Program Makan Siang Gratis Dikabarkan Bakal Pangkas Subsidi Energi, Ternyata Subsidi BBM Pernah Ditentang BJ Habibie
TKN Prabowo-Gibran menilai penyesuaian subsidi energi bisa menjadi alternatif sebagai sumber pendanaan makan siang gratis.
TKN Prabowo-Gibran menilai penyesuaian subsidi energi bisa menjadi alternatif sebagai sumber pendanaan makan siang gratis.
Program Makan Siang Gratis Dikabarkan Bakal Pangkas Subsidi Energi, Ternyata Subsidi BBM Pernah Ditentang BJ Habibie
Ternyata Subsidi BBM Pernah Ditentang BJ Habibie
Subsidi energi dan Bahan Bakar Minyak (BBM) sempat menjadi perbincangan publik usai sumber dana program unggulan makan siang gratis Prabowo-Gibran menuai reaksi kontra.
Wakil Ketua Tim Kampanye Nasional (TKN) Prabowo-Gibran, Eddy Soeparno, menilai penyesuaian subsidi energi bisa menjadi alternatif sebagai sumber pendanaan makan siang gratis.
Eddy mengatakan, selama ini subsidi energi banyak yang tidak tepat sasaran.
"Kita punya subsidi energi tahun lalu Rp500 triliun, tahun ini Rp350 triliun, dari total subsidi energi itu terbesar porsinya adalah untuk subsidi Pertalite dan subsidi LPG 3 kg, itu terbesar," ujar Eddy saat dikonfirmasi merdeka.com, Jumat (16/2).
Perlu diketahui, kebijakan subsidi untuk BBM dimulai ketika Soeharto menjabat sebagai presiden.
Dalam buku yang berjudul "40 Tahun Perkembangan Usaha Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Indonesia 1945-1985" mengulas perjalanan bisnis BBM di Indonesia.
Sejak tahun 1966, penjualan BBM memberikan hasil laba bersih minyak (LBM) yang merupakan bagian dari penerimaan minyak, di samping hasil dari kontraktor perjanjian karya.
Kemudian, pada tahun 1967 jumlah penerimaan negara dari minyak bumi sebesar Rp8,6 miliar.
Terdiri dari hasil perjanjian karya sebesar Rp7,4 miliar dan Rp1,2 miliar dari LBM.
Perolehan LBM didapat dari selisih nilai penjualan BBM di dalam negeri, dikurangi biaya-biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh BBM tersebut.
Pendapatan negara dari LBM sejak periode 1967-1974 terus meningkat. Dari nilai LBM di angka Rp1,2 miliar menjadi Rp34 miliar. Namun, di tahun 1974 pemerintah mulai menerapkan kebijakan subsidi BBM.
"Akan tetapi sejak tahun 1974-1975 keadaan berubah dari memperoleh LBM menjadi mengeluarkan subsidi BBM," demikian penjelasan dalam buku terbitan Biro Humas dan HLN Pertamina.
Alasan pemberian subsidi BBM karena harga jual BBM terutama minyak tanah, berada di bawah biaya produksinya. Sedangkan konsumsi minyak tanah berkembang cepat.
Menteri Koordinator Bidang Ekonomi, Keuangan, dan Industri, merangkap Kepala Bappenas, yang saat itu diemban oleh Widjono Nitisastro pada tahun 1982, mengatakan sekitar tahun 1972 atau 1973 tidak ada subsidi BBM, tetapi justru surplus atau kelebihan sebesar Rp31 miliar.
"Jadi pada waktu itu pemerintah menjual BBM, tidak perlu memberikan subsidi, penerimaan pemerintah justru bertambah Rp31 miliar" kata Widjojo dalam buku berjudul Pengalaman Pembangunan Indonesia: Kumpulan Tulisan dan Uraian.
Widjojo mengatakan pemerintah baru mulai memberikan subsidi BBM pada tahun 1974-1975 sebesar Rp16 miliar.
Tahun berikutnya subsidi BBM turun signifikan menjadi hanya Rp1,3 miliar. Di tahun 1976-1977 subsidi kembali membengkak pada tahun menjadi Rp10,4 miliar.
Sejak saat itu subsidi BBM terus naik menjadi Rp62,2 miliar, Rp197 miliar, Rp535 miliar. Bahkan di tahun 1980-an subsidi BBM menembus Rp1,005 triliun dan Rp1,5 triliun.
Di sepanjang rezim orde baru, harga BBM tercatat mengalami kenaikan 21 kali. Sementara sumber lain menyebutkan kenaikan BBM di era Soeharto sebanyak 18 kali.
Laporan Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian ESDM tahun 2015 menyebutkan periode 1993-1997 merupakan periode terpanjang harga BBM bersubsidi tidak dinaikkan.
Pada periode itu, harga bensin premium Rp700 per liter, minyak tanah Rp280 per liter, dan solar Rp380 per liter.
Akan tetapi, di masa krisis moneter tahun 1997-1998 pemerintah memutuskan untuk menaikkan harga BBM bersubsidi.
Sehingga, harga bensin premium menjadi Rp1.200 per liter, minyak tanah Rp350 per liter, dan solar Rp600 per liter.
Satu sisi, Presiden ketiga Republik Indonesia Bacharuddin Jusuf Habibie pada tahun 2014 pernah menyatakan tidak setuju bila BBM terus disubsidi.
Pandangan ini sudah disampaikan sejak dia bergabung dengan pemerintahan pada era orde baru.
Dia mengenang diskusinya bersama Presiden Soeharto awal 1980-an mengenai potensi subsidi energi salah sasaran.
Dari seharusnya dinikmati warga yang mayoritas tidak mampu, malah menguntungkan kalangan menengah ke atas.
"Saya tidak setuju energi disubsidi. Bayangkan misalnya perusahaan asing, investasi di sini. Dia awalnya menghitung ongkos produksi berdasarkan harga pasar. Tapi ada BBM bersubsidi, dia beli itu, dia bakar untuk perusahaannya dan untung lebih besar. Ini tidak bisa dicegah, itu sifat manusia,"
kata Habibie saat memberi orasi ilmiah di Seminar "Refleksi Tiga Tahun MP3EI" di Jakarta, Kamis (4/9/2014).
Sayangnya, saran Habibie yang kala itu menjabat menteri riset dan teknologi tak digubris.
Soeharto berkukuh mempertahankan subsidi, dengan alasan negara masih punya uang.
Kala itu, Indonesia memproduksi 1,8 juta barel minyak per hari. Konsumen di dalam negeri cuma menyerap sepertiganya, sisanya diekspor. Karenanya Indonesia masih bisa bergabung dengan kartel minyak internasional, OPEC.
Kini keadaan sudah berbalik, dengan produksi terus anjlok, sementara konsumsi melonjak dua kali lipat.
Habibie heran, mengapa pemerintahan pasca Orde Baru masih mempertahankan kebijakan subsidi BBM yang bikin anggaran mubazir.
"Anda bisa bayangkan berapa triliun kita harus subsidi, bisa di antara Rp250 triliun sampai Rp300 triliun," kata Habibie.