Ternyata, Karyawan di Asia Banyak yang Sibuk Tapi Justru Tak Produktif
Survei dilakukan oleh anak perusahaan Salesforce Slack dan firma riset Qualtrics, yang menarik data dari lebih dari 18.000 pekerja, termasuk eksekutif di Asia.
Para pekerja di negara kawasan Asia lebih banyak menghabiskan waktunya di kantor, namun tidak melakukan pekerjaan yang produktif.
Ternyata, Karyawan di Asia Banyak yang Sibuk Tapi Justru Tak Produktif
Survei itu dilakukan oleh anak perusahaan Salesforce Slack dan firma riset Qualtrics, yang menarik data dari lebih dari 18.000 pekerja, termasuk eksekutif di negara Asia.
"Pekerjaan performatif mencakup menghabiskan banyak waktu dalam rapat di mana 'tim menunjukkan pencapaian' daripada membuat keputusan atau menangani masalah," kata penggiat teknologi di Slack untuk Asia-Pasifik, Derek Laney.
Dikutip dari CNBC International.
Survei tersebut menemukan bahwa karyawan di India (43 persen), Jepang (37 persen) dan Singapura (36 persen) menghabiskan lebih banyak waktu mereka untuk kesibukan di kantor daripada rata-rata global (32 persen). Korea Selatan, berada di tempat urutan terakhir besama AS untuk pekerja yangmelaporkan hanya menghabiskan 28 persen dari waktu mereka untuk terlihat sibuk.
Sementara Jepang (63 persen), Singapura (63 persen) dan India (57 persen) menduduki peringkat terendah untuk persentase waktu yang dihabiskan untuk produktif atau pekerjaan nyata. "Pimpinan perusahaan di kawasan itu kemungkinan besar menilai produktivitas berdasarkan aktivitas yang terlihat daripada berfokus pada pencapaian hasil. Keterputusan ini menyebabkan usaha yang sia-sia di mana karyawan berusaha tampil baik di depan pimpinan mereka," imbuhnya.Secara global, metrik visibilitas dan aktivitas, seperti durasi yang dihabiskan online atau jumlah email yang dikirim, menempati peringkat teratas (27 persen), menurut laporan tersebut.
Laney menyebut, karyawan di Asia pada gilirannya mungkin merasa tertekan untuk bekerja lebih lama, segera menanggapi email, atau duduk di setiap rapat. Misalnya, 44 persen karyawan Singapura, tertinggi secara global, mengatakan bahwa produktivitas mereka dipengaruhi oleh menghabiskan terlalu banyak waktu dalam rapat dan email. Slack menemukan bahwa 63 persen responden survei berusaha untuk menjaga status mereka tetap aktif online, meskipun mereka sedang tidak bekerja.Terlepas dari tekanan untuk bekerja lebih lama dan lebih terlihat yang dirasakan karyawan, laporan tersebut menemukan bahwa sebagian besar karyawan berharap produktivitas mereka dapat diukur secara berbeda. Alih-alih metrik aktivitas, pekerja yang disurvei paling ingin dinilai melalui indikator kinerja utama; percakapan dengan manajer mereka; dan jam yang dihabiskan untuk jenis pekerjaan tertentu.
"Ada peluang bagi perusahaan untuk mengeksplorasi cara kerja yang baru dan berbeda, seperti mengadopsi cara kerja asinkron daripada rapat, untuk memfasilitasi kolaborasi yang lebih efektif di tempat kerja," papar Laney.
Survei oleh Slack juga menemukan bahwa pekerja di sejumlah negara di Asia masih sangat menyukai pekerjaan asinkron, yang lazim selama pandemi mengingat pengaturan kerja jarak jauh. Pekerjaan asinkron berarti tugas tidak dilakukan secara real-time atau langsung. Laporan tersebut menyoroti bahwa lebih dari separuh responden mengatakan cara terbaik bagi pemberi kerja untuk mendukung produktivitas adalah melalui jadwal yang fleksibel, dengan 36 persen memilih lokasi yang fleksibel.
Manfaat tempat kerja yang unik dan peningkatan kantor mendapat peringkat lebih rendah, yaitu 32 persen. Survei tersebut menemukan bahwa saat harus kembali ke kantor, para pekerja mempertimbangkan untuk memiliki rasa kebersamaan dan bertukar pikiran sebagai tim lebih produktif daripada terlibat dalam tugas yang dapat dilakukan di rumah. Reporter: Natasha Khairunnisa Amani Sumber: Liputan6.com