Sejarah Food Estate, Program Ketahanan Pangan Sejak Era Soeharto
Upaya pemerintah agar Indonesia memiliki ketahanan pangan dengan membangun lumbung pangan.
Upaya pemerintah agar Indonesia memiliki ketahanan pangan dengan membangun lumbung pangan.
Sejarah Food Estate, Program Ketahanan Pangan Sejak Era Soeharto
Sejarah Food Estate, Program Ketahanan Pangan Sejak Era Soeharto
Program lumbung pangan pemerintah atau dikenal dengan food estate kembali menjadi perbincangan publik. Program ini dikritik Sekretaris Jenderal PDIP, Hasto Kristiyanto dan disebut sebagai konsep yang gagal. Hasto menyebut, program yang dikelola Kementerian Pertahanan (Kemenhan) sebagai kejahatan lingkungan.
"Dalam praktik pada kebijakan itu ternyata disalahgunakan, dan kemudian hutan-hutan justru ditebang habis, dan food estate-nya tidak terbangun dengan baik. Itu merupakan bagian dari suatu kejahatan terhadap lingkungan," kata Hasto di Bogor, Selasa (15/8).
Kritik pedas itupun direspon singkat oleh Menteri Pertahanan, Prabowo Subianto usai menghadiri seminar strategi transformasi bangsa menuju Indonesia emas 2045 oleh di Balroom Hotel Bidakara, Jakarta, Selasa.
"Oh yang benar?" kata Prabowo.
Food estate sejatinya bukan program baru pemerintah. Upaya pemerintah agar Indonesia memiliki ketahanan pangan dengan membangun lumbung pangan sejatinya sudah dilakukan sejak era Presiden Soeharto. Mengutip litbangkespangandaran.litbang.kemkes.go.id, program ketahanan pangan ini meliputi tiga periode, yaitu: program food estate era 1, program food estate era 2, dan program food estate era 3.
Program Food Estate Era 1
Pada tahun 1995 melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 82 Tahun 1995,
Presiden Soeharto membuat Proyek Lahan Gambut (PLG) sejuta hektar sawah di Kalimantan Tengah. Keberadaan program PLG itu, akhirnya diputuskan berakhir dan gagal pada tahun 1998 melalui Keppres Nomor 33 Tahun 1998 di masa pemerintahan Bacharuddin Jusuf Habibie.
PLG tersebut gagal karena kurangnya kajian sosio-ekologis pada ekosistem gambut. Artinya terdapat ketidaksesuaian dari program PLG dengan kondisi sosial budaya masyarakat setempat. Akibatnya, program ini memicu kerugian sosial-ekonomi akibat kebakaran hutan. Food estate era pertama ini menghabiskan dana sekitar Rp1,7 triliun. Anggaran ini diambil dari Dana Reboisasi (DR) yang diperuntukkan bagi pemulihan hutan.Program Food Estate Era 2
Ketika Soeharto gagal membangun food estate,
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) kembali mengupayakan agar program ini bisa hidup. Saat itu, SBY membentuk program Merauke Integrated Energi Estate (MIFEE) tahun 2010. MIFEE ini diterbitkan lewat Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 5 Tahun 2008 tentang Fokus Program Ekonomi Tahun 2008-2009, khususnya untuk mempersiapkan program MIFEE dan Inpres Nomor 1 Tahun 2010 tentang Percepatan Pelaksanaan Prioritas Pembangunan Nasional Tahun 2010.
Inti dari program MIFEE itu adalah membuka lahan untuk mencetak sawah 1,2 juta hektar di Merauke, Papua. Tujuan utama program itu adalah memperkuat cadangan pangan dan bioenergi nasional untuk memantapkan dan melestarikan ketahanan pangan nasional. Sayangnya, program MIFEE tidak berhasil. Hutan sagu rakyat menjadi rusak. Masyarakat mengalami kesulitan mencari bahan makanan seperti sagu, ikan, dan daging rusa/babi setelah hutan-hutannya dikonversi.Lokasi food estate kemudian diubah. Pada tahun 2011, pemerintah membuka lahan di Kalimantan Utara.
Saat itu, pemerintah membuka lahan untuk mencetak sawah 30.000 hektar.
Program ini diproyeksi membangun lahan transmigrasi di kawasan Kota Terpadu Mandiri Salim Batu.
Program ketahanan pangan selanjutnya, yaitu program Food Estate Ketapang, Kalimantan Barat, tahun 2013. Ini merupakan program membuka lahan untuk mencetak sawah 100.000 ha di Ketapang. Hasilnya, hanya sekitar 0,11 persen lahan yang berhasil termanfaatkan.
Lagi-lagi, proyek Food Estate Bulungan dan Ketapang itu tidak berhasil.
Hal ini disebabkan karena ketidaksesuaian kondisi sosial budaya serta belum tersedianya infrastruktur pendukung.
Program Food Estate Era 3
Tahap ketiga terkait program ketahanan pangan yang dilakukan pada masa pemerintahan Presiden Joko Widodo.
Pertama, program 30.000 ha sawah di Kalimantan Tengah tahun 2020. Program ini ada seluas 20.000 ha yang dilaksanakan di bekas proyek lahan gambut sejuta hektar. Program tersebut dilakukan berupa intensifikasi sistem pengairan yang dihidupkan kembali. Telah dibuka, ada seluas 10.000 ha lahan baru, di Pulang Pisang (daerah transmigrasi).
Dalam program itu, untuk percepatan seluruh kebutuhan pertanian seperti bibit, pupuk, alat dan mesin pertanian yang disediakan oleh pemerintah. Pada program ini, anggota TNI dilatih selama seminggu untuk diberdayakan menjadi petani. Kedua, perkebunan singkong 31.000 hektar di daerah Gunung Mas, tahun 2021. Program ini diorientasikan untuk mencetak cadangan karbohidrat. Dalam proyek ini, ditawarkan adanya kerjasama investasi dengan Korea Selatan dengan penawaran singkong sebagai penganti gandum. Lahan yang digunakan, 15.000 hektar adalah dengan membuka hutan alam.Namun, selama tahun 2021 telah dibuka 600 hektar hutan alam yang menimbulkan terlepasnya 61.000 ton karbon.
Dampaknya, terjadi banjir di beberapa daerah yang sebelumnya tidak pernah banjir.
Merdeka.com
Ketiga, lumbung Pangan 30.000 hektar di Humbang Hasundutan, Tapanuli Selatan, Tapanuli Utara, dan Pakpak Bharat, Sumatera Utara. Dalam proyek ini dibuka lahan 30.000 hektar di tiga kabupaten untuk diberikan kepada petani yang belum memiliki lahan untuk diolah.
Saat itu, petani dikontrak, diberi lahan 3 ha, serta diberikan alat-bahan kebutuhan pertanian termasuk bibit dan pupuk.
Jenis tanaman yang ditanam harus yang bibitnya diberikan oleh pemerintah. Pola cocok tanam juga harus menurut aturan pemerintah. Nantinya, hasil panen dibeli oleh koperasi yang juga menentukan harga. Akan tetapi, ternyata hasil panen tidak sesuai dengan perkiraan. Semula direncanakan 1 hektar lahan kentang menghasilkan panen 10 ton, ternyata hanya 3 hektar lahan kentang baru menghasilkan 10 ton.
Fakta lainnya, pengelolaan pengadaan alat, bahan, bibit, dan pupuk dalam proyek ini diserahkan pada korporasi swasta.
Bibit yang diberikan untuk keperluan industri, bukan pemenuhan pangan rakyat.
Merdeka.com
Akibatnya, petani memilih untuk menjual ke pasar karena harga lebih baik.
Untuk itu, pemerintah sebaiknya berpikir tentang bagaimana melakukan modernisasi pertanian tanpa harus membangun.