Asal Usul Food Estate yang Dianggap Gagal dan Sering Digaungkan Saat Debat Pilpres
Food estate sejatinya bukan program baru yang dilakukan pemerintah untuk menjamin ketahan pangan.
Food estate sejatinya bukan program baru yang dilakukan pemerintah untuk menjamin ketahan pangan.
Asal Usul Food Estate yang Dianggap Gagal dan Sering Digaungkan Saat Debat Pilpres
Asal Usul Food Estate yang Dianggap Gagal
Program lumbung pangan atau disebut dengan food estate kembali menjadi isu panas dalam kontestasi Pilpres 2024. Kegagalan food estate yang dijalankan pemerintah Jokowi-Ma'ruf kembali digaungkan dalam Debat Cawapres yang digelar pada Minggu (21/1) malam.
Calon wakil presiden nomor urut 01 Muhaimin Iskandar menyampaikan pelaksanaan food estate justru mengabaikan peran petani. Akibatnya, petani malah dirugikan.
"Di sisi lain kita sangat prihatin upaya pengadaan pangan nasional dilakukan melalui food estate. Food estate terbukti mengabaikan petani kita, meninggalkan masyarakat adat kita, menghasilkan konflik agraria, dan bahkan merusak lingkungan kita. Ini harus dihentikan," ujar Muhaimin.
Senada dengan Muhaimin, calon wakil presiden nomor urut 03 Mahfud MD juga menegaskan food estate adalah proyek gagal.
"Jangan seperti food estate yang gagal dan merusak lingkungan, yang bener aja, rugi dong kita," ujar Mahfud.
Food estate sejatinya bukan program baru yang dilakukan pemerintah. Upaya pemerintah agar Indonesia memiliki ketahanan pangan dengan membangun lumbung pangan sejatinya sudah dilakukan sejak Presiden Soeharto.
Mengutip litbangkespangandaran.litbang.kemkes.go.id, program ketahanan pangan ini meliputi tiga periode, yaitu: program food estate era 1, program food estate era 2, dan program food estate era 3.
Program Food Estate Era 1
Pada tahun 1995 melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 82 Tahun 1995, Presiden Soeharto membuat Proyek Lahan Gambut (PLG) sejuta hektar sawah di Kalimantan Tengah.
Keberadaan program PLG itu, akhirnya diputuskan berakhir dan gagal pada tahun 1998 melalui Keppres Nomor 33 Tahun 1998 di masa pemerintahan Bacharuddin Jusuf Habibie.
PLG tersebut gagal karena kurangnya kajian sosio-ekologis pada ekosistem gambut. Artinya program PLG itu adanya ketidaksesuaian lahan dengan kondisi sosial budaya masyarakat setempat.
Akibatnya, program ini memicu kerugian sosial-ekonomi akibat kebakaran hutan.
Food estate era pertama ini menghabiskan dana sekitar Rp1,7 triliun.
Anggaran ini diambil dari Dana Reboisasi (DR) yang diperuntukkan bagi pemulihan hutan.
Program Food Estate Era 2
Ketika Soeharto gagal membangun food estate, Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) kembali mengupayakan agar program ini bisa hidup.Saat itu, SBY membentuk program Merauke Integrated Energi Estate (MIFEE) tahun 2010.
MIFEE ini diterbitkan lewat Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 5 Tahun 2008 tentang Fokus Program Ekonomi Tahun 2008-2009, khususnya untuk mempersiapkan program MIFEE dan Inpres Nomor 1 Tahun 2010 tentang Percepatan Pelaksanaan Prioritas Pembangunan Nasional Tahun 2010. Inti dari program MIFEE itu adalah membuka lahan untuk mencetak sawah 1,2 juta hektar di Merauke, Papua.
Tujuan utama program itu untuk memperkuat cadangan pangan dan bioenergi nasional untuk memantapkan dan melestarikan ketahanan pangan nasional.
Namun, program MIFEE tidak berhasil. Hutan sagu rakyat menjadi rusak. Masyarakat mengalami kesulitan mencari bahan makanan seperti sagu, ikan, dan daging rusa/babi setelah hutan-hutannya dikonversi.
Lokasi food estate kemudian diubah. Pada tahun 2011, pemerintah membuka lahan di Kalimantan Utara. Saat itu, pemerintah membuka lahan untuk mencetak sawah 30.000 hektar. Program ini diproyeksi membangun lahan transmigrasi di kawasan Kota Terpadu Mandiri Salim Batu.
Program ketahanan pangan selanjutnya, yaitu program Food Estate Ketapang, Kalimantan Barat, tahun 2013. Yaitu program membuka lahan untuk mencetak sawah 100.000 ha di Ketapang, Kalimantan Barat.Hasilnya, hanya sekitar 0,11 persen lahan yang berhasil termanfaatkan.
Lagi-lagi, proyek Food Estate Bulungan dan Ketapang itu tidak berhasil. Hal ini disebabkan karena ketidaksesuaian kondisi sosial budaya serta belum tersedianya infrastruktur pendukung.
Program Food Estate Era 3
Tahap ketiga terkait program ketahanan pangan yang dilakukan pada masa pemerintahan Presiden Joko Widodo.Pertama, program 30.000 hektar sawah di Kalimantan Tengah tahun 2020. Program ini ada seluas 20.000 ha yang dilaksanakan di bekas proyek lahan gambut sejuta hektar.
Program tersebut dilakukan berupa intensifikasi sistem pengairan yang dihidupkan kembali. Telah dibuka, ada seluas 10.000 ha lahan baru, di Pulang Pisang (daerah transmigrasi).
Dalam program itu, untuk percepatan seluruh kebutuhan pertanian seperti bibit, pupuk, alat dan mesin pertanian yang disediakan oleh pemerintah.
Pada program ini, anggota TNI dilatih selama seminggu untuk diberdayakan menjadi petani.
Kedua, perkebunan singkong 31.000 hektar di daerah Gunung Mas, tahun 2021. Program ini diorientasikan untuk mencetak cadangan karbohidrat.
Dalam proyek ini, ditawarkan adanya kerjasama investasi dengan Korea Selatan dengan penawaran singkong sebagai penganti gandum. Lahan yang digunakan, 15.000 hektar adalah dengan membuka hutan alam.
merdeka.com
Namun, selama tahun 2021 telah dibuka 600 hektar hutan alam yang menimbulkan terlepasnya 61.000 ton karbon.
Dampaknya, terjadi banjir di beberapa daerah yang sebelumnya tidak pernah banjir.
merdeka.com
Ketiga, lumbung Pangan 30.000 hektar di Humbang Hasundutan, Tapanuli Selatan, Tapanuli Utara, dan Pakpak Bharat, Sumatera Utara.Dalam proyek ini dibuka lahan 30.000 hektar di tiga kabupaten untuk diberikan kepada petani yang belum memiliki lahan untuk diolah.
Saat itu, petani dikontrak, diberi lahan 3 ha, serta diberikan alat-bahan kebutuhan pertanian termasuk bibit dan pupuk. Jenis tanaman yang ditanam harus yang bibitnya diberikan oleh pemerintah. Pola cocok tanam juga harus menurut aturan pemerintah.
Nantinya, hasil panen dibeli oleh koperasi (yang juga menentukan harga). Akan tetapi, ternyata hasil panen tidak sesuai dengan perkiraan. Rencananya 1 hektar lahan kentang menghasilkan panen 10 ton, ternyata hanya 3 hektar lahan kentang baru menghasilkan 10 ton.
Bibit yang diberikan untuk keperluan industri, bukan pemenuhan pangan rakyat.
Akibatnya, petani memilih untuk menjual ke pasar karena harga lebih baik.
Makanya, pemerintah diminta berpikir ulang tentang cara melakukan modernisasi pertanian tanpa harus membangun.