merupakan salah satu momok yang bisa sangat menakutkan.
-
Kenapa kesehatan mental jadi isu besar? Mengingat kesehatan mental akhir-akhir ini menjadi isu besar generasi mendatang yang harus kita hadapi melalui terobosan-terobosan pada program Health Tourism ke depan yang perlu diadakan sebagai jawaban,' jelas dia.
-
Siapa yang paling banyak mengalami masalah kesehatan mental? Sebanyak 15,5 juta remaja Indonesia, atau sekitar 34,9 persen dari populasi mereka, mengalami setidaknya satu masalah kesehatan mental dalam periode 12 bulan terakhir.
-
Apa jenis penyakit mental paling umum? Kecemasan adalah jenis penyakit mental yang paling umum ditemukan.
-
Apa saja tanda gangguan kesehatan mental? Berikut ini adalah beberapa tanda atau gejala yang bisa menjadi indikasi bahwa kita perlu memeriksakan kesehatan mental kita: Perubahan suasana hati yang ekstrem atau tidak stabil. Misalnya, merasa sangat sedih, marah, cemas, takut, atau bahagia tanpa alasan yang jelas. Perubahan perilaku yang signifikan atau tidak biasa. Misalnya, menjadi penyendiri, agresif, impulsif, atau tidak peduli dengan orang lain. Perubahan pola tidur atau nafsu makan yang drastis. Misalnya, sulit tidur atau tidur terlalu banyak; tidak nafsu makan atau makan terlalu banyak. Perubahan kinerja atau produktivitas di sekolah atau tempat kerja. Misalnya, sulit berkonsentrasi, sering lupa, kurang motivasi, atau sering absen. Perubahan minat atau kesenangan terhadap aktivitas yang biasa dilakukan. Misalnya, tidak lagi menikmati hobi, olahraga, atau bersosialisasi dengan teman. Perasaan tidak berharga, bersalah, putus asa, atau ingin bunuh diri. Mengalami halusinasi (melihat atau mendengar sesuatu yang tidak ada) atau delusi (percaya pada sesuatu yang tidak nyata). Mengonsumsi alkohol atau obat-obatan secara berlebihan untuk mengatasi masalah. Mengalami gejala fisik yang tidak dapat dijelaskan secara medis. Misalnya, sakit kepala, nyeri dada, mual, atau sesak napas.
1. Depresi
Depresi mungkin tampak seperti gangguan yang cukup dikenal, tetapi ada perbedaan besar antara perasaan sedih sementara dan depresi klinis yang didiagnosis. "Depresi klinis adalah suasana hati yang rendah yang dapat berlangsung lama atau terus kembali, memengaruhi kehidupan sehari-hari Anda," menurut definisi dari NHS.
Gejala depresi mencakup perasaan kosong, letih, hilangnya minat pada aktivitas yang dulunya menyenangkan, hingga perubahan berat badan. Orang yang menderita depresi sering kali merasa sulit untuk melakukan kegiatan sehari-hari seperti mandi atau bahkan bangun dari tempat tidur. Siklus ini bisa menjadi lingkaran setan, di mana kehilangan motivasi memperparah keadaan dan membuat mereka semakin terjebak dalam perasaan putus asa.
Pengobatan depresi sering kali melibatkan Terapi Perilaku Kognitif (CBT) dan penggunaan obat antidepresan seperti fluoxetine atau sertraline.
2. Gangguan Obsesif-Kompulsif (OCD)
Gangguan Obsesif-Kompulsif (OCD) sering disalahartikan sebagai kebiasaan rapi atau perfeksionisme. Namun, OCD jauh lebih kompleks. OCD terdiri dari dua elemen utama: obsesi dan kompulsi. Obsesi adalah pikiran, gambar, atau dorongan yang tidak diinginkan dan menyebabkan distress besar. Kompulsi adalah tindakan yang dilakukan untuk meredakan distress yang disebabkan oleh obsesi.
Kompulsi tidak selalu fisik seperti mencuci tangan berulang kali. Kompulsi juga bisa bersifat mental, seperti merenung secara berlebihan atau mencoba menghentikan pikiran buruk. Pengobatan utama untuk OCD adalah Terapi Eksposur dan Pencegahan Respon (ERP), di mana penderita secara perlahan dihadapkan pada ketakutan mereka tanpa melakukan kompulsi.
3. Gangguan Bipolar
Gangguan bipolar sering dianggap sebagai perubahan suasana hati yang sederhana. Faktanya, gangguan ini melibatkan siklus mood yang ekstrem antara mania dan depresi. Mania dapat ditandai dengan perasaan sangat bahagia, penuh energi, dan perilaku impulsif, sedangkan fase depresi menyerupai gejala depresi berat.
Menurut NHS, "Gangguan bipolar adalah kondisi kesehatan mental yang memengaruhi suasana hati Anda, yang bisa berayun dari satu ekstrem ke ekstrem lainnya." Pengobatan gangguan bipolar melibatkan kombinasi obat seperti lithium dan terapi berbicara.
4. Gangguan Kepribadian Ambang (BPD)
Gangguan Kepribadian Ambang (BPD) adalah salah satu gangguan yang paling disalahpahami dan sering distigmatisasi. BPD memengaruhi cara seseorang berhubungan dengan orang lain dan dirinya sendiri, dengan gejala seperti ketakutan akan ditinggalkan, hubungan yang tidak stabil, dan impulsivitas.
Ada lebih dari 200 kombinasi kriteria diagnostik yang bisa mengarah pada diagnosis BPD, yang menunjukkan kompleksitas gangguan ini. Terapi utama untuk BPD adalah Terapi Perilaku Dialektis (DBT), yang membantu penderita mengelola emosi yang sulit dan membuat perubahan positif dalam hidup mereka.
5. Skizofrenia
Skizofrenia adalah gangguan mental yang sering disalahpahami dan diwarnai dengan stigma. Penderita skizofrenia mungkin mengalami halusinasi, delusi, dan kesulitan dalam menjaga kontak dengan realitas. Gejala umum lainnya termasuk isolasi sosial, energi rendah, dan kesulitan fokus.
Skizofrenia sering diperlakukan dengan kombinasi CBT dan obat antipsikotik seperti olanzapine atau risperidone. Hidup dengan skizofrenia memerlukan kekuatan besar, karena penderita harus menghadapi realitas yang terdistorsi sambil menjalani kehidupan sehari-hari.
Kesalahpahaman tentang gangguan-gangguan ini dapat menyebabkan penderita merasa diabaikan dan kurang dipahami. Dengan lebih banyak edukasi dan pemahaman, kita dapat menciptakan lingkungan yang lebih mendukung dan inklusif bagi mereka yang hidup dengan kondisi kesehatan mental. Jangan pernah menganggap enteng perjuangan mereka, dan mari kita bersama-sama berupaya untuk lebih peduli dan paham setiap harinya.