Penelitian Terbaru Perbandingan Manusia dan Simpanse, Hasilnya Mengejutkan
Simpanse di satu wilayah Guinea memecahkan lalu memakan kacangnya, sementara yang lain menolak untuk melakukannya bahkan ketika ditawarkan alat. Ini adalah temuan penelitian yang diterbitkan pada Senin dan perbedaan itu dapat menjelaskan budaya mereka.
Simpanse di satu wilayah Guinea memecahkan lalu memakan kacangnya, sementara yang lain menolak untuk melakukannya bahkan ketika ditawarkan alat. Ini adalah temuan penelitian yang diterbitkan pada Senin dan perbedaan itu dapat menjelaskan budaya mereka.
Sebagai manusia, kita disebut memiliki budaya kumulatif: keterampilan dan teknologi diturunkan dan disempurnakan dari generasi ke generasi, menghasilkan perilaku yang lebih canggih dari sebelumnya.
-
Apa yang diamati oleh para ilmuwan? Para ilmuwan berhasil menyaksikan dua pasang lubang hitam supermasif yang hampir bertabrakan. Dua fenomena alam itu terletak jutaan hingga miliaran tahun cahaya dari Bumi.
-
Apa yang ditemukan oleh para ilmuwan? Ilmuwan menemukan dua spesies dinosaurus baru, yang hidup 66 juta tahun lalu.
-
Kapan kata pengantar dianggap penting dalam karya ilmiah? Meski bukan bagian dari isi, namun dalam suatu karya ilmiah, kata pengantar bukan sebuah formalitas.
-
Mengapa penelitian ini penting? Selain membantu memahami lebih lanjut tentang sistem cuaca unik di planet es, temuan ini juga dapat membantu menjelaskan mengapa medan magnet Neptunus dan Uranus berbeda dengan medan simetris yang dimiliki Bumi.
Beberapa ahli percaya ini khas untuk manusia, dan sifat-sifat seperti penggunaan alat oleh simpanse berkembang secara spontan pada individu.
Teori mereka berpendapat bahwa hewan dapat berinovasi dalam perilaku tertentu tanpa model untuk ditiru.
Bukti untuk hal ini sebagian datang dari simpanse penangkaran, yang terlihat secara mandiri mengembangkan penggunaan alat sederhana seperti menyendok dengan tongkat dan menyendok dengan daun.
Tetapi perilaku itu berbeda dari teknik yang relatif lebih kompleks, seperti memecahkan kacang, dan penangkaran sangat berbeda dengan alam liar.
Jadi Kathelijne Koops, seorang profesor di departemen antropologi Universitas Zurich, merancang serangkaian eksperimen yang melibatkan simpanse liar di Guinea.
Sementara satu populasi simpanse di Bossou Guinea memang memecahkan kacang, kelompok lain yang hanya enam kilometer jauhnya di Nimba tidak melakukan hal demikian.
Koops ingin melihat apakah populasi simpanse di Nimba akan mengembangkan perilaku tersebut jika diperkenalkan dengan alat untuk melakukannya.
Para peneliti membuat empat skenario berbeda: yang pertama, simpanse menemukan kacang palem dalam cangkang, dan batu yang dapat digunakan untuk memecahkannya.
Yang kedua, ada kacang palem dalam cangkang, batu, tetapi juga buah pinang yang bisa dimakan. Di tempat ketiga, mereka menemukan batu, biji kelapa sawit yang tidak dikupas dan beberapa kulit kacang yang retak.
Eksperimen terakhir, para simpanse disiapkan batu dan kacang Coula, yang biasanya dan dengan mudah dipecahkan populasi simpanse yang menggunakan teknik.
Kamera tersembunyi
Setiap eksperimen berlangsung beberapa bulan, sebagian besar pada 2018, walaupun beberapa kasus dilakukan pada 2011.
Tapi saat lokasi eksperimen di Nimba didatangi dan dieksplorasi puluhan simpanse, yang direkam dengan kamera yang dipasang di lokasi, mereka tidak pernah berusaha memecahkan kacang.
"Mengobservasi pemecahan kacang oleh simpanse Bossou di banyak kesempatan, sangat menarik melihat simpanse Nimba berinteraksi dengan material yang sama tanpa pernah memecahkan sebiji kacang," jelas Koops kepada AFP, dikutip Selasa (25/1).
Penelitian tersebut, yang diterbitkan pada Senin di jurnal Nature Human Behaviour mengatakan pemecahan kacang mungkin faktanya menjadi hasil budaya kumulatif, mirip dengan manusia.
Para peneliti mengakui kesulitan meneliti simpanse di alam liar, termasuk ketidakmampuan mengendalikan jumlah yang mendatangi lokasi mereka.
Antara 16 dan 53 ekor simpanse mendatangi setiap lokasi selama eksperimen tersebut dan spesialis perilaku primata, Profesor Gisela Kaplan, yang tidak terlibat dalam penelitian, mempertanyakan apakah jumlah itu cukup untuk membuat kesimpulan.
"Sebagaimana dalam masyarakat manusia: jumlah inovator relatif kecil di dunia hewan dan ekspresi inovasi juga tergantung pada banyak kondisi sosial dan ekologi dan tekanan," jelas Kaplan, profesor emeritus perilaku hewan di Universitas New England, Australia.
Penulis penelitian mengakui ada kemungkinan penjelasan lain terkait perilaku pasif simpanse tersebut, termasuk kemungkinan mereka tidak termotivasi untuk makan kacang.
Tetapi karena simpanse di daerah tetangga memakan kacang, mereka menganggap tidak mungkin populasi Nimba tidak tertarik pada sumber makanan baru.
Koops mengatakan keterlibatan simpanse "komunitas liar berukuran normal" dan lamanya percobaan memberikan wawasan.
"Tentu saja akan menarik untuk menguji komunitas tambahan," ujarnya.
Tetapi temuan sejauh ini menunjukkan mungkin ada "kesinambungan yang lebih besar antara simpanse dan evolusi budaya manusia daripada yang biasanya diasumsikan."
(mdk/pan)