Menakjubkan! Hasil Penelitian Ungkap Ternyata Nyamuk Punya Teknologi Canggih Buat Temukan Manusia Calon Korbannya
Selain suara dan gigitannya yang mengganggu, nyamuk juga dapat menularkan virus penyakit yang mematikan.
Nyamuk menjadi salah satu serangga yang paling berbahaya bagi manusia. Sebab, selain suara dan gigitannya yang mengganggu, nyamuk juga dapat menularkan virus penyakit yang mematikan.
Di banyak belahan dunia, gigitan nyamuk telah mengakibatkan banyak manusia terkena demam berdarah, demam kuning, dan virus Zika. Bahkan menurut statistic WHO, Malaria yang disebarkan oleh nyamuk Anopheles gambiae, telah mengakibatkan lebih dari 600.000 kematian pada tahun 2022.
Sebuah hasil penelitian terbaru yang dipublikasikan di Nature mengungkap fakta terbaru soal bagaimana cara nyamuk menemukan manusia. Rupanya, selain dari bau dan napas kita, nyamuk juga memiliki teknologi canggih buat menemukan manusia yang akan digigitnya yakni inflamerah.
"Nyamuk menggunakan penginderaan inframerah pada antena mereka untuk melacak mangsanya," menurut sebuah studi terbaru dikutip dari Science Alert, Senin (16/9/2024).
Penelitian yang dipimpin oleh para ilmuwan dari Universitas California Santa Barbara (UCSB) itu menemukan bahwa nyamuk menggunakan deteksi inframerah bersama dengan isyarat lain yakni mendeteksi CO2 dalam napas kita dan bau badan tertentu untuk mencari inangnya.
"Nyamuk yang kami pelajari, Aedes aegypti, sangat terampil dalam menemukan inang manusia," kata ahli biologi molekuler UCSB, Nicholas Debeaubien.
Menurutnya, inflamerah yang dimiliki amat membantu nyamuk buat menemukan makanannya. Sebab, penglihatan yang dimiliki nyamuk tidak terlalu bagus dan bau juga tidak terlalu bisa diandalkan jika cuaca berangin atau inangnya sedang bergerak.
Para peneliti membuat uji coba dengan memasukkan masing-masing 80 nyamuk betina berusia sekira 1-3 minggu ke dua tempat yang berbeda dengan berbagai inang tiruan yang diwakili oleh kombinasi pelat termoelektrik, CO2 pada konsentrasi napas manusia, dan bau manusia. Para peneliti kemudian merekam video berdurasi 5 menit untuk mengamati perilaku mereka dalam mencari inang.
Beberapa nyamuk diberi pelat termoelektrik yang diatur pada suhu rata-rata kulit manusia sebesar 34 derajat Celsius (93 °F), yang juga berfungsi sebagai sumber radiasi inframerah. Yang lain diatur pada suhu sekitar 29,5 °C, suhu yang disukai nyamuk, tetapi tidak memancarkan inframerah.
Hasilnya CO2, bau, atau inframerah gagal menarik minat nyamuk. Namun, rasa haus serangga tersebut terhadap darah meningkat dua kali lipat ketika diberi CO2 dan bau ditambah faktor inframerah.
"Setiap isyarat tunggal tidak merangsang aktivitas pencarian inang. Hanya dalam konteks isyarat lain, seperti peningkatan CO2 dan bau manusia, IR membuat perbedaan," kata ahli saraf UCSB Craig Montell.
Tim tersebut juga mengonfirmasi bahwa sensor inframerah nyamuk terletak di antena tempat mereka memiliki protein yang peka terhadap suhu, TRPA1. Ketika tim menghilangkan gen untuk protein ini, nyamuk tidak dapat mendeteksi inframerah.
Temuan ini membantu menjelaskan mengapa nyamuk sangat tertarik pada kulit terbuka, dan mengapa pakaian longgar efektif mencegah gigitan nyamuk.
Hal ini mungkin juga mengarah pada beberapa pertahanan yang sedikit lebih berteknologi tinggi terhadap nyamuk, seperti potensi menciptakan perangkap yang menggunakan radiasi termal suhu kulit sebagai umpan.
"Meskipun ukurannya kecil, nyamuk bertanggung jawab atas lebih banyak kematian manusia daripada hewan lainnya," kata DeBeaubien.
"Penelitian kami meningkatkan pemahaman tentang bagaimana nyamuk menargetkan manusia dan menawarkan kemungkinan baru untuk mengendalikan penularan penyakit yang ditularkan melalui nyamuk".