Stadion Gelora Bung Karno: Jejak Sejarah hingga Peran Uni Soviet dalam Pembangunan
Pembangunan Stadion Gelora Bung Karno (GBK) pada 1960-an, merupakan simbol kerjasama Indonesia-Uni Soviet.

Timnas Indonesia akan bertemu dengan Timnas Bahrain dalam pertandingan krusial Kualifikasi Piala Dunia 2026 zona Asia. Pertandingan ini dijadwalkan berlangsung pada Selasa, 25 Maret 2025, pukul 20.45 WIB di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Jakarta.
Ternyata, pembangunan Stadion Gelora Bung Karno (GBK), ikon olahraga Indonesia, menyimpan kisah menarik tentang kerjasama internasional, khususnya dengan Uni Soviet. Dimulai pada 8 Februari 1960 dan rampung pada 21 Juli 1962, pembangunan GBK dipicu oleh terpilihnya Indonesia sebagai tuan rumah Asian Games IV. Proyek raksasa ini tak lepas dari peran signifikan Uni Soviet, yang memberikan kredit lunak senilai US$12,5 juta (sekitar Rp15,6 miliar saat itu) dan mengirimkan para ahli konstruksi untuk membantu pembangunannya.
Kehadiran para ahli dari Uni Soviet sangat krusial mengingat kompleksitas proyek dan keterbatasan sumber daya Indonesia kala itu. Bahkan hingga renovasi GBK dilakukan bertahun-tahun kemudian, gambar rancangan asli berbahasa Rusia yang dikirim Uni Soviet masih menjadi acuan penting. Kerjasama ini merefleksikan hubungan diplomatik yang erat antara Indonesia di bawah Presiden Soekarno dan Uni Soviet di bawah kepemimpinan Nikita Khrushchev.
Kunjungan-kunjungan resmi antara kedua pemimpin negara semakin memperkuat ikatan bilateral dan menghasilkan berbagai kesepakatan kerjasama, termasuk proyek infrastruktur monumental seperti GBK. Stadion ini bukan sekadar arena olahraga, melainkan simbol kerjasama ekonomi dan diplomatik antara kedua negara pada masa tersebut. Perubahan nama stadion, yang sempat menjadi Stadion Senayan dan kemudian kembali menjadi Gelora Bung Karno, juga mencerminkan perjalanan sejarah dan politik Indonesia.
Peran Uni Soviet dalam Desain dan Konstruksi GBK
Arsitektur GBK dirancang oleh Vitaly Arkadyevich Maslennikov, seorang ahli konstruksi asal Uni Soviet. Desainnya yang unik mengusung konsep 'temu gelang', dengan atap berbentuk lingkaran yang menyatu. Konsep ini tidak hanya memberikan keteduhan bagi penonton, tetapi juga meningkatkan kekuatan struktur bangunan.
Proses konstruksi melibatkan kontraktor asal Uni Soviet, Moskow Narodny Bank, dan ribuan pekerja Indonesia. Mereka menggunakan teknologi canggih untuk masa itu, seperti rangka baja tanpa tiang penyangga di tengah stadion. Hal ini memastikan pandangan penonton tidak terhalang, menawarkan pengalaman menyaksikan pertandingan yang optimal.
Pembangunan GBK yang dimulai dengan peletakan batu pertama oleh Presiden Soekarno pada 8 Februari 1959, selesai dalam waktu sekitar 3,5 tahun. Kecepatan pembangunan ini patut diapresiasi mengingat skala proyek yang sangat besar.
Biaya Pembangunan dan Kompleks GBK
Total biaya pembangunan GBK diperkirakan mencapai US$ 19,5 juta (sekitar Rp 78 miliar saat itu). Sebagian besar biaya dibiayai oleh pinjaman lunak dari Uni Soviet, sementara sisanya berasal dari anggaran negara Indonesia. GBK tidak berdiri sendiri, melainkan sebagai bagian dari Kompleks Gelora Bung Karno yang lebih luas.
Kompleks ini mencakup berbagai fasilitas olahraga lainnya, seperti lapangan latihan, arena bulu tangkis, dan kolam renang. Kompleks GBK menjadi pusat kegiatan olahraga dan simbol kebanggaan Indonesia hingga saat ini.
Pembangunan GBK bukan hanya sebuah proyek konstruksi, tetapi juga sebuah manifestasi dari hubungan diplomatik dan kerjasama ekonomi yang erat antara Indonesia dan Uni Soviet pada masa lalu. Warisan sejarah ini masih terasa hingga kini, terlihat dari arsitektur stadion yang unik dan peran penting Uni Soviet dalam pembangunannya. GBK tetap berdiri kokoh sebagai saksi bisu persahabatan dan kerjasama kedua negara.