Arab Saudi Hapus Nama Palestina di Buku-Buku Sekolah, Sebaliknya Citra Israel Justru Makin Bagus
Saudi Hapus Nama Palestina di Buku-Buku Sekolah, Citra Israel Justru Makin Bagus
Sebuah studi terhadap buku-buku pelajaran sekolah di Arab Saudi menemukan peningkatan kemajuan dalam penggambaran Israel dan Zionisme oleh pemerintah.
- Baru Sehari Pulang Dari Gaza, Tentara Israel Bunuh Diri Tembak Kepalanya Sendiri
- Israel Curi Rp570 miliar Dana Palestina untuk Santunan Keluarga Tentara yang Tewas di Gaza
- Kasur-Kasur Berlumurah Darah di Sekolah PBB di Gaza, Jet Tempur Israel Tewaskan 40 Warga Palestina
- Saudi Kembali Tegaskan Israel Tidak Dapat Hidup Tanpa Berdirinya Negara Palestina
Arab Saudi Hapus Nama Palestina di Buku-Buku Sekolah, Sebaliknya Citra Israel Justru Makin Bagus
Hal ini sebagai kelanjutan dari tren positif yang muncul dalam beberapa tahun terakhir.
Buku-buku pelajaran untuk tahun ajaran 2023-2024 tidak lagi mengajarkan Zionisme adalah gerakan Eropa yang “rasis”, dan tidak lagi menyangkal keberadaan Yahudi secara historis di wilayah Timur Tengah, demikian menurut penelitian tersebut, yang diterbitkan minggu lalu oleh lembaga nirlaba IMPACT-se, yang memantau kurikulum pendidikan di negara-negara Timur Tengah dan Afrika Utara.
“Ini adalah langkah kecil yang menunjukkan perubahan narasi terhadap Israel, dan menunjukkan lebih banyak toleransi dan keterbukaan,” kata Nimrod Goren, yang mengepalai Mitvim, Institut Kebijakan Luar Negeri Regional Israel, seperti yang dilansir dari the Times of Israel, Selasa (4/6).
Sebutan Israel sebagai “negara musuh” telah dihapus, tetapi referensi tentang “pendudukan Israel” masih dapat ditemukan, dan kurikulum masih menggarisbawahi komitmen Arab Saudi terhadap perjuangan Palestina.
Nama “Israel” masih belum muncul di peta, tetapi nama “Palestina”, yang sebelumnya mencakup seluruh wilayah Israel, kini telah dihapus, kata laporan tersebut.
“Ini menunjukkan jika Saudi sedang menuju normalisasi
mereka melakukan semuanya sejalan dengan model UEA dan Bahrain,” tambah Goren, merujuk pada hubungan diplomatik yang dijalin dengan dua kerajaan Teluk dalam kerangka Kesepakatan Abraham pada 2020.
Hubungan dengan UEA dan Bahrain telah diwujudkan dalam bentuk kerja sama budaya dan kontak antarwarga, yang disebut sebagai “perdamaian yang hangat”, berbeda dengan “perdamaian dingin” yang terjadi dengan Yordania dan Mesir, dua negara yang opini publiknya sangat memusuhi Israel.
Langkah Arab Saudi yang lebih tebuka secara bertahap dimulai sekitar satu dekade lalu, tambah Goren.
“Prosesnya menyerupai apa yang dilakukan UEA dan Bahrain pada dekade sebelum Kesepakatan Abraham, sebuah langkah yang sangat lambat dan bertahap yang mencerminkan toleransi dan normalisasi keterlibatan, sehingga menjadi lebih rutin dalam hal persepsi publik,” katanya.
“UEA, misalnya, sangat memainkan kartu toleransi beragama, dengan pembangunan Rumah Keluarga Abraham,” tambah Goren, merujuk pada sebuah bangunan yang mencakup masjid, gereja, dan sinagog di ibu kota UEA, Abu Dhabi, yang diresmikan pada tahun 2023.
“Itu adalah pintu masuk yang mudah untuk menunjukkan persepsi yang lebih baik tentang orang Israel dan Yahudi.”
Memupuk toleransi beragama tampaknya merupakan jalan yang diikuti oleh para penguasa Saudi untuk mempersiapkan
opini publik dalam menghadapi kemungkinan babak baru dalam hubungan dengan Israel.
Penelitian terhadap buku-buku pelajaran di Arab Saudi menemukan antisemitisme secara praktis telah diberantas dari kurikulum kerajaan.
Dalam beberapa tahun terakhir, para siswa Saudi telah dihadapkan pada contoh-contoh kebencian dan hasutan yang mengerikan dalam buku-buku pelajaran, kata laporan itu.
“Contoh-contoh yang telah dihapus termasuk penggambaran orang Yahudi sebagai individu yang berkhianat, dan ayat-ayat Alquran yang mengajarkan orang Yahudi berubah menjadi monyet.”
Konten bermasalah yang mempromosikan jihad dengan kekerasan dan mati syahid juga telah dihapus dalam beberapa tahun terakhir, kata laporan itu.
Sebagai gantinya, interpretasi non-kekerasan terhadap jihad dipromosikan sebagai perjuangan individu untuk perbaikan diri dan bukan perjuangan bersenjata melawan non-muslim.