Makin Kritis, Stok Makanan Bagi Warga Palestina di Rafah Tersisa Hanya Untuk Beberapa Hari
Israel merebut perbatasan Rafah agar bisa membatasi bantuan yang masuk ke Jalur Gaza.
Israel merebut perbatasan Rafah agar bisa membatasi bantuan yang masuk ke Jalur Gaza.
Makin Kritis, Stok Makanan Bagi Warga Palestina di Rafah Tersisa Hanya Untuk Beberapa Hari
Setelah Israel merebut perlintasan perbatasan Rafah di Jalur Gaza selatan pada 6 Mei, warga Palestina yang mengungsi di Gaza tengah dan selatan hanya memiliki pasokan makanan untuk kurang dari seminggu.
Pasukan penjajah Israel merebut Rafah pada dasarnya untuk membatasi masuknya bantuan ke Gaza.
Sejak saat itu, hanya enam truk makanan yang masuk ke Gaza melalui perlintasan Karem Abu Salem menurut juru bicara Badan PBB untuk Pengungsi Palestina (UNRWA), Juliette Touma kepada Middle East Eye.
- Israel Mulai Kekurangan Tentara, Sampai Rekrut Warga Berumur 40 Tahun Lebih
- Tentara Israel dan Mesir Baku Tembak di Dekat Rafah, Satu Orang Tewas
- Israel Kembali Serang Rafah, 35 Warga Palestina Tewas Terbakar, Kebanyakan Ibu dan Anak-Anak
- Tak Tersisa Tempat Aman di Gaza, Israel Bom Kota Rafah Setelah Hamas Setujui Perjanjian Gencatan Senjata
Touma mengatakan, jumlah truk yang dibutuhkan per hari minimal 500 unit yang membawa bahan bakar, pasokan bantuan dan pasokan komersial. Sejauh ini 157.000 liter bahan bakar telah masuk ke Gaza. Namun yang dibutuhkan mencapai 300.000 liter per hari.
Persediaan makanan semakin menipis dan harga melambung tinggi karena tidak ada bantuan yang masuk.
“Kita bisa saja melihat kelaparan baru di daerah pengungsian. Para pengungsi sangat khawatir dengan kurangnya pasokan. Krisis besar juga terkait dengan kurangnya air yang layak untuk diminum,” ujar Mohammed al-Hajjar, seorang jurnalis Palestina di Deir al-Balah.
Tidak ada sumber air dan air minum dalam kemasan tidak lagi masuk ke Gaza.
Barang-barang telah menghilang dari pasar. Kentang dan sayuran lainnya tidak tersedia selama sepekan.
“Hanya ada beberapa sayuran, seperti tomat, bawang merah, mentimun dan bawang putih, dan beberapa kacang-kacangan, seperti lentil, buncis, dan kacang fava, yang tersisa,” kata Eman Mhmd, seorang guru matematika di Deir al-Balah, kepada Middle East Eye.
“Tidak ada ayam, tidak ada telur, tidak ada tisu, banyak hal lain yang hilang.”
Mhmd menambahkan, harga roti naik tiga kali lipat dan harga tepung naik sampai lima kali lipat.
Seorang jurnalis Palestina di Khan Younis, Ahmed Abu Aziz, mengatakan harga gula melonjak tajam, dari yang sebelumnya hanya 12–13 shekel (sekitar Rp52.000) tahun lalu menjadi 95 shekel (sekitar Rp409 ribu) per kilogram. Dia menyatakan makanan dan air bersih sekarang "sangat langka dan sangat mahal" di sebagian besar wilayah Khan Younis.
Distributor Air al-Yassin, di al-Sultan di Rafah barat, “dulunya mendistribusikan air kepada ratusan ribu orang secara gratis”, kata Abu Aziz, tetapi karena sekarang menjadi sasaran Israel, air tidak lagi tersedia.
Di luar Rafah dan Deir al-Balah, serta wilayah tengah dan selatan lainnya, tidak ada sumber air tawar yang sebanding, mereka hanya memiliki air asin yang belum disaring dengan baik. Hal ini dapat menyebabkan masalah kesehatan bagi penduduk Khan Younis dan pusat kota.
"Warga biasanya hidup dari kacang kalengan yang mereka dapatkan dari UNRWA, kini tidak bisa lagi mendapatkannya," kata Mhmd.
Orang-orang terpaksa meminta bantuan orang lain untuk mendapatkan makanan mereka sehari-hari.
“Makanan yang tersedia saat ini adalah makanan yang sebelumnya dibawa sebagai bantuan dari penyeberangan Rafah. Tapi jika penyeberangan terus ditutup, tidak akan ada yang bisa dimakan,” tambahnya.
“Pasar-pasar masih beroperasi, dengan sumber daya yang sedikit dan harga yang tinggi, tetapi saya tidak tahu berapa lama lagi mereka akan bertahan di bawah pengepungan yang mencekik ini, penutupan semua penyeberangan dan pencegahan bantuan.”
Para pengungsi Palestina menjual makanan yang sebelumnya mereka terima sebagai bantuan untuk membeli barang-barang penting lainnya.
“Orang-orang tidak bisa membeli apapun. Jika mereka memiliki sejumlah uang yang ditabung, tabungan itu sudah tidak ada lagi,” kata Mhmd.
Rafeek Elmadhoun berada di Deir al-Balah bekerja dengan Rebuilding Alliance, sebuah organisasi nirlaba yang telah mendistribusikan makanan hangat di Gaza.
Kelompok ini memiliki 16 dapur umum secara keseluruhan: 10 di Rafah dan Khan Younis, dan enam di Gaza tengah. Mereka berniat untuk mendirikan lima dapur lapangan lagi dalam waktu dekat, kata Elmadhoun.
Dia mengatakan saat ini "mustahil" untuk membawa makanan dari luar wilayah kantong pantai karena pembatasan yang diberlakukan di perbatasan, dan menggambarkan kondisi di Gaza tengah dan selatan sebagai "menyedihkan".
“Kami, dengan dukungan Program Pangan Dunia [WFP], masih memiliki sejumlah makanan yang tersisa. Kami memasak makanan hangat untuk memberi makan para pengungsi di berbagai daerah,” katanya.
Elmadhoun dan rekan-rekannya berusaha melakukan yang terbaik dengan apa yang tersisa.
“Kami berusaha untuk berhemat dengan stok yang masih ada. Belum jelas kapan pengepungan ini akan berakhir dan kapan bantuan akan masuk ke Gaza,” kata Elmadhoun.
“Jika hal ini terus berlanjut hingga satu minggu ke depan, saya rasa kami tidak akan mampu menyediakan lebih banyak makanan lagi karena permintaan sangat tinggi dan jumlah pengungsi yang datang ke pusat kota Gaza sangat banyak,” katanya.
Dapur lapangan Rebuilding Alliance mendapatkan sayuran dari pasar lokal, tetapi harganya sekarang terlalu tinggi.
Pertanian masih dilakukan di Gaza, tetapi, menurut Elmadhoun, hasil panennya sangat berkurang karena larangan memasukkan benih dan pupuk ke Gaza serta kehancuran sebagian besar lahan pertanian di wilayah kantong pesisir.
Pertanian menyumbang hampir setengah dari total luas lahan Gaza sebelum perang, menurut UNOSAT, pusat satelit PBB. Empat puluh lima persen dari lahan tersebut kini hancur.
Pada Jumat (10/5), Direktur WFP di Palestina, Matthew Hollingworth mengatakan gudang utama WFP tidak dapat diakses.
“Tidak ada bantuan yang masuk dari penyeberangan selatan dalam dua hari ini,” tulisnya.
“Hanya satu toko roti yang masih beroperasi. Persediaan makanan dan bahan bakar di Gaza hanya akan bertahan selama satu sampai tiga hari. Tanpa mereka, operasi kami akan terhenti.”
Pada Minggu (12/5), kelompok Sinai untuk Hak Asasi Manusia melaporkan penutupan penyeberangan perbatasan telah menyebabkan “sejumlah besar makanan” membusuk.
“Banyak truk yang bermuatan makanan rusak dan dibuang karena waktu tunggu yang lama di penyeberangan perbatasan,” kata kelompok tersebut, mengutip sebuah video yang diambil oleh seorang supir truk Mesir, yang telah diverifikasi.
Sementara itu, tentara Israel terekam kamera sedang menghancurkan bantuan di perlintasan dalam beberapa hari terakhir, sementara angkatan laut Israel terlihat menembaki kapal-kapal nelayan di lepas pantai Gaza.
“Gaza membutuhkan aliran bantuan makanan harian yang teratur,” kata Touma dari UNRWA.
“Semua pihak yang menutup perlintasan menuju Gaza harus membukanya kembali tanpa penundaan.”