Ternyata Indonesia Masih Kalah dengan India Dalam Pemakaian BBM Rendah Sulfur
Pemerintah India dinilai lebih siap dan serius dalam penanganan kualitas udara.
Peneliti dari Center of Reform of Economics (CORE), Muhammad Andri Perdana menyoroti lambatnya penerapan bahan bakar minyak (BBM) ber-sulfur rendah di Indonesia.
Menurut Andri, meski Pertamina telah menawarkan BBM dengan sulfur di bawah 50 Parts Per Million (PPM), yaitu Pertamina Dex 53, Pertamina Turbo 98, dan Pertamax Turbo 95, jenis BBM yang memenuhi standar Euro 4 masih sangat terbatas.
"Jadi selain itu, spesifikasi yang memenuhi Euro 4 itu tidak ada. jadi disini yang Euro 4 saja, yang PPM- nya 50, yang kalau kita lihat di negara-negara lain itu sudah Euro 6, Euro 7 gitu kan, semuanya udah jauh di bawah ini kualitasnya," kata Andri dalam acara media workshop, Jakarta, Senin (5/8).
Dari sisi otomotif, Andri menilai sektor otomotif di Indonesia belum sepenuhnya siap untuk beralih ke standar BBM yang lebih tinggi, meski kualitas kendaraan di negara ini sudah mampu menerima BBM dengan standar Euro 4.
Jika dibandingkan dengan India yang memiliki kondisi ekonomi serupa dengan Indonesia, kata Andri India jauh lebih siap dalam menangani masalah kualitas udara dan penerapan standar BBM yang lebih ketat.
"India yang kita per kapitanya kurang lebih sama dengan Indonesia, bisa jauh lebih siap dalam kualitas udaranya gitu kan mereka lebih serius dalam memperbaiki kesiapan polusi udara," tambahnya.
Andri menyebut ada beberapa skenario untuk meningkatkan kualitas BBM di Indonesia. Pertama dengan menaikan anggaran subsidi, di mana pemerintah menaikkan anggaran subsidi untuk menaikkan kualitas BBM ke Euro-4.
Kenaikan biaya produksi akibat peningkatan kualitas BBM ditanggung oleh APBN sepenuhnya. Sehingga memberikan dampak terhadap perubahan anggaran yang meningkat hingga Rp21,5 triliun sampai Rp46,1 triliun yang diakumulasikan yakni pada 2025-2028.
Skenario kedua, pemerintah tidak perlu menambah anggaran untuk menaikkan kualitas BBM, sehingga kenaikan biaya produksi langsung dibebankan ke masyarakat dengan menaikkan harga BBM sekitar Rp100-Rp250 per liter.
Skenario ini, kata dia akan memberikan dampak terhadap inflasi +0,07 persen hingga 0,19 persen. Namun dampak inflasi hanya terjadi pada tahun awak kebijakan yakni tahun 2025.
Skenario terakhir adalah pembatasan subsidi BBM. Pemerintah dapat mengalihkan anggaran subsidi untuk membiayai kenaikan kualitas BBM melalui pembatasan subsidi bagi sebagian jenis kendaraan.
Dia melanjutkan dengan menggunakan skema terakhir ini pemerintah dapat menghemat penurunan volume subsidi Rp39 triliun hingga Rp42,5 triliun sepanjang tahun 2025-2028.