Ketapel & Senapan Angin, Senjata Seadanya Rakyat Myanmar Hadapi Kebrutalan Militer
Para demonstran kerap memanfaatkan YouTube untuk belajar membuat senjata sederhana, dengan bahan-bahan yang mudah didapatkan.
Setiap hari, ketika Ko Win Kyaw keluar untuk berunjuk rasa menentang militer Myanmar, dia membawa ketapel dan persediaan batu sebagai amunisi. Itu sedikit menolong melawan daya tembak tentara yang luar biasa, tapi dia mengatakan ketapel dan batu itu memberinya kepercayaan diri dan cara untuk melawan balik.
“Saya tahu saya tidak bisa membela diri sendiri dengan sebuah ketapel, karena saya menghadapi orang dengan pistol,” ujarnya.
-
Kapan HUT Kodam Jaya diperingati? Setiap tanggal 24 Desember diperingati HUT Kodam Jaya.
-
Kenapa UMKM penting? UMKM tidak hanya menjadi tulang punggung perekonomian di Indonesia, tetapi juga di banyak negara lain karena kemampuannya dalam menciptakan lapangan kerja dan mendorong pertumbuhan ekonomi.
-
Kapan R.A.A Kusumadiningrat memimpin? Sebelumnya, R.A.A Kusumadiningrat sempat memerintah pada 1839-1886, dan memiliki jasa besar karena mampu membangun peradaban Galuh yang cukup luas.
-
Kapan Umbul Manten ramai dikunjungi? Pada saat menjelang Bulan Ramadan, Umbul Manten sering dijadikan lokasi padusan.
-
Bagaimana KM Soneta tenggelam? Saat kejadian kondisi ombak sedang besar setinggi 2,5 meter dengan angin kencang dan arus deras. Sebanyak sembilan ABK yang terombang ambing diselamatkan oleh kapal KM Bintang Barokah yang sedang melintas.
-
Kapan Rafathar potong rambut? 3 Namun, ternyata Raffi dan Nagita ingin anak mereka tampil berbeda menjelang Hari Raya Idul Fitri yang tidak lama lagi.
“Ketika mereka menembak, saya lari,” lanjutnya, dikutip dari The New York Times, Minggu (18/4).
Ko Win Kyaw (36), adalah satu dari banyak demonstran pro demokrasi yang mulai mempersenjatai diri dengan senjata seadanya saat mereka melawan rezim militer di Myanmar. Apa yang dimulai sebagai unjuk rasa damai setelah kudeta 1 Febuari dengan cepat berubah menjadi gerakan pertahanan, di mana warga melindungi diri mereka menggunakan ketapel, senapan rakitan, senapan berburu, dan bom api.
Dalam sebuah pernyataan pekan ini, Komisioner Tinggi PBB Bidang HAM, Michelle Bachelet, menyampaikan tindakan keras militer di negara itu telah memicu beberapa individu mengangkat senjata, memperingatkan situasi ini sama dengan apa yang terjadi di Suriah pada 2011 dan bisa mendorong terjadi konflik yang jauh lebih besar.
Bagi banyak orang di Myanmar, titik baliknya terjadi pada 27 Maret, ketika pasukan keamanan membunuh sedikitnya 150 orang. Itu menjadi tindakan keras paling mematikan sejak kudeta, menurut kelompok HAM yang melacak pembunuhan tersebut. Lebih dari 728 orang telah terbunuh, dan sedikitnya 3.000 orang telah ditangkap.
Di wilayah paling terdampak parah di Tharketa, Yangon, seorang demonstran mengatakan dia dan kawan-kawannya membentuk sebuah tim beranggotakan sekitar 20 orang setelah pembantaian 27 Maret.
“Kami pengunjuk rasa damai setelah kudeta,” kata Ko Thi Ha (26).
“Tapi ketika mereka membunuh begitu banyak orang, kami tidak bisa lagi melakukan gerakan damai. Kami perlu melawan balik.”
Para demonstran kerap memanfaatkan YouTube untuk belajar membuat senjata sederhana, dengan bahan-bahan yang mudah didapatkan. Untuk senapan rakitan, pipa plastik digunakan untuk laras, dan semacam korek gas butane digunakan sebagai pelatuk. Bantalan bola yang diambil dari roda sepeda adalah amunisi paling populer, tetapi pengunjuk rasa juga menembakkan kelereng dan butiran plastik. Bom asap rumahan biasanya dibuat dengan bubuk mesiu atau kalium nitrat, bahan dalam pupuk.
Baik senapan angin rakitan dan bom asap lebih bersifat defensif atau untuk melindungi diri daripada menyerang. Senapan angin tidak mematikan, tapi bisa menghantam target dengan jarak 100 kaki. Para pengunjuk rasa menggunakannya untuk mencegah tentara mengejar mereka dengan cepat. Ketika para pengunjuk rasa perlu melarikan diri, mereka menggunakan bom asap untuk melindungi diri mereka dari pandangan aparat sembari mereka mundur dengan topi dan kacamata pelindung.
Seiring dengan diciptakannya senjata seadanya, para demonstran juga menggunakan kata-kata sebagai kode untuk menggambarkan berbagai manuver yang digunakan di garis depan. “Memasak biryani,” hidangan nasi yang populer, berarti membuat senjata. "Memberikan biryani kepada tamu" berarti menembakkan senjata ke arah tentara. "Biryani besar" adalah serangan pembakaran.
Perlawanan Tentara Sipil Kalay
Bulan ini di Kalay, sebuah kota kecil sekitar 241 kilometer barat laut Yangon, satu tim menggunakan senapan angin dan senapan berburu satu tembakan ketika militer memimpin serangan. Menyebut diri mereka Tentara Sipil Kalay, para pejuang perlawanan mendirikan barikade yang terbuat dari karung pasir di pinggir kota dan menyiapkan senjata darurat mereka.
Ketika tentara tiba saat fajar dan memerintahkan pembongkaran barikade, Tentara Sipil Kalay menolak. Tentara kembali pada pukul 10.00 dan mengeluarkan tembakan dengan senjata mesin dan granat berpeluncur roket. Sedikitnya 11 orang tewas, dan 18 orang ditangkap. Sebelum mengangkut para tahanan, tentara menjejerkan mereka dengan senjata yang disita kemudian difoto.
Kekalahan Tentara Sipil Kalay mengirim pesan jelas dari militer bahwa mereka yang membawa senjata dan mengorganisir taktik seperti itu akan dihancurkan. Sekitar sebulan sebelum Tentara Sipil Kalay terbentuk, sebuah kelompok pemimpin terpilih yang membentuk pemerintahan alternatif secara tersembunyi mengumumkan bahwa rakyat memiliki hak untuk membela diri dari Tatmadaw, nama militer Myanmar. Melawan junta, kata pejabat tersebut, bukanlah sebuah kejahatan.
Selain Kalay, militer menargetkan kantong-kantong perlawanan lain di mana penduduk mempersenjatai diri dengan senjata seadanya. Di kota Bago bulan ini, pasukan keamanan menyerang kelompok serupa dengan granat berpeluncur roket dan senapan mesin, menewaskan sedikitnya 82 orang.
Di Yangon bulan ini, terjadi beberapa serangan pembakaran di kantor polisi dan kantor pemerintah, serta ledakan kecil yang menyebabkan sedikit kerusakan dan tidak ada korban luka. Beberapa ahli di Tatmadaw takut akan pembalasan yang kuat jika pengunjuk rasa berhasil mendapatkan senjata mematikan dalam skala besar.
Kebrutalan Tatmadaw
Anthony Davis, seorang analis yang berbasis di Bangkok yang menulis untuk publikasi militer Jane's Group, mengatakan para jenderal memandang diri mereka sendiri telah bertindak dengan menahan diri, menanggapi secara proporsional ketika unjuk rasa meningkat.
“Orang-orang berbicara tentang kebrutalan Tatmadaw, yang tidak dapat disangkal,” katanya.
“Tapi kita berbicara tentang 500 orang tewas dalam waktu dua bulan, bukan 5.000. Bisa jauh lebih lebih. Dengan standar yang mereka pelintir sendiri, tidak ada keraguan bahwa mereka mencoba untuk mengkalibrasi peningkatan kekerasan.”
Dari senjata rakitan para pengunjuk rasa, yang paling mematikan adalah bom api.
“Begitu Anda melihat senjata api dan granat di sisi pengunjuk rasa, sarung tangan Tatmadaw akan terlepas,” tambah Davis.
“Pada saat itu, mereka tidak akan ragu untuk merobohkan rumah. Tatmadaw akan bereaksi dengan ganas dan segera.”
Ketapel senjata pilihan
Sementara tentara dilengkapi dengan granat berpeluncur roket, senapan mesin dan drone pengintai buatan China, katapel telah menjadi senjata pilihan bagi banyak pengunjuk rasa. Ketapel murah dan mudah disembunyikan, dan dapat ditembakkan dengan cepat dari lokasi persembunyian. Untuk amunisi, ada yang membeli kelereng kaca atau batu halus yang telah dikumpulkan untuk tujuan tersebut. Saat amunisi menipis, biasanya ada banyak batu di sekitarnya.
Sampai saat ini, ketapel paling banyak ditemukan di daerah pedesaan, di mana para koboi sering menggunakannya untuk menyodok ternak mereka. Seorang penembak ketapel jitu yang terampil bisa memetik mangga dari cabang yang tinggi.
Setelah unjuk rasa dimulai, ketapel pertama kali muncul di tangan polisi. Video yang diambil oleh penduduk menunjukkan sekelompok petugas berkeliaran di jalan pada malam hari, menembaki orang, rumah dan jendela secara acak. Ketika demonstrasi meningkat, polisi menukar ketapel mereka dengan senapan sementara para pengunjuk rasa menggunakannya dalam jumlah besar.
Bulan lalu, ketika Alexander Fomin, wakil menteri pertahanan Rusia, mengunjungi Myanmar, pemimpin junta, Jenderal Jenderal Min Aung Hlaing, menunjukkan barang-barang yang disita dari pengunjuk rasa. Sebuah video dari pertemuan tersebut menunjukkan Min Aung Hlaing mendemonstrasikan kepada Fomin cara menggunakan ketapel.
“Tarik untuk menembak,” ujarnya.
(mdk/pan)