Kasus Korupsi Pertalite Dioplos Jadi Pertamax dan Runtuhnya Kepercayaan Publik pada BUMN
Skandal korupsi Pertamina Patra Niaga senilai Rp 193,7 triliun mengancam kepercayaan publik terhadap BUMN dan berdampak luas pada ekonomi dan citra Indonesia.

Skandal korupsi yang melibatkan Pertamina Patra Niaga dengan kerugian negara mencapai Rp 193,7 triliun akibat manipulasi BBM dan pengoplosan Pertalite menjadi Pertamax telah mengejutkan publik Indonesia.
Kasus ini bukan hanya mencoreng nama Pertamina, tetapi juga menimbulkan pertanyaan besar tentang tata kelola dan akuntabilitas BUMN secara keseluruhan. Kejadian ini terjadi di mana, kapan, mengapa, dan bagaimana sistem pengawasan internal perusahaan negara bisa gagal mencegah praktik korupsi yang merugikan keuangan negara secara signifikan.
Publik Indonesia kini dihadapkan pada dilema kepercayaan. Kepercayaan yang telah lama dibangun terhadap BUMN, sebagai pilar ekonomi negara, terguncang hebat. Kemarahan dan kekecewaan bercampur aduk menjadi satu, memicu gelombang protes dan tuntutan agar pelaku korupsi diproses secara hukum dan transparan.
Dampak jangka panjang skandal ini diperkirakan akan sangat signifikan, tidak hanya bagi Pertamina, tetapi juga bagi seluruh BUMN di Indonesia.Lebih dari sekadar kerugian finansial, kasus ini mengikis kepercayaan publik terhadap integritas dan profesionalisme BUMN.
Pertanyaan tentang pengawasan internal, transparansi keuangan, dan akuntabilitas menjadi sorotan utama. Kepercayaan publik yang rendah dapat berdampak negatif pada kinerja keuangan BUMN, menarik investasi, dan bahkan merusak citra Indonesia di mata internasional.
Oleh karena itu, diperlukan langkah-langkah konkret untuk memulihkan kepercayaan yang telah hilang.
Wakil Ketua Komisi VI DPR Eko Hendro Purnomo melihat dampak negatif dari dugaan tindak pidana korupsi di PT Pertamina Patra Niaga, yang mengoplos BBM dari Pertalite menjadi Pertamax.
Pria yang akrab disapa Eko Patrio, sapaan akrabnya, menilai kasus korupsi di anak perusahaan Pertamina itu bakal mencoreng kredibilitas Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
"Praktik ini tidak hanya merugikan masyarakat dan negara, tetapi juga mencoreng kredibilitas BUMN kita," kata Eko, Selasa (25/2).
Runtuhnya Kepercayaan Publik
Penurunan kepercayaan publik terhadap BUMN merupakan dampak paling signifikan dari skandal ini. Kasus pengoplosan BBM telah menimbulkan keraguan terhadap kualitas produk-produk BUMN lainnya. Konsumen mungkin akan lebih skeptis dan cenderung memilih produk dari perusahaan swasta. Hal ini berpotensi mengancam daya saing BUMN di pasar domestik.
Selain itu, skandal ini juga meningkatkan tekanan pada pemerintah untuk melakukan reformasi menyeluruh dalam tata kelola BUMN. Peningkatan pengawasan internal, transparansi, dan akuntabilitas yang lebih ketat menjadi tuntutan utama. Reformasi ini dapat berujung pada perubahan regulasi dan kebijakan yang lebih efektif dalam mencegah korupsi di masa mendatang.
Dampak ekonomi juga tidak dapat diabaikan. Kehilangan kepercayaan dapat berdampak negatif pada kinerja keuangan BUMN, termasuk kesulitan dalam menarik investasi dan penurunan nilai saham.
Kerusakan citra Indonesia di mata internasional juga menjadi kekhawatiran serius, terutama dalam hal investasi dan kerjasama ekonomi.
Pertamina Harus Transparan
Untuk memulihkan kepercayaan publik, diperlukan langkah-langkah konkret dari pemerintah dan Pertamina. Penegakan hukum yang tegas dan transparan menjadi kunci utama. Proses hukum harus dijalankan secara adil dan transparan untuk memastikan bahwa semua pihak yang terlibat dihukum sesuai dengan hukum yang berlaku.
Eko Patrio menilai sistem pengawasan di anak usaha BUMN harus diperketat. Peningkatan transparansi dan akuntabilitas juga sangat penting. Pertamina dan BUMN lainnya perlu meningkatkan transparansi dalam pengelolaan keuangan dan operasionalnya.
Laporan keuangan harus mudah diakses dan dipahami oleh publik. Penguatan pengawasan internal juga perlu dilakukan untuk mencegah terjadinya korupsi di masa mendatang.
"Manajemen harus menerapkan ketentuan hukum yang berlaku secara menyeluruh terhadap tata kelola distribusi BBM untuk menutup celah yang memungkinkan praktik kecurangan seperti ini," ujar dia.
Komunikasi publik yang efektif juga berperan penting. Pertamina perlu berkomunikasi secara efektif dengan publik untuk menjelaskan langkah-langkah yang diambil untuk mengatasi masalah dan memulihkan kepercayaan. Kejujuran dan keterbukaan sangat penting dalam proses ini.
Pemulihan kepercayaan membutuhkan waktu dan usaha yang konsisten, serta komitmen yang kuat dari pemerintah dan BUMN untuk melakukan reformasi yang substansial dan berkelanjutan.
Meskipun Direktur Utama Pertamina Patra Niaga, Bambang Patijaya, meyakini bahwa sistem manajemen Pertamina cukup baik untuk mengatasi potensi kendala operasional pasca penetapan tersangka, pernyataan tersebut tetap harus dibarengi dengan tindakan nyata dan komitmen yang kuat untuk melakukan reformasi internal. Harapan DPR agar kasus ini menjadi momentum perbaikan tata kelola Pertamina dan BUMN lainnya perlu direspon secara positif dan diwujudkan dalam bentuk tindakan nyata.
Sekjen Partai Amanat Nasional ini menilai Pertamina mesti meningkatkan transparansi dan akuntabilitas. Dia menilai perlu ada sanksi tegas untuk internal BUMN yang terlibat korupsi.
"Tidak hanya pihak eksternal atau pelaku lapangan yang harus disalahkan. Jika ada oknum di dalam BUMN yang terbukti terlibat, mereka juga harus ditindak tegas untuk memberikan efek jera," kata Eko.
Skandal korupsi Pertamina Patra Niaga memberikan pelajaran berharga bagi seluruh BUMN di Indonesia. Pentingnya pengawasan yang ketat, penegakan hukum yang tegas, dan komitmen untuk meningkatkan tata kelola perusahaan yang baik dan bersih menjadi kunci utama dalam membangun dan mempertahankan kepercayaan publik. Pemulihan kepercayaan membutuhkan waktu, namun dengan langkah-langkah yang tepat dan konsisten, hal tersebut dapat dicapai.
Kongkalikong Kasus Korupsi Pertamina Patra Niaga
Kejaksaan Agung (Kejagung) mengusut kasus dugaan tindak pidana korupsi dalam tata kelola minyak mentah dan produk kilang pada PT Pertamina (Persero), Sub Holding dan Kontraktor Kontrak Kerjasama (KKKS) tahun 2018-2023.
Sejumlah temuan pun didapat, mulai dari permainan impor, pengaturan broker, hingga cara mengoplos Pertalite (Ron 90) menjadi Pertamax (Ron 92) untuk penjualan.Para tersangka adalah RS selaku Dirut PT Pertamina Patra Niaga, SDS selaku Direktur Optimasi Feedstock dan Produk PT Kilang Pertamina Internasional, YF selaku Dirut PT Pertamina Internasional Shipping, dan AP selaku Vice President Feedstock Manajemen PT Kilang Pertamina Internasional.
Kemudian MKAN selaku Beneficial Owner PT Navigator Khatulistiwa, DW selaku Komisaris PT Navigator Khatulistiwa sekaligus Komisaris PT Jenggala Maritim, dan YRJ selaku Komisaris PT Jenggala Maritim sekaligus Dirut PT Orbit Terminal Mera.Kapuspenkum Kejagung Harli Siregar mengulas peran para tersangka dan posisi kasus tersebut. Bahwa pada periode 2018-2023, pemenuhan minyak mentah dalam negeri seharusnya wajib mengutamakan pasokan minyak bumi dari dalam negeri dan Pertamina wajib mencari pasokan minyak bumi yang berasal dari kontraktor dalam negeri, sebelum merencanakan impor minyak bumi.
Hal itu sebagaimana tegas diatur dalam Pasal 2 dan Pasal 3 Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 42 Tahun 2018 tentang prioritas pemanfaatan minyak bumi untuk kebutuhan dalam negeri.
“Namun berdasarkan fakta penyidikan, Tersangka RS, Tersangka SDS, dan Tersangka AP melakukan pengkondisian dalam Rapat Optimasi Hilir (OH) yang dijadikan dasar untuk menurunkan readiness/produksi kilang sehingga produksi minyak bumi dalam negeri tidak terserap sepenuhnya dan akhirnya pemenuhan minyak mentah maupun produk kilang diperoleh dari impor,” tutur Harli dalam keterangannya, Rabu (26/2/2025).
Harli menyebut, pada saat produksi kilang sengaja diturunkan, maka produksi minyak mentah dalam negeri oleh KKKS sengaja ditolak. Fakta tersebut berdasarkan temuan, bahwa produksi minyak mentah KKKS tidak memenuhi nilai ekonomis, padahal harga yang ditawarkan masih masuk range harga HPS.
Produk minyak mentah KKKS juga dilakukan penolakan dengan alasan spesifikasi tidak sesuai kualitas kilang, namun faktanya minyak mentah bagian negara masih sesuai kualitas kilang dan dapat diolah dan dihilangkan kadar merkuri atau sulfurnya.
“Saat produksi minyak mentah dalam negeri oleh KKKS ditolak dengan berbagai alasan, maka menjadi dasar minyak mentah Indonesia dilakukan penjualan keluar negeri atau ekspor,” jelas dia.
Untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, kata dia, maka PT Kilang Pertamina Internasional melakukan impor minyak mentah dan PT Pertamina Patra Niaga melakukan impor produk kilang. Harga pembelian impor tersebut apabila dibandingkan dengan harga produksi minyak bumi dalam negeri terdapat perbandingan komponen harga yang tinggi.
Pemufakatan Jahat Pertamax Dioplos Pertalite
Dalam kegiatan pengadaan impor minyak mentah oleh PT Kilang Pertamina Internasional dan produk kilang oleh PT Pertamina Patra Niaga, penyidik memperoleh fakta adanya pemufakatan jahat atau mens rea.
“Antara penyelenggara negara tersangka SDS, tersangka AP, tersangka RS, dan tersangka YF, bersama DMUT atau Broker tersangka MK, tersangka DW, dan tersangka GRJ, sebelum tender dilaksanakan dengan kesepakatan harga yang sudah diatur yang bertujuan mendapatkan keuntungan secara melawan hukum dan merugikan keuangan negara,” ungkap Harli.
Pemufakatan jahat tersebut lantas diwujudkan dengan adanya tindakan pengaturan proses pengadaan impor minyak mentah dan impor produk kilang, sehingga seolah-olah telah dilaksanakan sesuai ketentuan dengan cara pengkondisian pemenangan broker yang telah ditentukan, dan menyetujui pembelian dengan harga tinggi yang tidak memenuhi persyaratan.
“Dengan cara tersangka RS, tersangka SDS dan tersangka AP memenangkan DMUT atau broker minyak mentah dan produk kilang secara melawan hukum,” ujar dia.
Sementara itu, lanjut Harli, tersangka DM dan tersangka GRJ melakukan komunikasi dengan tersangka AP untuk dapat memperoleh harga tinggi atau spot pada saat syarat belum terpenuhi, dan mendapatkan persetujuan dari tersangka SDS untuk impor minyak mentah dari tersangka RS untuk impor produk kilang.
“Dalam pengadaan produk kilang oleh PT Pertamina Patra Niaga, tersangka RS melakukan pembelian atau pembayaran untuk Ron 92, padahal sebenarnya hanya membeli Ron 90 atau lebih rendah, kemudian dilakukan blending di Storage/Depo untuk menjadi Ron 92 dan hal tersebut tidak diperbolehkan,” tukasnya.
Pada saat telah dilakukan pengadaan impor minyak mentah dan impor produk kilang, penyidik menemukan fakta adanya mark up kontrak shipping atau pengiriman, yang dilakukan oleh tersangka YF selaku Direktur Utama PT Pertamina International Shipping, sehingga negara mengeluarkan fee sebesar 13 persen sampai dengan 15 persen secara melawan hukum dan tersangka MKAR mendapatkan keuntungan dari transaksi tersebut.
“Pada saat kebutuhan minyak dalam negeri mayoritas diperoleh dari produk impor secara melawan hukum, maka komponen harga dasar yang dijadikan acuan untuk penetapan Harga Index Pasar (HIP) Bahan Bakar Minyak (BBM) untuk dijual kepada masyarakat menjadi mahal atau tinggi, sehingga dijadikan dasar pemberian kompensasi maupun subsidi BBM setiap tahun dari APBN,” terang Harli.