Baru 20 persen penduduk kuliah, Indonesia sulit jadi negara maju
Merdeka.com - Indonesia akan kesulitan naik kelas menjadi negara berpendapatan menengah ke atas (upper middle income) dalam beberapa tahun mendatang. Itu karena jumlah sarjana di Tanah Air masih kecil dibandingkan jumlah populasi.
Itupun masih diperparah kualitas lulusan pendidikan tinggi yang tidak siap bersaing di pasar kerja.
Presiden Ketiga Republik Indonesia Bacharuddin Jusuf Habibie mengungkapkan, fenomena menyedihkan itu harus ditanggulangi pemerintah. Pendidikan sukses bukan diukur semata dari jumlah lulusan, tapi kesesuaian (missmatch) dengan pasar tenaga kerja.
-
Kenapa BJ Habibie menganggap pendidikan dan teknologi penting? Masa depan Indonesia ditentukan oleh keunggulan sumber daya manusia Indonesia yang memiliki nilai budaya, memahami dan menguasai mekanisme pengembangan serta penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi.
-
Bagaimana cara memperbaiki kualitas pendidikan? Masdar menyerukan perlunya reformasi mendalam dalam struktur pendidikan dan regulasi etika sosial untuk memperbaiki kualitas Pendidikan.
-
Apa yang menjadi masalah utama pendidikan? 'Lembaga pendidikan kita sedemikian rupa berada di bawah struktur politik yang menggerogoti kualitas,' katanya.
-
Apa masalah sarjana dalam mencari kerja? Meskipun tingkat pengangguran laki-laki di Amerika Serikat tergolong rendah dibandingkan beberapa dekade terakhir, Colflesh termasuk di antara laki-laki yang kesulitan mendapatkan pekerjaan, atau bahkan berhenti mencari pekerjaan.
-
Apa kekurangan Ilham Habibie dalam Pilgub Jabar? 'Itukan semacam, tidak menanam tapi pengin panen,' ungkap Usep saat dihubungi Merdeka.com, Jumat(7/6).
-
Apa saja yang menjadi penyebab tingginya pengangguran di kalangan pemuda? Puteri menyebut terdapat beberapa faktor yang menjadi penyebab tingginya pengangguran di kalangan pemuda, seperti kurangnya akses transportasi dan pendidikan, keterbatasan finansial, kewajiban rumah tangga. Hingga, persoalan kurang sinkronnya antara pendidikan dan permintaan industri atau skill mismatch yang membuat waktu tunggu dalam mencari kerja menjadi lebih lama.'Dimana, akhirnya, mereka beralih ke sektor informal. Ini juga terkonfirmasi dari data BPS yang menyebut pekerja informal dari kalangan Gen Z mencapai 10,89 juta orang,' katanya.
"Keunggulan terjadi bukan hanya dari proses pendidikan dan pembudayaan, tapi harus lewat proses lapangan kerja. Jadi tidak bisa belajar hanya dari buku, harus dilalui," ujarnya dalam seminar "Refleksi Tiga Tahun MP3EI" di Jakarta, Kamis (4/9).
Menurut Habibie, sudah terlalu banyak sumber daya manusia di Indonesia tersia-siakan. Seringkali mereka menganggur karena tidak tersedia pekerjaan yang sesuai dengan latar belakang studi.
"Bahkan sarjana bisa cari pekerjaan lain. Kalau perlu menjadi sopir bus atau taksi," cetusnya.
Dalam forum yang sama, Rektor Institut Teknologi Surabaya Triyogi Yuwono menyatakan jumlah partisipasi kasar penduduk yang mengenyam pendidikan strata 1 baru 20 persen, alias mencakup 6 juta orang.
Jumlah itu masih belum memadai buat menggenjot perkembangan IPTEK, sebagai motor perekonomian. "Sulit jika kita ingin menjadi negara maju kalau kondisi teknologi masih seperti ini," ujarnya.
Padahal, populasi penduduk produktif di negara maju yang sekolah hingga sarjana amat tinggi. Sebagai perbandingan, di Korea Selatan, penduduk berusia 18-24 tahun yang menempuh studi sarjana mencapai 90 persen.
"Kita sangat jauh tertinggal," kata Triyogi.
Kalaupun mau mengejar standar kuantitas sarjana negara maju, Indonesia harus menempuh rute yang berbeda.
Dengan penduduk mencapai 240 juta jiwa dan terus bertambah, lebih baik pemerintah memperbanyak Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) maupun Community College. Cara itu lebih mudah untuk memperbanyak paling tidak angkatan kerja berkualifikasi diploma.
Seiring dengan itu, partisipasi di perguruan tinggi diharapkan bisa mencapai 40 persen pada 2020.
"Sering kita dengar Indonesia sekarang mendapat bonus demografi. Tapi itu kalau kita berhasil mendidik, kalau tidak maka menjadi bencana demografi," urai Triyono.
Untuk diketahui, Lembaga Studi McKinsey menyatakan Indonesia berpeluang naik kelas menjadi kekuatan ekonomi ketujuh dunia. Itu bisa dicapai pada 2030, asal ada peningkatan konsumsi dari kelas menengah yang populasinya berpotensi melampaui 100 juta jiwa. (mdk/bim)
Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Menaker Ida mengatakan, ada beberapa penyebab masih banyak pengangguran di Indonesia.
Baca SelengkapnyaPISA menyebut peningkatan kualitas pendidikan Indonesia sangatlah lambat.
Baca SelengkapnyaCalon mahasiswa enggan mengambil jurusan kejuruan karena dianggap berstatus rendah, meski lebih diminati.
Baca SelengkapnyaKetidakcocokan keterampilan tenaga kerja dengan kebutuhan industri, berkontribusi terhadap masalah ini.
Baca SelengkapnyaJokowi bakal menggelontorkan anggaran agar populasi produktif S2 dan S3 di Indonesia bisa meningkat drastis.
Baca SelengkapnyaMenaker Ida membeberkan daftar keterampilan yang dibutuhkan pasar kerja saat ini.
Baca SelengkapnyaSaid menyebut tenaga kerja Indonesia yang bekerja saat ini berjumlah 142,1 juta. Namun ironisnya 54,6 persen diantaranya lulusan SMP ke bawah.
Baca SelengkapnyaBadan Pusat Statistik (BPS) melaporkan, sebanyak 9,9 juta Gen Z pada rentang usia 15 sampai 24 tahun menganggur pada 2023.
Baca SelengkapnyaSaid menilai Indonesia masih gagal memanfaatkan bonus demografi untuk membuat Indonesia lebih produktif.
Baca SelengkapnyaIndonesia masih punya waktu sampai 2030 untuk bisa menaikan gaji rata-rata para pekerja di level Rp15 juta per bulan.
Baca SelengkapnyaSekjen Anwar menekankan, adanya job fair merupakan upaya yang sangat bermanfaat terhadap penciptaan peluang.
Baca Selengkapnya