Amerika Serikat Bersimbah Darah Warga Gaza, Israel Sok-sokan Bicara Moral
AS telah memveto resolusi PBB yang meminta gencatan senjata "segera, tanpa syarat, dan permanen" di Jalur Gaza.
Amerika Serikat (AS) telah menggunakan hak vetonya di Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB) untuk menolak resolusi yang meminta gencatan senjata "segera, tanpa syarat, dan permanen" di Jalur Gaza, di tengah terus berlanjutnya serangan udara Israel di wilayah Palestina. Pada Rabu (20/11) pagi, AS mengambil langkah tersebut sementara 14 anggota dewan lainnya memberikan suara mendukung resolusi tersebut.
Meskipun resolusi itu juga menyerukan pembebasan para tawanan yang ditahan di Gaza, Washington menolak tuntutan untuk gencatan senjata "tanpa syarat".
"Kami menjelaskan sepanjang negosiasi bahwa kami tidak dapat mendukung gencatan senjata tanpa syarat yang gagal membebaskan para sandera," ungkap Robert Wood, wakil utusan AS untuk PBB, dalam sebuah sesi di New York, sebagaimana dikutip dari Al Jazeera pada Kamis (21/11/2024).
"Akhir perang yang langgeng harus dicapai dengan pembebasan para sandera. Kedua tujuan mendesak ini saling terkait erat. Resolusi ini mengabaikan kebutuhan itu, dan karena alasan itu, Amerika Serikat tidak dapat mendukungnya," lanjutnya.
Keputusan ini merupakan veto keempat yang dikeluarkan oleh pemerintahan Presiden AS Joe Biden terkait resolusi yang menyerukan penghentian konflik di Gaza sejak dimulainya serangan militer Israel pada bulan Oktober tahun lalu.
Hingga saat ini, hampir 44.000 warga Palestina dilaporkan tewas akibat pemboman yang dilakukan oleh Israel di Gaza, yang telah menyebabkan krisis kemanusiaan di wilayah tersebut. Biden, yang dikenal sebagai pendukung setia Israel, telah menghadapi kritik luas dari para aktivis hak asasi manusia terkait sikap pemerintahannya, termasuk penolakannya untuk mensyaratkan bantuan kepada sekutu utama AS di tengah perang Israel vs Hamas yang sedang berlangsung di Gaza.
Bantuan Militer dari AS ke Israel Capai USD 3,8 Miliar
Pemerintah AS memberikan Israel bantuan militer tahunan sebesar $3,8 miliar, dan sejak dimulainya konflik di Gaza, pemerintahan Biden telah menyetujui tambahan bantuan sebesar $14 miliar untuk negara tersebut. Beth Miller, yang menjabat sebagai direktur politik di Jewish Voice for Peace, sebuah organisasi advokasi di AS, mengkritik veto yang dikeluarkan oleh AS pada hari Rabu, menyatakan bahwa hal itu sangat "menyedihkan" dan menyebut warisan pemerintahan Biden sebagai genosida di Gaza.
"Fakta bahwa mereka terus-menerus mengulang-ulang bahwa mereka 'bekerja tanpa lelah' untuk gencatan senjata sementara pada saat yang sama menghalangi upaya untuk mencapai gencatan senjata dan mengirim senjata mematikan ke pemerintah Israel ... adalah lelucon yang tidak masuk akal," katanya dalam wawancaranya dengan Al Jazeera.
Dari markas besar PBB di New York, Gabriel Elizondo melaporkan untuk Al Jazeera bahwa jelas Amerika Serikat berada di pulau yang terpisah, dan menekankan bahwa rancangan resolusi yang ditolak tersebut merupakan hasil dari negosiasi yang telah berlangsung selama berminggu-minggu. Dia juga menambahkan bahwa terdapat "rasa frustrasi yang jelas di antara anggota Dewan Keamanan PBB karena tidak ada tindakan apa pun di Gaza".
Dunia Tengah Menyaksikan Upaya Memusnahkan Bangsa Palestina
Duta Besar Israel untuk PBB, Danny Danon, mengungkapkan rasa terima kasihnya kepada Amerika Serikat atas penggunaan hak veto, dan menyatakan bahwa pemerintahan Biden "berdiri di sisi moralitas dan keadilan" dengan "tidak meninggalkan para sandera". Danon juga menyoroti bahwa teks yang dibahas mengabaikan penderitaan 101 sandera yang tidak bersalah yang masih ditahan oleh Hamas di Gaza.
Di sisi lain, Majed Bamya, wakil utusan PBB untuk Negara Palestina, menekankan pentingnya gencatan senjata dalam menyelamatkan nyawa selama sesi Dewan Keamanan pada Rabu pagi (20/11).
"Ini benar setahun yang lalu; ini bahkan lebih benar hari ini. Gencatan senjata tidak menyelesaikan segalanya, tetapi itu adalah langkah pertama menuju penyelesaian apa pun," jelas Bamya.
Ia juga menegaskan bahwa dunia tidak seharusnya terbiasa dengan kematian orang Palestina, melihat anak-anak yang kelaparan, dan ibu-ibu yang terpaksa mengungsi dengan anak-anak mereka.
"Fakta bahwa kami adalah orang Palestina tidak membuatnya kurang mengejutkan atau kurang keterlaluan. Mungkin bagi sebagian orang, kita memiliki kewarganegaraan yang salah, keyakinan yang salah, warna kulit yang salah — tetapi kita adalah manusia dan harus diperlakukan dengan hormat," katanya.
Ia juga menyatakan bahwa dunia sedang menyaksikan "upaya untuk memusnahkan suatu bangsa" di mana alat-alat yang seharusnya digunakan untuk mengatasi situasi ini tidak dimanfaatkan.
"Apakah nyawa orang Palestina tidak layak diselamatkan, atau apakah Israel memiliki izin untuk membunuh? Bisakah dewan ini hanya mengadopsi resolusi dan kemudian menyaksikan pelanggaran terang-terangan mereka? Ketidakberdayaan yang ditimbulkan sendiri ini harus dihentikan," katanya.
Sementara itu, Amar Bendjama, utusan Aljazair untuk PBB, juga menyuarakan kekecewaannya pada hari yang sama terkait pemblokiran resolusi oleh AS.
"Ada konsesi yang signifikan selama negosiasi, namun satu anggota memilih untuk memblokir tindakan apa pun dari dewan ini," ungkap Bendjama.
"Pesan hari ini jelas, terutama kepada kekuatan pendudukan Israel: 'Anda dapat melanjutkan genosida Anda, Anda dapat melanjutkan hukuman kolektif Anda terhadap orang-orang Palestina dengan impunitas penuh. Di ruang ini, Anda menikmati kekebalan," katanya.