Banyak Pabrik Tutup dan Timbulkan Gelombang PHK di Awal 2025, dari Sritex Hingga Yamaha Music Indonesia
Dalam beberapa bulan terakhir, beberapa perusahaan besar telah mengumumkan PHK massal yang berdampak pada ribuan karyawan

Kabar menyedihkan kembali menghantui para pekerja di Indonesia. Gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) semakin meluas, menimpa berbagai sektor industri, mulai dari manufaktur elektronik hingga tekstil dan startup.
Dalam beberapa bulan terakhir, beberapa perusahaan besar telah mengumumkan PHK massal yang berdampak pada ribuan karyawan.
Lantas, seberapa besar angka PHK yang terjadi di tahun 2025 ini?
1. Sanken
Perusahaan elektronik dan peralatan rumah tangga asal Jepang, Sanken, yang beroperasi di kawasan industri MM2100, Cikarang, telah mengumumkan penghentian produksinya pada Juni 2025. Keputusan ini bukan tanpa alasan. Induk perusahaan di Jepang memutuskan untuk mengubah fokus bisnisnya dengan mengalihkan produksi dari peralatan rumah tangga ke sektor semikonduktor.
Dampaknya, sebanyak 900 karyawan harus menerima kenyataan pahit terkena PHK. Data dari Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) mengungkapkan dari jumlah tersebut, sekitar 400 orang masih bekerja hingga Juni 2025, sementara 500 lainnya telah lebih dulu di-PHK sebelumnya.
"Sebanyak 400 buruh PT Sanken Indonesia yang merupakan anggota KSPI hingga saat ini masih bekerja sampai dengan Juni 2025," ujar Presiden KSPI, Said Iqbal, dalam keterangannya, Jumat (21/2).
2. Yamaha Music Indonesia
Bukan hanya Sanken, perusahaan elektronik lainnya yang berasal dari Jepang, PT Yamaha Music Indonesia, juga melakukan PHK besar-besaran.
Perusahaan yang berfokus pada produksi piano untuk ekspor ini telah memberhentikan 400 karyawan di pabriknya di Cibitung, Bekasi, serta 700 karyawan di Jakarta pada akhir Desember 2024 hingga awal Januari 2025.
Dengan total 1.100 karyawan yang terkena PHK, alasan utama yang dikemukakan adalah relokasi produksi ke Jepang dan sebagian ke China. Fenomena ini semakin memperkuat tren PHK besar-besaran di sektor elektronik dan manufaktur di Indonesia akibat pergeseran strategi industri perusahaan asing.
3. Sritex
Industri tekstil pun tak luput dari badai PHK. PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex), yang selama ini dikenal sebagai salah satu perusahaan tekstil terbesar di Indonesia, mengalami krisis yang berujung pada pemutusan hubungan kerja terhadap 10.965 karyawan.
Berdasarkan data dari Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Jawa Tengah, gelombang PHK ini terjadi dalam beberapa tahap:
A. Januari 2025
• PT Bitratex Semarang: 1.065 karyawan di-PHK
B. 26 Februari 2025
• PT Sritex Sukoharjo: 8.504 karyawan.
• PT Primayuda Boyolali: 956 karyawan.
• PT Sinar Panja Jaya Semarang: 40 karyawan.
• PT Bitratex Semarang: 104 karyawan.
• Agustus 2024 (sebelum pailit):
• PT Sinar Panja Jaya belum membayarkan pesangon kepada 300 karyawan.
Total keseluruhan PHK di Sritex Group mencapai 10.965 pekerja, mencerminkan betapa besarnya krisis yang dihadapi industri tekstil dalam negeri.
4. eFishery
Tidak hanya industri manufaktur, startup juga mengalami gejolak besar. eFishery, startup teknologi perikanan yang sebelumnya dianggap sebagai salah satu perusahaan rintisan paling menjanjikan di Indonesia, kini tengah dilanda krisis.
Perusahaan ini dilaporkan telah melakukan PHK terhadap 300 karyawan, setelah sebelumnya juga merumahkan 100 orang, sehingga total karyawan yang terdampak mencapai 400 orang. Gelombang PHK bertahap sejak akhir Januari 2025.
Krisis yang menimpa eFishery bukan sekadar persoalan efisiensi bisnis, melainkan berkaitan dengan skandal keuangan yang mencuat ke publik. Berdasarkan laporan The Straits Times, hasil investigasi internal mengungkapkan adanya dugaan manipulasi laporan keuangan yang membuat pendapatan perusahaan tampak lebih besar dari kenyataan.
Beberapa temuan utama dalam investigasi tersebut antara lain pertama pendapatan eFishery diduga dilebih-lebihkan hingga hampir USD 600 juta dalam periode Januari–September 2024.
Kedua, perusahaan mengklaim memiliki lebih dari 400.000 smart feeder, tetapi investigasi menemukan hanya sekitar 24.000 unit yang benar-benar beroperasi.
Ketiga, manajemen dilaporkan menyembunyikan kerugian perusahaan dari investor. Sementara laporan resmi menunjukkan laba USD 16 juta, hasil penyelidikan internal justru mengungkapkan bahwa perusahaan mengalami kerugian hingga USD 35,4 juta dalam periode yang sama.