Cara Pemerintah Kendalikan Inflasi Agar Tidak Seperti Zimbabwe
Penanganan inflasi umumnya menggunakan instrumen perbankan.
Menteri Dalam Negeri, Tito Karnavian mengungkapkan langkah strategis dalam menangani inflasi di Indonesia yang sempat di angka 5,9 persen saat pandemi Covid-19.
Tito menceritakan pada September 2022 dirinya dipanggil oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk menangani inflasi yang mendekati angka 6 persen.
Menurutnya, penanganan inflasi umumnya menggunakan instrumen perbankan, terutama melalui penyesuaian suku bunga dan stabilisasi nilai tukar mata uang.
"Kalau pelajaran kampus, termasuk di Harvard pun, di manapun, itu hanya menggunakan satu instrumen, yaitu instrumen dari perbankan," kata Tito dalam acara Anugerah Hari Statistik Nasional 2024, BPS, Jakarta, Rabu (26/9).
Tito menjelaskan jika inflasi meningkat, suku bunga perlu dinaikkan untuk menurunkan permintaan. Sebaliknya, ketika inflasi rendah, penurunan suku bunga dapat mendorong permintaan. Keseimbangan antara permintaan dan penawaran menjadi kunci dalam stabilitas harga.
"Supply dan demand, itu kunci tangan dari penanganan inflasi. Kalau cukup supply, sesuai dengan kebutuhan demand, makanya harga akan stabil. Kalau demand yang tinggi, supply-nya kurang, harga pasti akan naik," papar Tito.
Belajar dari inflasi negara lain
Dalam konteks global, Tito mengamati inflasi di berbagai negara, seperti Zimbabwe dan Turki, telah mencapai angka yang sangat tinggi, bahkan hingga ratusan persen. Hal ini membuat pemerintah Indonesia harus sangat berhati-hati agar inflasi tetap terjaga, terutama karena sebagian besar masyarakat Indonesia lebih fokus pada kebutuhan dasar.
"Inflasi saat itu banyak negara yang sudah sangat tinggi. Zimbabwe itu sudah ratusan persen. Kemudian, inflasi di Turki Inflasinya 60-70 persen. Libanon yang sekarang sedang konflik itu sudah kembali kepada manual. Banknya enggak hidup, sekarang orang enggak percaya mata uang lokal, terjadi dolarisasi," jelasnya.
Tito juga mencatat pentingnya data dalam penanganan inflasi. Dalam upayanya, ia meminta Badan Pusat Statistik (BPS) untuk aktif memantau inflasi di tingkat daerah.
Dengan menciptakan Indeks Perkembangan Harga (IPH) secara mingguan, BPS dapat memberikan informasi yang diperlukan untuk mengidentifikasi daerah-daerah dengan inflasi tinggi atau rendah. Data ini menjadi dasar bagi pemerintah untuk melakukan intervensi yang tepat.
"Nah belajar dari situ kemudian bagaimana kalau kita menangani inflasi yang sudah merangkak 6 persen berbasis daerah. Saya sampaikan Pak (Jokowi) kalau sudah begini kita harus punya data tiap-tiap daerah. Kalau untuk yang kemarin yang Covid itu kita mengandalkan dari Pemerintah Kesehatan, datanya," terang dia.
"Nah kalau ini saran saya Pak (Jokowi) dari BPS karena dia punya cabang sampai kabupaten, kota semuanya Pak. Nah akhirnya itulah intinya rapatlah kita beliau sepakat dan kemudian rapat kita meminta BPS untuk menggerakkan semua jejaringnya," sambungnya.
Melalui pendekatan berbasis daerah, Tito berharap penanganan inflasi dapat dilakukan dengan lebih efektif, mengingat tantangan yang dihadapi Indonesia sebagai negara kepulauan dan demokrasi.
"BPS ibaratnya dokter untuk memberikan terapi yang benar yang pas harus didasarkan perdiagnosa yang benar. Nah BPS adalah dokter yang memberikan didiagnosa. Ini lho Pak (Jokowi) daerahnya yang tinggi yang 7 persen, ini lho yang paling rendah terjadi deflasi minus 2 persen dan seterusnya, sehingga kita bisa melakukan terapi di mana kita melakukan inflasi," pungkasnya.