Penelitian Terbaru Ungkap Tidak Ada Bukti HP Bikin Kecanduan
Sebuah tim peneliti dari Universitas Granada (UGR) telah menunjukkan hasil risetnya.
Sebuah tim peneliti dari Universitas Granada (UGR) telah menunjukkan hasil risetnya.
Penelitian Terbaru Ungkap Tidak Ada Bukti HP Bikin Kecanduan
Sebuah tim peneliti dari Universitas Granada (UGR) telah menunjukkan bahwa orang-orang “kecanduan” bukan pada HP itu sendiri, melainkan interaksi sosial yang difasilitasi oleh ponsel tersebut.
Kok bisa? Berikut penjelasannya.
-
Apa dampak kecanduan ponsel? Tidak mampu melepaskan diri dari ponsel, bahkan dalam situasi di mana seharusnya ponsel tidak digunakan seperti saat berolahraga atau saat akan tidur, bisa menjadi tanda kecemasan.
-
Apa dampak negatif kecanduan gadget? Kecanduan gadget, jika tidak dikelola dengan baik, dapat menimbulkan berbagai dampak negatif yang merugikan, baik untuk kesehatan fisik maupun kehidupan sosial seseorang. Gangguan pada MataTerlalu lama terpapar layar gadget dapat menyebabkan mata menjadi kering, iritasi, dan lelah. Jika dibiarkan, kondisi ini dapat meningkatkan risiko gangguan penglihatan, seperti mata minus yang semakin parah.
-
Kenapa kecanduan handphone merusak kualitas hidup? Terlalu banyak melihat layar handphone untuk hal nggak penting bisa bikin kamu sulit untuk menjalani kehidupan, dan susah fokus pada apa yang sedang dikerjakan.
-
Bagaimana cara mencegah kecanduan gadget? Tetapkan Waktu Tanpa Gadget Buatlah jadwal khusus yang mengharuskan kamu untuk menjauh dari perangkat elektronik, seperti saat makan, sebelum tidur, atau ketika berkumpul dengan keluarga. Dengan cara ini, kamu dapat lebih fokus pada interaksi langsung dan meningkatkan kualitas waktu bersama orang-orang terkasih.
-
Bagaimana cara mengatasi kecanduan gadget? Meskipun penggunaan gadget sendiri mampu memberikan dampak buruk, tetapi kamu tak perlu paranoid dulu dalam hal ini.
Mengutip Scitechdaily, Rabu (10/1), studi ini diterbitkan di jurnal Psicothema. Untuk melakukan percobaan, para ilmuwan UGR bekerja dengan sampel sebanyak 86 subjek yang dibagi menjadi dua kelompok.
“Di salah satu grup, kami menginstruksikan setiap peserta untuk mengirim pesan melalui WhatsApp ke kontak mereka yang paling aktif menjelaskan bahwa mereka akan berpartisipasi dalam tugas menarik di dunia realitas virtual,” jelas Jorge López Puga, peneliti dari Departemen Department of Personality, Evaluation and Psychological Treatment UGR sekaligus penulis utama studi tersebut.
Sementara, kelompok lain (kelompok kontrol) tidak diminta untuk mengirimkan pesan “menarik” ini ke kontak mereka.“Selanjutnya, kami meminta kedua kelompok orang untuk mematikan notifikasi mereka dan membiarkan ponsel mereka menghadap ke bawah di atas meja saat mereka melakukan aktivitas yang tidak biasa dalam lingkungan realitas virtual. Ketika interaksi dengan tugas realitas virtual selesai, kami membiarkan peserta menganggur dan tidak dapat menggunakan ponsel mereka. Setelah periode tidak melakukan apa pun, kami mengizinkan semua peserta untuk kembali menggunakan WhatsApp,” ujar Jorge.
Sepanjang proses, para ilmuwan UGR mengukur aktivitas elektrodermal kulit, sebuah parameter yang diambil sebagai indikator aktivitas sistem saraf otonom manusia, yaitu semacam ukuran fisiologis kecemasan.
“Kami mengamati bahwa kelompok ekspektasi sosial lebih tegang selama percobaan. Kami juga menemukan bahwa kelompok ini menjadi lebih cemas ketika mereka diminta berhenti menggunakan ponsel. Terlebih lagi, ketika mereka diperbolehkan menggunakan ponselnya lagi, kelompok ini mengalami tingkat gairah emosional yang jauh lebih tinggi,” kata López Puga.