OJK: Transisi Energi Bersih Bisa Ganggu Stabilitas Ekonomi dan Sosial
Dia menilai justru hal itu malah melemahkan komitmen yang dibuat negara-negara tersebut mengenai emisi nol bersih.
Dia menilai justru hal itu malah melemahkan komitmen yang dibuat negara-negara tersebut mengenai emisi nol bersih.
OJK: Transisi Energi Bersih Bisa Ganggu Stabilitas Ekonomi dan Sosial
Transisi Energi Bersih Bisa Ganggu Stabilitas Ekonomi dan Sosial
Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Mahendra Siregar mengatakan negara-negara maju yang menjalankan pembangunan bekerlanjutan atau Sustainable Development (SGDs) 2030 berpotensi mengalami risiko deindustrialisasi yang berakibat pada ketidakstabilan ekonomi dan sosial.
Dia menilai justru hal itu malah melemahkan komitmen yang dibuat negara-negara tersebut mengenai emisi nol bersih.
"Beberapa contoh pemerintah dan negara yang kini telah menempuh jalan yang sangat ekstrem dan sampai batas tertentu justru berbalik arah dalam komitmennya untuk net zero dan pengembangan energi terbarukan," ujar Mahendra dalam acara Save The Planet: The Role of Financial Sector to Support Carbon Reduction and Electric Vehicles Development, Jakarta, Senin (25/9).
Mahendra menjelaskan kebutuhan energi dalam perekonomian yang sedang dalam transisi harus terpenuhi.
Sehingga tidak realistis mengharapkan energi terbarukan dapat menggantikan bahan bakar fosil dalam jangka pendek.
merdeka.com
Hal itu dikarenakan, kurangnya infrastruktur dan ketidakmampuan untuk menyediakan faktor beban yang diperlukan.
Sehingga teknologi seringkali memerlukan modal tingkat tinggi dengan produktivitas rendah dan tidak adanya pendanaan.
Akibatnya, beberapa pembangkit listrik tenaga batubara dibuka kembali di Eropa.
Menurut Mahendra terdapat kekurangan pendanaan untuk proyek-proyek ramah lingkungan yang tidak menghasilkan keuntungan.
Oleh karena itu, agar Indonesia dapat terus memajukan ekonomi hijau, kata dia, pemerintah perlu meneliti lebih cermat kesimbangan yang dibutuhkan dan waktu yang dibutuhkan dalam proses transisi.
"Dan kita perlu fokus pada penelitian berbasis bukti," kata Mahendra.
Dia mencontohkan, industri mobil listrik bergantung pada penambangan mineral penting. Tak hanya itu, titik pengisian daya mobil sebagian besar bergantung pada listrik dari bahan bakar fosil.
Hal ini terjadi karena sebagian besar energi alternatif berbiaya tinggi akan mengahambat pengembagan mobil listrik secara signifikan. Makanya dalam hal ini pembiayaan yang ditargetkan harus mencakup proses dari hulu ke hilir.
Pemerintah perlu memastikan perekonomian berkelanjutan yang sedang dikembangkan di Indonesia didasarkan pada investasi yang terhubung ke perbankan.
Terpenting, Pemerintah harus bijaksana dalam memilih energi terbarukan yang akan dikembangkan.
"Misalnya, terdapat kekhawatiran yang berkembang bahwa energi angin mungkin bukan sumber yang layak. Investasi tinggi, produktivitas rendah memerlukan subsidi besar," kata dia.
"Hal ini mungkin masih bisa dilakukan di wilayah tertentu di Indonesia, namun hal ini tentu memerlukan penelitian lebih lanjut,"
kata Mahendra mengakhiri.