Potret Masjid di Tengah Lumpur Lapindo Berdiri Kokoh Sampai Sekarang, Dulu Digunakan Ibadah Kini Tak Lagi Berfungsi
Potret bangunan masjid masih berdiri kokoh di tengah area lumpur Lapindo di Sidoarjo,Jawa Timur.
Potret sebuah masjid yang masih berdiri kokoh di tengah area lumpur Lapindo dibagikan oleh kanal Youtube Kuno Brono. Bangunan masjid yang terdiri dari dua lantai itu berada di daerah Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur.
"Tinggi sekali masih berdiri kokoh (masjid) masih bagus gitu. Ternyata masjidnya sangat besar sekali di sini ya," kata perekam video.
Meski berada di area lumpur lapindo, masjid tersebut masih berdiri dengan kokoh. Hanya saja beberapa bagiannya memang sudah mengalami kerusakan karena tidak terawat.
"Jadi masjid ini sudah tidak difungsikan lagi karena terdampak lumpur lapindo. Ini ukuran masjidnya sangat besar sekali kira-kira 30 meteran," kata perekam video.
Dalam video, terlihat bagian dalam masih tersebut cukup besar dan luas dengan kubah yang cukup besar. Dulunya masjid itu kerap digunakan masyarakat sekitar untuk beribadah.
"Masjid ini dulu dipakai sholat termasuk sholat jumat dan sholat ied. Tapi sudah tidak digunakan lagi karena terkena lumpur," ungkap perekam video.
Saat ini, bangunan masjid yang terdiri dari dua lantai itu kini menjadi terbengkalai dan dijadikan sebagai sarang burung walet liar.
Tragedi Lumpur Lapindo
Tragedi lumpur lapindo sempat menggemparkan Indonesia sekitar 18 tahun lalu, tepatnya pada 29 Mei 2006.
Semburan lumpur berasal dari Sumur Banjarpanji 1, Porong, Sidoarjo, bagian dari kegiatan pengeboran eksplorasi gas Blok Brantas.
Semburan lumpur panas disertai gas terus membesar dan meluas selama beberapa bulan. Bahkan hingga menenggelamkan area pemukiman, pertanian, dan industri di tiga kecamatan yaitu Porong, Tanggulangin, dan Kecamatan Jabon.
Sekitar 45 ribu jiwa pun kehilangan tempat tinggal mereka dan harus mengungsi ke wilayah lain. Belum lagi aktivitas masyarakat lain terganggu karena ditutupnya ruas jalan tol Surabaya-Gempol.
Semburan lumpur panas lapindo telah menenggelami ribuan rumah, bangunan fasilitas publik, sawah, tempat usaha, hingga pemakaman. Semuanya tenggelam tanpa bekas di dalam tanggul lumpur yang kini tingginya mencapai 12 meter.
Sebanyak empat desa di lahan seluas 400 hektare terdampak langsung dari semburan lumpur panas itu. Belum lagi, belasan desa lain yang juga ikut tergenang di lahan seluas 300 hektare.
Pada 18 April 2007, Presiden ke-6 RI Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 2007 tentang Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS).
Aturan tersebut dibuat setelah membentuk Tim Nasional Penanggulangan Semburan Lumpur Sidoarjo. Tugasnya untuk menangani upaya penanggulangan semburan dan luapan lumpur serta masalah sosial dan infrastruktur.
Akibat dari tragedi tersebut Lapindo dan Pemerintah pun harus mengeluarkan uang ganti rugi.
Berdasarkan data Pusat Pengendalian Lapindo Sidoarjo (PPLS), nilai ganti rugi atas tanah basah sebesar Rp120 ribu per meter persegi. Sedangkan nilai ganti rugi atas tanah kering mencapai Rp1 juta per meter persegi.
Selain ganti rugi langsung, Pemerintah juga harus mengalokasikan anggaran untuk pengendalian lumpur dan perbaikan infrastruktur yang terdampak.