Kisah Tari Cikeruhan yang Mampu “Hipnotis” Belanda, Jadi Media Pergaulan di Sumedang Tempo Dulu
Karena daya tariknya yang kuat, kalangan Belanda di sana bahkan sampai “terhipnotis”.
Sebagai daerah berjuluk Puseur Budaya Sunda, Sumedang memang tidak bisa dilepaskan dari ragam seni dan tradisi warisan nenek moyang. Diyakini, ada ratusan lebih warisan sosial masa lampau salah satunya tari Cikeruhan.
Kesenian ini mungkin masih asing di telinga dan jarang ada yang mengetahui. Namun ternyata, eksistensinya sudah ada sejak abad ke-18 silam. Dahulu banyak anak-anak muda yang menarikannya di tengah jalan.
-
Dimana Kesenian Kutukuprak di Sumedang dulunya sering dipentaskan? Sebelumnya, kesenian ini lahir dan dirawat oleh warga di wilayah Jatigede dan sekitarnya yang sering dipentaskan.
-
Apa Tari Cepet di Sukabumi? Tari Cepet menjadi kesenian lawas yang berkembang di Sukabumi, Jawa Barat. Banyak yang percaya jika hewan buas akan lari jika melihat tarian tersebut.
-
Siapa yang populerkan Seupan Taleus di Sumedang? Bisa dibilang, Abah Edi dan Ibu Abong dengan brandnya Seupan Taleus 17 ini menjadi pelopor di Sumedang.
-
Dimana tradisi ini dilakukan di Sumedang? Kebiasaan ini masih dijalankan oleh masyarakat di beberapa desa seperti Kadu, Lebaksiuh, Cintajaya, dan Cipicung, Kecamatan Jatigede.
-
Apa itu Tari Piriang Suluah? Tari Piriang Suluah ini bukanlah tarian biasa. Kesenian ini menggambarkan kehidupan para petani dan juga gerakannya terinsipirasi dari aktivitas ketika bercocok tanam.
-
Mengapa Tari Petake Gerinjing penting bagi budaya Indonesia? Kemudian, tarian ini bukanlah hanya sekedar seni tradisional saja, tetapi juga menjadi sarana menyampaikan nilai-nilai budaya, sejarah, dan pesan moral.
Karena daya tariknya yang kuat, kalangan Belanda di sana bahkan sampai “terhipnotis”. Sejak itu, tari Cikeruhan mulai banyak dikenal orang dan dipentaskan sebagai media pergaulan kaum muda setempat.
Yuk, kenalan dengan seni tari Cikeruhan yang eksis di Sumedang sejak ratusan tahun silam.
Dibawakan oleh Perempuan dan Laki-laki
Di awal kehadirannya, tari Cikeruhan dipercaya dimainkan oleh kalangan muda di wilayah Cikeruhan, Jatinangor, Sumedang. Belakangan, seni ini turut dimainkan oleh perempuan dan laki-laki dengan gerakan atraktif.
Busana yang dikenakan adalah kebaya tradisional Sunda, dengan kain batik untuk bawahannya. Perempuan yang membawakan mengandalkan kelincahan tangan dan kaki, serta gerakan maju, mundur juga berbalik arah yang spontan.
Kesenian ini diiringi oleh ketukan kendang, rebab Sunda dan sinden yang menyanyikan tetembangan lawas tentang makna kehidupan.
Menari Sembari Silat
Merujuk situs warisanbudaya.kemdikbud.go.id, sisi atraktif dari kesenian ini karena adanya campuran gerakan pencak silat. Topangan kaki sebagai kuda-kuda, dengan gerakan tangan yang terkadang menepis mengindikasikan adanya gerakan serupa saat sedang melawan musuh.
Untuk laki-laki, ditampilkan sebagai sosok yang kuat dan gagah. Sesekali menyisipkan gerakan menggoda, seperti memainkan mata dan gerakan tangan serta kaki yang serupa.
Di setiap penampilannya, tari Cikeruhan mampu menarik minat warga setempat untuk menyaksikan karena dianggap meriah.
Mengajak Penonton Berjoget
Dalam buku Hiburan Masa Lalu dan Tradisi Lokal karya Fandy Hutari, disebutkan bahwa tarian ini mirip dengan ketuk tilu ataupun jaipong. Ini karena penari perempuan bisa menarik penonton pria untuk ikut berjoget, mengikuti irama lagu.
Di era setelah kemerdekaan, tari ini semakin digandrungi karena penonton yang ikut berjoget dan meminta lagu khusus. Setelah selesai, penonton tersebut menyawer sebagai rasa terima kasih.
Lambat laun tarian yang berpadu dengan pencak silat ini terus mengikuti perkembangan zaman. Para pelaku seninya kemudian menambah penari perempuan satu lagi, yang kini dikenal sebagai ronggeng.
Rebab jadi Ciri Khas
Sebenarnya, ada pembeda tari Cikeruhan dengan Ketuk Tilu ataupun Jaipong. Sisi yang paling terlihat adalah terdapatnya alunan rebab dalam hampir sepanjang pertunjukan.
Sepintas, rebab memiliki suara yang mengalun perlahan. Alat musik inilah yang menjadi melodi pengiring dari tarian Cikeruhan agar tak hanya berirama kendang yang rancak.
Semakin meriah dengan para nayaga atau penabuh alat musik yang berteriak saat masuk ke pola hentakan.
Mampu “Hipnotis” Belanda
Sisi menarik dari tari Cikeruhan sebenarnya sudah menarik perhatian Belanda saat masa-masa awal berada di Indonesia. Pada tahun 1700-an silam, tarian ini masih menjadi penghibur remaja yang membantu orang tuanya di sawah.
Menurut literatur yang ditemukan Fandy, ketika itu terdapat sejumlah orang yang menari sembari membawa padi hasil panen ke Leuit (lumbung). Kemudian, mereka juga membunyikan alat-alat yang mereka bawa.
Ketika itu ada pejabat Belanda yang mengawasi pertanian bertanya maksud dari tarian. Setelah dijelaskan, ia merasa takjub hingga akhirnya spontan ikut menari. Karena tertarik dengan kesenian itu, ia selalu merekomendasikan tarian dari sawah ini untuk tampil di depan para mandor saat hajatan panen.
Hampir Punah
Sayangnya, tari Cikeruhan kini di ambang kepunahan. Anak muda di Jatinangor dan Sumedang sudah jarang ada yang mementaskannya.
Beruntung ada sekelompok warga kreatif yang mau melestarikan Cikeruhan bernama Sanggar Motekar. Sanggar tersebut berupaya mengenalkan kembali kesenian nenek moyang itu kepada generasi muda.
Upayanya kini mulai berbuah manis, karena kesenian ini mulai menjadi ekstrakurikuler di SMP Negeri 3 Jatinangor dan menjadi satu-satunya sekolah di Sumedang yang melestarikan seni tari Cikeruhan.