Kemenangan Donald Trump Dianggap Mimpi Buruk Bagi Jerman, Ini Alasannya
Terpilihnya Donald Trump sebagai Presiden ke-47 AS ternyata mendapatkan tanggapan yang beragam dari masyarakat Jerman.
Negara ini memiliki perspektif yang berbeda terkait terpilihnya Donald Trump sebagai Presiden ke-47 Amerika Serikat. Menurut laporan dari DW Indonesia pada Kamis (7/11/2024), pemerintah Jerman berharap bahwa Kamala Harris akan melanjutkan tradisi transatlantik dan multilateralisme yang telah dibangun oleh Joe Biden. Namun, harapan tersebut sirna setelah Donald Trump berhasil memenangkan pemilu Amerika 2024.
"Saat ini, pemerintah Jerman berada dalam keadaan tidak siap," ungkap Henning Hoff dari Dewan Hubungan Luar Negeri Jerman.
- Tantangan Besar Merek Jerman di Masa kepresidenan Donald Trump
- Trump Menang Pilpres AS, Para 'Sultan' Tajir Melintir ini ini Harta Kekayaannya Langsung Naik Hingga Rp1.009 Triliun
- Menang Pilpres AS, Donald Trump Masih Terjerat Sederet Kasus Hukum, Ini Daftarnya
- Kemenangan Donald Trump di Pilpres AS Bikin Masa Depan Ekonomi Indonesia Terancam Suram
"Adalah sebuah kesalahan untuk sepenuhnya mengandalkan Partai Demokrat," tambahnya.
"Hubungan khusus yang dibangun oleh Kanselir dengan Presiden Biden mungkin terlalu berat sebelah. Ketidakadaan komunikasi dengan kubu Trump akan menjadi masalah bagi Jerman."
Di Jerman, ingatan tentang masa kepresidenan Trump yang berlangsung dari 2017 hingga 2021 masih sangat membekas. Pada periode tersebut, Trump meragukan keberadaan NATO dan mengancam akan menarik pasukan AS dari Jerman, serta mengkritik negara-negara anggota NATO yang dianggapnya tidak memberikan kontribusi yang memadai untuk pertahanan mereka sendiri.
Oleh karena itu, Henning Hoff berpendapat sangat penting bagi pemerintah Jerman untuk "memperbaiki kesalahan yang telah dibuat."
"Diperlukan sinyal yang jauh lebih kuat untuk menunjukkan bahwa Eropa, khususnya Jerman, benar-benar siap untuk mengambil tanggung jawab pertahanan yang lebih besar. Jika kita terus-menerus berdebat bahwa kita memiliki anggaran khusus (untuk Bundeswehr) sehingga anggaran pertahanan hanya perlu ditingkatkan sedikit, maka kita tidak akan mampu menarik perhatian siapa pun di Washington, terutama di bawah pemerintahan Trump," jelas Hoff.
Perang Ukraina-Rusia
Di tingkat global, konflik di Ukraina menjadi isu penting bagi pemerintah Jerman. Saat ini, AS merupakan penyedia senjata dan dukungan finansial utama bagi Ukraina, diikuti oleh Jerman. Namun, dengan perubahan kepemimpinan di AS dari Joe Biden ke Donald Trump, muncul pertanyaan mengenai masa depan dukungan terhadap Ukraina.
Sementara Biden berkomitmen untuk mendukung Ukraina "selama diperlukan," Trump justru menginginkan agar perang segera diakhiri. Pernyataan ini dapat mengindikasikan Ukraina mungkin harus merelakan sebagian besar wilayah yang saat ini dikuasai oleh Rusia.
Namun, mengenai kebijakan AS terhadap Ukraina di bawah kepemimpinan Trump, "kita tidak tahu," ungkap pakar keamanan Nico Lange sebelum pemilihan.
"Kita tidak bisa memastikan jika Donald Trump menang, dia akan mengorbankan Ukraina," ujarnya.
Yang menarik dari sosok Trump adalah sifatnya yang sulit diprediksi. Jika Trump berusaha untuk mencapai kesepakatan dengan Presiden Rusia Vladimir Putin tanpa melibatkan Ukraina dan para sekutunya, Henning Hoff memperingatkan Jerman mungkin akan menggunakan situasi ini sebagai alasan untuk tidak mengambil tindakan lebih lanjut, dengan menyatakan: "Kami ingin berbuat lebih banyak, tetapi, yah, Amerika!"
Tarif Ekspor
Jerman merupakan salah satu mitra dagang paling penting bagi AS. Hal ini menunjukkan bahwa kebijakan ekonomi yang diterapkan AS akan berdampak langsung pada Jerman. Selama masa kampanye, Trump mengumumkan rencana untuk mengenakan tarif sebesar 60 persen pada impor dari China dan tarif 20 persen untuk barang-barang dari seluruh dunia.
Kebijakan ini berpotensi membuat produk-produk asal Jerman menjadi jauh lebih mahal di pasar AS. Sektor otomotif dan farmasi diperkirakan akan mengalami dampak yang signifikan.
"Ini akan menjadi beban yang besar bagi industri ekspor Jerman," ungkap Henning Hoff sebagai peringatan.
Akibatnya, banyak perusahaan manufaktur di Jerman mulai merasa khawatir.