Begini Proses Nyamuk Aedes Aegypti Terkontaminasi Wolbachia untuk Tekan Kasus Demam Berdarah
Selama enam bulan nanti nyamuk Aedes Aegypti yang sudah Berwolbachia itu akan menyebar ke masyarakat.
Cara itu dilakukan karena tren Kasus Demam Berdarah meningkat.
Begini Proses Nyamuk Aedes Aegypti Terkontaminasi Wolbachia untuk Tekan Kasus Demam Berdarah
Pengajar dan peneliti Universitas Gadjah Mada (UGM) Adi Utarini menjelaskan proses Wolbachia masuk ke nyamuk Aedes Aegypti hingga nyamuk yang terkontaminasi Wolbachia menyebar ke masyarakat.
"Pelepasan nyamuk ini kita lakukan secara bertahap dengan ember yang diisi dengan nyamuk aedes aegypti dan ember ini tidak diletakkan di setiap rumah, namun diletakkan berjarak sekitar 75 meter dari satu rumah ke rumah yang lain," kata perempuan yang biasa disapa Prof Uut dalam rapat bersama Komisi IX DPR RI, Jakarta, Selasa (28/11).
Kemudian, setiap dua minggu telur nyamuknya dan airnya pun diganti. Lalu, selama enam bulan nanti nyamuk Aedes Aegypti yang sudah Berwolbachia itu akan menyebar ke masyarakat.
"Nah kami kemudian pada waktu yang bersamaan menyebarkan semacam bentuknya ember untuk trapping nyamuk, untuk menyedot nyamuk. Sehingga di seluruh kota Yogyakarta, kami letakkan sektar 250 biji trap yang setiap minggu kami ambil dan kemudian ada yang menghitung satu per satu ada serangga apa saja yang ada di situ," jelasnya.
"Aedesnya berapa dihitung dalam penelitian ini, sehingga pada akhirnya ketika kita sudah melepaskan selama lebih kurang 6 bulan di masyarakat, maka aedes yang sudah ada wolbachianya akan mencapai sekitar 60 persen," sambungnya.
Lalu, ketika sudah mencapai 60 persen, maka mereka akan berkembang biak secara alamiah atau alami. Sehingga, ketika sudah mencapai 60 persen ember itu mereka tarik dan kemudian pelepasan dihentikan.
"Nah disini salah satu keunggulan dari teknologi ini adalah ketika pelepasannya dihentikan, nyamuknya terus berkembang biak secara alami dengan nyamuk yang ada di alam, dan kemudian terus akan berada di populasi di alamnya," ujarnya.
"Dengan demikian Aedes Wolbachia ini menjadi berkelangsungan ini yang kemudian dilihat dampaknya dari DBD," tambahnya.
Ia mengungkapkan, untuk penelitian ini dilakukan secara bertahap. Tahapan ini diungkapnya untuk menunjukkan kehati-hatian dalam teknologi ini dan jangka panjang.
"Tahap yang pertama adalah untuk mengetahui keamanan dan kelayakan teknologi Wolbachia ini kami membangun fasilitas labnya, kemudian juga pertama kali membawa telur nyamuk Aedes yang sudah ada Wolbachianya, tetapi kemudian di kawin silangkan dengan nyamuk yang ada di Yogyakarta," ungkapnya.
Selanjutnya, pada tahapan kedua dimulai pelepasan di masyarakat. Akan tetapi, dilakukan pada skala yang sangat kecil, sehingga ini dilakikan pada dua dusun terlebih dahulu yakni di Sleman dan Bantul.
Lalu, untuk fase ketiga disebutnya sebagai fase terpenting. Hal ini karena memberikan pembuktian teknologi ini mampu menurunkan seberapa banyak bisa menurunkan kasus DBD.
"Nah kami menyadari bahwa hal ini menyangkut kehati-hatian yang tinggi, sehingga pada waktu itu Kemenristek Dikti kemudian melakukan analisis risiko dengan membentuk tim independen (24 orang)," sebutnya.
"Dengan hasil bahwa risiko yang dinyatakan bisa diabaikan, baru kami lanjut melakukan pelepasan yang skala luas," tambahnya.
Terakhir, ketika hasil penelitiannya sudah bisa diperoleh. Kemudian, barulah secara bertahap mereka masuk pada tahapan yang terakhir.
"Dan di tahapan yang terakhir sudah diperoleh rekomendasi dari AIPI, WHO, sehingga dengan dasar tersebut kami melakukan pelepasan di seluruh kota Yogyakarta dan Sleman dan Bantul," ucapnya.
Penelitian ini ditegaskannya tidak mungkin dilakukan tanpa adanya dukungan dari Gubernur, Sultan, kemudian Wali Kota, Dinkes DIY dan para pemangku kepentingan yang lain.
"Kami sejak awal bekerja sama dengan Monash University sehingga karena ada peneliti dari Australia juga dipantau oleh Kemenristek dikti termasuk ada unsur dari BIN yang ikut memantau kami sejak awal," pungkasnya.