Jakarta Mencekam & Penuh Teror, Begini Sejarahnya Ibu Kota Pindah ke Yogyakarta
Ada peristiwa kelam di balik sejarah pemindahan ibu kota dari Jakarta ke Yogyakarta. Simak selengkapnya.
Ada peristiwa kelam di balik sejarah pemindahan ibu kota dari Jakarta ke Yogyakarta. Simak selengkapnya.
Jakarta Mencekam & Penuh Teror, Begini Sejarahnya Ibu Kota Pindah ke Yogyakarta
Ibu kota Indonesia pernah pindah secara darurat dari Jakarta ke Yogyakarta pada 4 Januari 1946 karena situasi yang mencekam kala itu.
Pemindahan dilakukan secara dramatis di tengah pertempuran yang terjadi antara rakyat Indonesia dengan tentara NICA dan sekutunya.
Di balik pemindahan itu banyak pula aksi teror hingga kekerasan yang menyasar para tokoh nasional hingga terancam nyawanya.
Seperti apa sejarah lengkap pemindahan ibu kota dari Jakarta ke Yogyakarta? Melansir dari kanal YouTube Hendri Teja, berikut informasinya.
Latar Belakang Jakarta Digempur Sekutu
Pasca proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia, pasukan Inggris dan sekutu mendarat di Jakarta pada 29 September 1945.Pemerintah Indonesia pun bersedia membantu melucuti persenjataan para prajurit Jepang dan memulangkan prajurit serta interniran Jepang ke negeri asalnya.
Jakarta di awal kemerdekaan merupakan kota yang mencekam. Para pemuda dari laskar rakyat masih menggelorakan semangat kemerdekaan dan kebencian kepada penjajah hingga memantik banyak kekacauan.
Markas Jepang direbut dan persenjataannya dilucuti sebagai reaksi akan isu ambisi Belanda yang ingin menjajah Indonesia kembali.
Keberadaan warga Belanda di Kamp Interniran, warga Tionghoa, Ambon dan Manado yang dicap pro Belanda juga diancam oleh laskar rakyat.
Namun banyak juga masyarakat Tionghoa Jakarta justru mendukung kemerdekaan Indonesia, termasuk warga keturunan Ambon dan Manado.
Guna mengantisipasi kekacauan, Polisi Indonesia dibantu Tentara Keamanan Rakyat (TKR) bertugas sangat keras menjaga keamanan di Jakarta.
Sayangnya pasukan Inggris justru mengizinkan pasukan KNIL Belanda masuk ke Jakarta dan melakukan banyak provokasi hingga memancing amarah pejuang Indonesia.
Salah satunya provokasi yang kerap dilakukan oleh pasukan KNIL Ambon hingga memicu pertempuran kecil di beberapa wilayah di Jakarta.
Karena kurangnya personel, Inggris pun meminta bantuan tentara Jepang membantu menjaga keamanan Jakarta.
Inggris yang awalnya hanya membantu mengamankan justru ikut terlibat pertempuran karena laskar rakyat mulai menyasar pasukan Inggris tanpa sengaja.
Bersatunya Inggris-KNIL Belanda
Pasukan Inggris pun bersatu dengan pasukan KNIL-NICA Belanda menggempur Jakarta. Sasaran utama mereka yang pertama adalah melumpuhkan Balai Muslimin Indonesia serta Kantor Polisi Republik Indonesia di Senen.Pasukan Inggris pun mulai menerapkan aturan ketat termasuk menggeledah dan menangkap orang yang disinyalir tergabung sebagai laskar rakyat.
Pada 29 Desember 1945 hampir seluruh kantor pemerintah berhasil dikepung dan diduduki.
Polisi Indonesia ditangkap dan senjatanya dilucuti sebelum akhirnya ditahan di kantor besar polisi.
Pasukan NICA terus berdatangan ke Pelabuhan Tanjung Priok hingga gencar melakukan provokasi.
Mereka mengibarkan bendera Belanda dan menunjukan bahwa kekuasaan Belanda di Indonesia telah dikembalikan.
Dengan kendaraan jeep dan truk, mereka melakukan konvoi keliling Jakarta sembari melakukan tembakan ke udara.
Tak berhenti di situ, mereka terus melakukan razia hingga menembaki mobil pembesar Indonesia dengan atribut bendera merah putih.
Terpancing dengan provokasi tersebut, tentara rakyat kerap terlibat pertempuran kecil dengan pasukan NICA hingga seantero Jakarta. Peristiwa itu meluas usai peristiwa Surabaya pecah.
Pengalaman mencekam sempat dibagikan oleh Suwarjono Suryaningrat, mantan Menteri Kesehatan ke-10 yang pernah terlibat aksi penembakan.
"Hampir tiap hari, sepanjang Matraman kami menembaki mobil-mobil tentara Belanda dan Inggris dari balik gedung-gedung di Gang Sentiong," ucapnya.
Aksi Teror Menyasar Tokoh Nasional
Aksi teror terus dilayangkan oleh prajurit Inggris dan NICA di seluruh Jakarta hingga menyasar para tokoh nasional.Terjadi beberapa upaya penculikan hingga pembunuhan terhadap tokoh nasional seperti Perdana Menteri Sutan Sjahrir yang sempat dikejar kelompok bersenjata hingga hampir dibunuh.
Menteri Keamanan Rakyat Amir Sjarifudin nyaris terkena tembakan saat akan menuju ke rumah Bung Karno.
Mohammad Roem tertembak pada bagian kaki kirinya. Serta Oto Iskandar di Nata yang sempat dituduh sebagai mata-mata NICA.
Pemindahan Ibu Kota Jakarta ke Yogyakarta
Menyikapi isu tersebut, Presiden Soekarno segera menggelar rapat terbatas pada 1 Januari 1946 di kediamannya, Jalan Pegangsaan Timur Nomor 56 Jakarta.Dari pertemuan itu, Sultan Hamengkubuwono IX menyarankan agar Ibu kota RI dipindahkan sementara ke Yogyakarta.
Disepakatinya saran Sultan tak lain karena pengaruh Sultan sangat kuat di Yogyakarta. Bahkan Belanda pun sungkan terhadapnya.
Mengingat kondisi Jakarta yang mencekam dan berbahaya, proses evakuasi Soekarno dan rombongannya berjalan penuh dramatis.
Melansir dari laman kesbangpol.kulonprogokab.go.id, pada tanggal 3 Januari 1946 malam, di jalur kereta api yang terletak di belakang kediaman Bung Karno di Jalan Pegangsaan Timur, Menteng, Jakarta Pusat, tiba sebuah gerbong dengan ditarik lokomotif secara perlahan.
Lampu kereta sengaja dimatikan supaya tidak memantik curiga.
"Dengan diam-diam, tanpa bernapas sedikit pun, kami menyusup ke gerbong. Orang-orang NICA menyangka gerbong itu kosong,” kenang Bung Karno.
Pada 4 Januari 1946 dini hari, rombongan gerbong rahasia itu tiba di Yogyakarta dengan selamat.
Untuk sementara, kendali keamanan di Jakarta diserahkan kepada Letnan Kolonel Daan Jahja yang juga Gubernur Militer Kota Jakarta.
Di Stasiun Tugu menjelang subuh, sudah hadir Sultan HB IX, Paku Alam VIII, dan Jenderal Soedirman, untuk menyambut kedatangan Presiden Soekarno dan kawan-kawan.
Sejak saat itu Ibu kota RI untuk sementara berada di Yogyakarta.
Seluruh biaya operasional pemerintahan dan para pejabat RI selama berada di Yogyakarta ditanggung oleh Keraton Yogyakarta juga dibantu oleh Kadipaten Pakualaman, lantaran kondisi keuangan negara kala itu sedang sangat buruk, bahkan kosong.
Wakil Menteri Penerangan saat itu Ali Sastroamidjojo menyampaikan kabar pemindahan Ibu kota ke Yogyakarta melalui siaran RRI.
Setelah ibukota resmi pindah ke Yogyakarta, pusat pemerintahan untuk sementara dikendalikan dari Gedung Agung Yogyakarta yang berperan menjadi istana kepresidenan. Yogyakarta sendiri menjadi ibukota negara hingga 27 Desember 1949.