Undang Gelak Tawa, Tunil jadi Pementasan Komedi Paling Tua Khas Cianjur
Sisi komedi dari tunil atau wayang gejlig ini dimulai saat pemainnya menghentakkan kaki ke tanah.
Sisi komedi dari tunil atau wayang gejlig ini dimulai saat pemainnya menghentakkan kaki ke tanah.
Undang Gelak Tawa, Tunil jadi Pementasan Komedi Paling Tua Khas Cianjur
Tak banyak yang tahu bahwa Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, memiliki kesenian unik bernama tunil. Ini jadi pentas komedi paling tua sejak zaman nenek moyang yang masih bertahan.
-
Dimana Tari Geol Manis ditampilkan? Tarian ini biasanya dimainkan di sejumlah acara resmi, dan kerap ditampilkan di awal sebagai hiburan tamu undangan yang datang.
-
Di mana Bedor Cianjur biasa dipentaskan? Mengutip kanal Youtube Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah IX, pementasan Bedor kerap diadakan di tengah lapangan terbuka.
-
Bagaimana Tari Geol Manis ditampilkan? Tari Geol Manis terkenal memiliki gerakan yang anggun, mengikuti irama musik gambang kromong yang menghentak. Tarian ini juga menjadi bagian tak terpisahkan dari kekayaan seni tradisional Indonesia.
-
Apa itu Tari Geol Manis? Tari Geol Manis gambarkan wajah Jakarta dan Indonesia yang ramah Tari merupakan warisan budaya yang menggambarkan identitas suatu daerah. Salah satu tarian yang menarik untuk disimak adalah Tari Geol Manis.
-
Apa keunikan Tari Turuk Langgai? Tarian Turuk Langgai merupakan tarian yang gerakannya menyerupai hewan di hutan atau di lingkungan yang mereka tempati. Tarian ini juga menjadi bagian dari sebuah ritual dan juga melibatkan roh-roh halus.
-
Bagaimana Tari Kain digunakan sebagai hiburan? Seiring berjalannya waktu, Tari Kain pun lambat laun berubah menjadi bagian dari tarian hiburan masyarakat.
Setiap pementasannya selalu mengundang gelak tawa. Banyak warga yang tertarik untuk menyaksikan kesenian tunil walau digelar semalam suntuk.
Tunil pun kini butuh perhatian agar tidak punah. Berikut informasi selengkapnya tentang seni tunil.
Berbentuk wayang orang
Mengutip YouTube Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah IX, Rabu (15/11), kesenian tunil biasanya berkonsep wayang orang yang berasal dari Kampung Miduana, Desa Balegede, Kecamatan Naringgul.
Para pemainnya yang rata-rata sudah sepuh, memainkan peran dengan berdandan memakai aksesoris khas Sunda seperti totopong (blangkon), sayap-sayapan, sarung maupun pakaian jamang sangsang (tradisional).
Tak lupa, para pemainnya juga berdandan menor menggunakan lipstick, bedak atau pewarna wajah yang mencolok.
Tampilkan cerita rakyat Sunda
Untuk temanya sendiri, tunil banyak mengisahkan tentang cerita rakyat Sunda Cianjuran.
Beberapa tema yang sering dibawakan adalah “Banteng Wulung”, ”Ciung Wanara”, ”Jaka Sundang” dan “Budak Buncir”.
Dalam satu pementasan, tunil bisa dimainkan hingga 20 orang pemain dengan masing-masing memerankan alur cerita secara mendalam.
Konsep panggung meriah
Walaupun hanya menggunakan panggung sederhana, pementasan tunil biasanya menggunakan konsep yang meriah.
Bagian depan panggung akan menggunakan penutup kain berwanra merah. Lalu latar layar biasa memakai backdrop dengan suasana pedesaan dan kerajaan Sunda yang dilukis.
Selain percakapan yang kuat, pertunjukkan juga dimeriahkan dengan iringan gamelan Sunda serta sinden yang sesekali mengiringi cerita.
Sisi komedi tunil
Selain tunil, warga juga biasa menyebutnya dengan wayang gejlig.
Kesenian ini menampilkan kelucuan spontan yang disisipkan dalam setiap naskah cerita. Kira-kira mirip ketoprak kalau di Jawa Tengah.
Salah satu tanda sisi komedi akan dimulai adalah para pemain akan menghentakkan kaki ke tanah. Ini yang kemudian disebut gejlig.
Kondisinya kian memprihatinkan
Di Kampung Miduana kondisi kesenian tunil ini agaknya cukup memprihatinkan.
Betapa tidak, sejumlah alat musik seperti kendang dan bonang didapati hilang serta beberapa lainnya rusak dimakan usia.
Para pemainnya juga kebanyakan sudah berusia di atas 60 tahun dengan sebagian lainnya sudah meninggal dunia.
Kondisi ini diperparah dengan sulitnya regenerasi pemain, serta rendahnya minat masyarakat untuk menampilkannya.
Sudah ada sejak 1940
Sebelumnya kesenian ini lahir di Kampung Miduana pada pertengahan tahun 1940. Ketika itu salah seorang sesepuh setempat bernama Aki Samayi.
Kesenian tunil atau wayang gejlig biasa pentas saat warga setempat mengadakan hajatan berupa pernikahan, hajat kampung sampai khitanan.
“Kejadian hilangnya gamelan ini di tahun 1990-an, setelah pentas. Ketika itu alatnya hilang, kami siap memajukannya lagi. Hanya saja segalanya serba kekurangan (terbatas di alat gamelan),” kata salah satu pelaku wayang gejlig, Aki Akih.