"Saya Tahu Apa yang Kami Lakukan di Gaza", Kisah Tentara Israel Menolak Kembali Bertempur karena Alasan Mengejutkan
"Saya Tahu Apa yang Kami Lakukan di Gaza", Kisah Tentara Israel Menolak Kembali Bertempur
Sejumlah tentara Israel mengaku tidak mau lagi bertempur di Gaza karena berbagai tindakan keji yang dilakukan rekan-rekannya.
- Tentara Israel Mengaku Sudah Lelah Berperang di Gaza, Menolak Bertugas Karena Tak Ada Kepastian Kapan Pulang
- Tentara Israel Mengaku Jika Merasa Bosan Mereka Tembaki Warga Palestina di Gaza Sesuka Hati, Biarkan Mayat-Mayat Berserakan di Jalan
- Tentara Israel Ancam Lakukan Kudeta Militer Jika Perang di Gaza Dihentikan, "Kami Kehilangan Segalanya, Kami Tidak Punya Tempat Tujuan"
- Israel Umumkan Tarik Mundur Ribuan Pasukan dari Gaza, Ternyata Ini Alasannya
"Saya Tahu Apa yang Kami Lakukan di Gaza", Kisah Tentara Israel Menolak Kembali Bertempur karena Alasan Mengejutkan
Tiga tentara cadangan Israel yang terlibat dalam genosida di Gaza menggambarkan bagaimana tindakan mereka selama bertugas.
Mereka mengaku kerap memasuki rumah-rumah warga Gaza tanpa alasan, mencuri, lalu membakar, membunuh, menembak anak-anak, dan bahkan membunuh tawanan mereka sendiri.
Tindakan-tindakan keji ini, menurut kesaksian mereka, membuat mereka akhirnya memutuskan mundur dari militer.
Ini adalah kisah yang sudah tidak asing lagi: tentara Israel secara terbuka mengakui perbuatan mereka menembak untuk membunuh dan menghancurkan semua yang menghalangi mereka. Di tengah genosida yang sedang berlangsung, kekejaman ini terjadi secara langsung dan tanpa henti.
Awal bulan ini, enam tentara Israel memberikan kesaksian yang mengerikan saat mereka menceritakan bagaimana rekan-rekan mereka secara
rutin mengeksekusi warga sipil Palestina untuk melepaskan rasa frustrasi yang terpendam atau menghilangkan kebosanan.
Bagi paramedis militer Israel Yuval Green, perintah untuk membakar sebuah rumah adalah titik kritis yang membuatnya mengakhiri tugasnya.
Awal tahun ini, Green menghabiskan 50 hari di Khan Younis, sebuah kota di Gaza selatan, bersama unit penerjun payungnya. Mereka tidur di sebuah rumah yang hanya diterangi oleh lampu bertenaga baterai di tengah reruntuhan dan kehancuran.
Green mulai mempertanyakan misi unit tersebut beberapa bulan sebelumnya ketika ia mengetahui penolakan "Israel" untuk memenuhi tuntutan Hamas mengakhiri perang dan membebaskan tawanan.
Green adalah salah satu dari tiga tentara cadangan Israel yang mengatakan kepada The Observer bahwa mereka tidak akan kembali jika dipanggil untuk dinas militer di Gaza.
Kemudian, awal tahun ini, kata dia, “Kami diberi perintah. Kami berada di dalam sebuah rumah dan komandan kami memerintahkan kami untuk membakarnya.”
Ketika dia membahas masalah itu kepada komandan kompinya, dia mengatakan, “Jawaban yang dia berikan kepada saya tidak cukup baik. Saya berkata: ‘Jika kita melakukan semua ini tanpa alasan, saya tidak akan ikut lagi.’ Saya pergi keesokan harinya.”
Hingga kini serangan Israel di Gaza telah menewaskan sedikitnya 39.000 hingga 186.000 warga Palestina, terutama anak-anak dan perempuan. Ribuan lainnya diyakini terkubur di bawah reruntuhan, dengan sedikitnya 90.000 orang terluka, dan sebagian besar dari 2,3 juta penduduk Gaza mengungsi secara paksa.
Ketiga prajurit tersebut menyebutkan motivasi yang berbeda-beda atas keputusan mereka untuk tidak bertugas di Gaza lagi, mulai dari ketidakpuasan dengan cara militer Israel melakukan perang hingga frustrasi dengan keengganan pemerintah untuk menyetujui kesepakatan yang dapat mengakhiri pertempuran.
Ketiga prajurit cadangan yang berbicara di depan umum tentang keengganan mereka untuk kembali bertugas ini mewakili minoritas, sebagian karena penolakan militer di "Israel" secara umum dianggap ilegal.
Bulan lalu, 41 prajurit cadangan menandatangani surat terbuka yang menyatakan mereka tidak akan lagi bertugas dalam serangan militer di kota Rafah di selatan Gaza.