Pernah Bangkrut dan Terlilit Utang Rp1,5 Miliar, Siswanto Kini Sukses Jadi Pengusaha Kerupuk Kulit
Namun sekitar tahun 2014-2015, Siswanto mengalami titik terberat dalam hidupnya. Dia jatuh sakit dan bisnisnya bangkrut dan punya utang Rp1,5 miliar.
Seorang pebisnis kerupuk kulit atau rambak di daerah Kartasura, Sukoharjo, Jawa Timur, membagikan kisahnya merintis usaha usai mengalami kebangkrutan. Dilansir dari YouTube LarisoIndonesia, sebelum memulai usaha kerupuk kulit ini, bertahun-tahun Iwan Siswanto menjadi supplier kulit sapi.
Kala itu, Siswanto membeli kulit sapi dari pengusaha atau pabrik-pabrik di luar pulau Jawa, seperti Papua dan Sulawesi. Selanjutnya, Siswanto memasok kulit sapi tersebut ke berbagai pabrik di daerah pulau Jawa.
Namun sekitar tahun 2014-2015, Siswanto mengalami titik terberat dalam hidupnya. Dia jatuh sakit dan bisnisnya bangkrut hingga menyebabkan utang menumpuk hingga Rp1,5 miliar. Namun hal itu bagi Siswanto bukan sebuah musibah, melainkan rezeki dalam bentuk lain.
"Kami dikasih rezeki, rezekinya adalah sakit dan akhirnya bangkrut. Gudang terjual, mobil dari jumlah sekian juga habis terjual," kata Siswanto dalam tayangan YouTube LarisoIndonesia dikutip Selasa (25/9).
Meski begitu, Siswanto tidak putus asa. Hingga akhirnya setelah sembuh dari sakitnya, ia menemukan jalan keluar dan memilih merintis usaha kerupuk kulit atau rambak yang ia jalani sampai saat ini.
Dari Supplier Kulit Sapi ke Usaha Rambak Kulit
Pada tahun 2003, Siswanto menjalankan kesehariannya menjadi supplier kulit sapi. Biasanya Siswanto menyuplai kulit untuk pabrik tas, sepatu, dan jaket di Magetan dan Garut. Begitu pula dengan pabrik-pabrik rambak di daerah Bantul dan Cawas.
Dari pengalamannya itu, Siswanto bertransformasi untuk berfokus merintis usaha rambak kulit. Berawal pada tahun 2015, ketika Siswanto mencoba untuk bangkit kembali memulai usaha dengan modal yang menurutnya sedikit, kurang lebih Rp2 juta.
"Itu kita pakai untuk beli kulit, karena sebelumnya sering bergaul dengan orang-orang di bidang kulit, jadi tidak terlalu susah," terang Siswanto.
Menurut pengakuan Siswanto dia sudah mulai memproduksi kulit rambak sejak tahun 2010. Namun, tidak terlalu fokus pada produksinya karena hanya dijadikan sebagai pekerjaan sampingan untuk para tenaga kerjanya.
Strategi Usaha
Dalam proses produksi hingga pendistribusian, Siswanto dibantu oleh 11-15 karyawan. Apabila permintaan meningkat, Siswanto menambah tenaga kerja dari tetangga sekitar.
Sementara itu, sejauh ini Siswanto mengandalkan sales dan marketplace untuk pemasaran rambak kulit. Proses pendistribusian juga melalui agen-agen yang bekerja sama dan kerap memesan dalam jumlah besar.
Ada yang minta dikirim tiap minggu atau tiap 10 sepuluh hari dalam jumlah besar. Strategi tersebut dinilai lebih efektif daripada harus memasarkan di pasar dengan cara berkeliling dari satu pedagang ke pedagang lain.
Jumlah Produksi dan Omzet Rambak
Kini, dalam sehari usaha Siswanto mampu memproduksi 150 kilogram rambak. Jika diuangkan senilai Rp15 juta.
"Itu kalau habis, tapi kadang kan enggak habis juga," kata Siswanto.
Omzetnya tidak hanya bergantung pada faktor penjualan, tetapi faktor cuaca juga menjadi faktor produksi rambak kulit. Kemudian, suplai minyak pun kerap menjadi kendala yang selama ini dirasakan oleh Siswanto. Pasalnya, harga minyak seringkali tidak stabil dan ketersediaan minyak di pasar sempat hilang beberapa tahun lalu.
Berkat omzet dari penjualan rambak kulit ini, Siswanto bisa melunasi utang-utangnya yang menumpuk dan memenuhi biaya pendidikan anak-anaknya. Harapan ke depannya ia dapat memperluas pasar dan berinovasi dari rambak kulit menjadi sesuatu yang berbeda.
Berita ini ditulis reporter magang Thalita Dewanty.