Israel Akhirnya Ngaku Pakai Ambulans buat Serang Warga Palestina Hingga Tewas, Komandan Tentaranya Cuma Dihukum Teguran
Dua warga Palestina tewas akibat kejadian itu, termasuk seorang perempuan lanjut usia.
Ambulans yang tiba di Kamp Pengungsi Palestina Balata, Nablus, Tepi Barat yang diduduki, terlihat seperti kendaraan medis biasa. Namun, situasi berbalik ketika lima tentara Israel keluar dari ambulans tersebut dan mulai menembaki, yang mengakibatkan dua warga sipil Palestina tewas, termasuk seorang perempuan lanjut usia.
Militer Israel mengakui bahwa insiden ini merupakan pelanggaran serius terhadap prosedur yang ada. Pada 19 Desember 2024, Pasukan Pertahanan Israel (IDF) melaksanakan operasi militer menggunakan ambulans berplat nomor Palestina.
Kelompok hak asasi manusia menilai tindakan ini sebagai "pelanggaran terang-terangan" terhadap hukum humaniter internasional, yang melarang penggunaan kendaraan medis untuk tujuan serangan militer yang dapat menyebabkan cedera atau kematian.
"Israel tidak lagi berusaha menyembunyikan kejahatan perang mereka dan bertindak seolah-olah norma dan aturan hukum internasional tidak berlaku," ungkap B'Tselem, sebuah organisasi hak asasi manusia terkemuka di Israel, yang menyelidiki insiden tersebut, seperti yang dikutip dari The Guardian pada Kamis (16/1).
Rekaman dari kamera keamanan di sebuah toko di Jalan Al-Suq menunjukkan bahwa tentara Israel keluar dari setidaknya dua kendaraan. Lima prajurit turun dari ambulans, sementara lima lainnya keluar dari sebuah van putih yang menyerupai kendaraan sipil. Tembakan terdengar dan para pejalan kaki berlarian untuk menyelamatkan diri.
Seorang perempuan tua yang sedang berbincang dengan tetangganya di pinggir jalan terjatuh setelah terkena tembakan. Dia berusaha mengangkat tangan untuk meminta bantuan, namun dalam waktu singkat, dia ditembak lagi dua kali oleh senapan serbu tentara Israel.
Perempuan tersebut bernama Halimah Saleh Hassan Abu Leil, berusia 80 tahun.
"Saya sedang memegang sekantong roti untuk dibawa pulang ketika Halimah menghentikan saya di jalan," kata Rashida Abu Al Reesh (73), yang terlihat dalam rekaman berdiri di samping korban.
"Dia ingin mengundang saya ke rumahnya. Tiba-tiba, sebuah mobil datang dengan pria-pria bersenjata. Mereka mulai menembak. Halimah jatuh dan saya langsung lari mencari tempat bersembunyi hingga akhirnya berhasil melarikan diri ke ujung jalan," lanjutnya.
Berdasarkan kesaksian beberapa orang, tentara Israel menembaki warga sipil dan melukai sedikitnya enam orang. Sumber militer Israel menyatakan bahwa operasi ini bertujuan untuk menangkap atau membunuh enam anggota milisi lokal Balata yang terkait dengan kelompok Fatah.
Namun, misi tersebut tidak berhasil karena tidak ada satu pun target yang dapat ditangkap atau dibunuh. Selain Halimah, seorang warga Palestina lainnya, Ahmad Qusai 'Issa Sarouji, yang berusia 25 tahun, juga kehilangan nyawanya.
Israel Akui
Tentara Israel mengakui bahwa dalam operasi di Nablus, sebuah kendaraan yang menyerupai ambulans digunakan untuk keperluan operasional tanpa izin dan persetujuan dari komandan yang berwenang.
"Laporan diterima tentang cedera pada warga sipil selama baku tembak dan keadaan insiden tersebut sedang diperiksa," ungkap IDF.
"Penggunaan kendaraan mirip ambulans selama operasi tersebut merupakan pelanggaran serius, melampaui kewenangan, dan melanggar perintah serta prosedur yang berlaku," lanjutnya.
Penggunaan sarana sipil dan medis untuk tujuan militer adalah hal yang dilarang, dan setiap penyimpangan dari aturan ini tidak mencerminkan perilaku IDF.
Setelah melakukan penyelidikan, IDF menginformasikan bahwa komandan Unit 'Duvdevan' telah mendapatkan teguran dari komandan komando pusat, sementara komandan peleton dikenakan tindakan disipliner oleh komandan divisi ke-98.
"Ini adalah insiden khusus yang tidak mencerminkan karakter unit tersebut atau berbagai prestasinya selama bertahun-tahun, terutama selama perang," tambah IDF.
Pelanggaran terhadap Hukum Internasional
Menurut teman-teman dan keluarga Ahmad Qusai, dia bukanlah anggota milisi lokal, melainkan seorang penata rambut. Saksi-saksi mengungkapkan bahwa dia dibunuh oleh seorang penembak jitu Israel yang berada di atap gedung saat operasi berlangsung.
"Kami terbangun di pagi hari karena suara tembakan," ungkap Jamila Sarouji (65), ibu Ahmad Qusai, sambil menahan tangis.
"Kami masih sarapan. Bibinya berteriak kepadanya, 'Hati-hati Qusai! Jangan lihat ke luar!' Saat peringatan itu disampaikan, kami melihat darahnya mengalir. Kami berusaha memanggil ambulans, tetapi usaha itu sia-sia," sambungnya.
Dia baru berusia 25 tahun, kata saudaranya, Mohammed, yang berusia 35 tahun.
"Dia tidak terlibat dalam kelompok perlawanan manapun; dia hanyalah warga sipil biasa. Ini adalah sebuah kejahatan. Tentara Israel tidak membedakan antara warga sipil dan mereka yang bersenjata," jelas Mohammed.
Selama serangan tersebut, Israel juga melukai penduduk lainnya, Hussein Jamal Abu Leil (25), yang merupakan keponakan Halimah. Akibat luka-lukanya, Hussein harus menjalani operasi untuk mengangkat ginjal dan limpa.
Setelah dirawat, Hussein diangkut oleh tentara ke sebuah rumah sakit di Tel Aviv dan setelah dua hari, dia dibebaskan dan dipindahkan kembali ke Nablus, di mana dia menghabiskan sekitar 16 hari di fasilitas kesehatan.
Seorang saksi bernama Mohammed Himmo (35) menceritakan kepada The Guardian bahwa tentara mulai menembaki orang-orang yang melintas tanpa pandang bulu.
"Saya sedang bekerja di dekat pintu toko roti untuk mendinginkan roti ketika ambulans lewat tepat di belakang kami," kata Mohammed.
"Kami sangat terkejut dan tidak bisa membedakan apakah ini adegan film atau kenyataan sampai saya melihat seorang perempuan tua dan Hussein tertembak. Dalam hitungan detik, mereka mulai menembaki orang-orang di sekitar tanpa memperhatikan wanita, anak-anak, atau siapapun," katanya.
Michael Sfard, seorang pengacara hak asasi manusia Israel dan penasihat hukum untuk B'Tselem, menyatakan bahwa prinsip dasar hukum perang internasional adalah prinsip pembedaan, yang mengharuskan untuk selalu membedakan antara warga sipil dan kombatan.
"Ini berarti, antara lain, ada kewajiban bagi kombatan untuk membedakan diri mereka dari warga sipil," jelas Sfard.
"Pasukan militer yang menyamar sebagai kru medis adalah pelanggaran terhadap prinsip pembedaan, yang juga berarti melanggar hukum internasional," katanya.
"Dalam beberapa situasi, penggunaan kendaraan yang tampak seperti ambulans sipil oleh kombatan dapat dianggap sebagai kejahatan perang, seperti membunuh atau melukai individu dari negara atau tentara musuh dengan cara yang tidak sah."
Menurut data dari Palestina, kekerasan di Tepi Barat semakin meningkat seiring dengan konflik di Jalur Gaza. Lebih dari 14.300 warga Palestina telah ditangkap oleh tentara Israel di Tepi Barat sejak Oktober 2023. Kantor PBB untuk Koordinasi Urusan Kemanusiaan (OCHA) melaporkan bahwa antara 7 Oktober 2023 dan 21 Oktober 2024, 732 warga Palestina tewas di Tepi Barat, termasuk di Yerusalem Timur.