Kritik Keras Dirjen Pajak, Ketua Komisi XI DPR: Tidak Mampu Terjemahkan Pesan Presiden soal PPN
Di mana dasar pengenaan pajak adalah nilai lain, dalam hal ini 11/12 dari harga jual, penggantian, atau nilai impor.
Ketua Komisi XI DPR RI asal Fraksi Partai Golkar, Mukhamad Misbakhun mengkritik keras Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan. Bahkan, Misbakhun menyarankan Dirjen Pajak Suryo Utomo untuk mundur dari jabatannya.
Misbakhun menilai Dirjen Pajak Suryo Utomo tidak mampu menerjemahkan pesan dari Presiden Prabowo Subianto bahwa penerapan kenaikan PPN dari 11 persen menjadi 12 persen hanya dikenakan terhadap barang dan jasa mewah.
Yaitu barang dan jasa tertentu yang selama ini sudah terkena PPN barang mewah, yang dikonsumsi oleh golongan masyarakat berada, hanya masyarakat yang mampu mengkonsumsi barang mewah tersebut
"Anehnya, perintah yang sudah jelas tersebut tidak bisa diterjemahkan dengan jelas oleh para birokrat di Kementrian Keuangan khusunya Direktorat Jenderal Pajak (DJP), sehingga aturan pelaksanaan nya di PMK sangat membingungkan dan menimbulkan kerancuan dalam penerapannya karena menggunakan dasar pengenaan dengan nilai lain 11/12 di mana ada penafsiran tunggal seakan-akan UU HPP tidak bisa menerapkan tarif PPN dengan multi tarif," ujar Misbakhun dalam keterangannya di Jakarta, Jumat (3/1).
Padahal sangat jelas, kata Misbakhun, bahwa UU HPP pasal 7 tidak ada larangan soal multi tarif PPN sehingga tidak ada larangan soal penerapan tarif PPN 11 persen dan PPN 12 persen diterapkan bersamaan sekaligus. Tarif PPN 11 persen untuk yang tidak naik dan tarif PPN 12 persen hanya untuk barang dan jasa mewah.
"Tetapi ketika PMK 131 membuat dasar perhitungan yg membingungkan dunia usaha dalam penerapan tarif PPN 11 persen yang tidak naik dengan menggunakan istilah dasar pengenaan lain maka ini menimbulkan pertanyaan soal loyalitas birokrat di Direktorat Jenderal Pajak khusus dirjen pajak dalam menterjemahkan perintah Bapak Presiden Prabowo yang sudah jelas," tegasnya.
Aturan Kementerian Keuangan
Sedangkan, Kementerian Keuangan Republik Indonesia melalui PMK Nomor 131 Tahun 2024 menyatakan bahwa atas barang/jasa yang bukan dalam kategori barang mewah dikenakan PPN dengan tarif 12 persen dikalikan dengan dasar pengenaan pajak.
Di mana dasar pengenaan pajak adalah nilai lain, dalam hal ini 11/12 dari harga jual, penggantian, atau nilai impor. Sementara untuk masa transisi pada tanggal 1 Januari 2025 sampai 31 Januari 2025, pengenaan PPN Barang Mewah dikenakan tarif 12 persen dengan DPP yang sama dengan barang/jasa yang bukan barang mewah.
"Presiden Prabowo menghendaki tarif PPN yang berlaku adalah 11 persen dan bukan 12 persen untuk barang/jasa yang bukan barang mewah, tetapi dalam peraturan tersebut menyampaikan bahwa tarif PPN yang berlaku adalah 12 persen," ucapnya.
Misbakhun, meminta Direktorat Jenderal Pajak membuat peraturan dengan bahasa yang lebih sederhana, tidak menimbulkan multi tafsir. Dengan ini, aturan teknis kenaikan tarif PPN 12 persen tidak menimbulkan kebingungan bagi masyarakat maupun dunia usaha.
"Kalau dirjen pajak tidak mampu melaksanakan perintah Bapak Presiden Prabowo sebaiknya memilih untuk menulis surat pengunduran diri, karena apa yg dibuat soal aturan pelaksanaan teknis ini sudah tidak seirama dengan kemauan dan kehendak Bapak Presiden Prabowo karena punya tafsir subyektif soal pasal UU HPP yang sudah jelas yang berakibat menimbulkan pelaksanaan yg menimbulkan kegaduhan di kalangan dunia usaha," tandasnya.
DJP Pastikan Uang Kelebihan Bayar PPN 12 Persen Bakal Dikembalikan
Sebelumnya, Presiden Prabowo Subianto dan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menetapkan, kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen di 2025 hanya berlaku untuk beberapa barang super mewah saja.
Pengumuman itu dilakukan beberapa jam sebelum berganti tahun pada Selasa, 31 Desember 2024 petang. Hanya saja, beberapa barang dan jasa hingga transaksi digital telah terlanjur naik secara harga, dengan menghitung adanya PPN 12 persen.
Menanggapi kejadian ini, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan bakal mengembalikan kelebihan pajak tersebut, bagi konsumen yang sudah terlanjur melakukan pembayaran dengan tarif PPN 12 persen.
Direktur Jenderal Pajak Suryo Utomo mengatakan, DJP saat ini tengah mempersiapkan skema yang mengatur pengembalian kelebihan pajak tersebut.
"Ini yang lagi kita atur transisinya seperti apa, tapi prinsipnya kalau sudah kelebihan dipungut, ya dikembalikan. Kalau tidak membetulkan faktur pajak nanti dilaporkan juga bisa," ujar Suryo di Kantor Pusat DJP, Jakarta, dikutip Jumat (3/1).