Potensi masalah akibat kenaikan suku bunga acuan Bank Indonesia

Merdeka.com - Pengamat valas, Rahadyo Anggoro Widagdo, mengungkapkan kebijakan peningkatan suku bunga acuan bank sentral memang berdampak positif di mana investor tetap menahan investasinya dalam bentuk rupiah dan tidak beralih ke USD.

Kebijakan ini juga dapat menekan laju inflasi dan menahan laju pertumbuhan sehingga defisit neraca perdagangan dapat dikurangi. Namun dibalik sisi positif ini juga terdapat potensi masalah bersamanya.

"Kenaikan BI Rate sebesar 50 Bps dari yang sebelumnya berada di level 6,5 persen menjadi 7 persen diharapkan dapat lebih memperkuat pengendalian ekspektasi inflasi dan memitigasi risiko kemungkinan terjadinya pengaruh pelemahan Rupiah terhadap inflasi dan sebaliknya," jelasnya dalam keterangan tertulis yang diterima merdeka.com di Jakarta, Sabtu (31/8).

Resiko yang membayangi kenaikan BI Rate ini, menurutnya, ialah pertumbuhan kredit mengalami perlambatan. Perlambatan kredit ini tentunya mengganggu rencana ekspansi pelaku usaha karena penyusutan pemasukan akibat tergerusnya daya beli masyarakat.

"Para pelaku usaha mengalami kesulitan dalam menaikkan harga jual produk dan jasa yang dihasilkan sehingga keuntungan yang didapat semakin kecil," tuturnya.

Dampak kenaikan suku bunga acuan akhirnya bermuara pada kinerja pemasukan negara dari sektor pajak. Pasalnya, pendapatan pengusaha dan konsumsi masyarakat berkurang.

Solusi dari permasalahan ini, lanjutnya, ialah pemerintah perlu menerbitkan kebijakan yang meningkat daya saing produk nasional sehingga dapat bersaing dalam pasar ekspor dan akan membantu meminimalkan defisit neraca perdagangan. Pemerintah juga perlu menerbitkan kebijakan intensif untuk menekan impor.

"Langkah tersebut diharapkan membuat pelemahan nilai tukar Rupiah akan terhenti dan kembali stabil sehingga memberikan kepastian bagi para pelaku usaha dalam menjalankan bisnisnya," ungkapnya. (mdk/bmo)