Seperti Apa Rasanya Hidup di Bawah Kekuasaan Militer?
Ini bukan kali pertama kudeta militer terjadi di Myanmar atau disebut juga Birma. Malah bagi banyak warga, peristiwa ini mengingatkan kembali masa-masa di tahun 1980-an.
Dua hari sejak militer Myanmar melancarkan kudeta dan menahan pemimpin sipil Aung San Suu Kyi.
Ini bukan kali pertama kudeta militer terjadi di Myanmar atau disebut juga Birma. Malah bagi banyak warga, peristiwa ini mengingatkan kembali masa-masa di tahun 1980-an.
-
Kapan HUT Kodam Jaya diperingati? Setiap tanggal 24 Desember diperingati HUT Kodam Jaya.
-
Kenapa UMKM penting? UMKM tidak hanya menjadi tulang punggung perekonomian di Indonesia, tetapi juga di banyak negara lain karena kemampuannya dalam menciptakan lapangan kerja dan mendorong pertumbuhan ekonomi.
-
Kapan R.A.A Kusumadiningrat memimpin? Sebelumnya, R.A.A Kusumadiningrat sempat memerintah pada 1839-1886, dan memiliki jasa besar karena mampu membangun peradaban Galuh yang cukup luas.
-
Kapan Umbul Manten ramai dikunjungi? Pada saat menjelang Bulan Ramadan, Umbul Manten sering dijadikan lokasi padusan.
-
Bagaimana KM Soneta tenggelam? Saat kejadian kondisi ombak sedang besar setinggi 2,5 meter dengan angin kencang dan arus deras. Sebanyak sembilan ABK yang terombang ambing diselamatkan oleh kapal KM Bintang Barokah yang sedang melintas.
-
Kapan Rafathar potong rambut? 3 Namun, ternyata Raffi dan Nagita ingin anak mereka tampil berbeda menjelang Hari Raya Idul Fitri yang tidak lama lagi.
"Rasanya seperti deja vu, seolah kita kembali ke awal lagi," kata seorang warga Myanmar berusia 25 tahun kepada BBC.
Wai Wai Nu masih berusia lima tahun ketika ayahnya ditangkap di depan matanya, dibawa ke dalam truk dan pergi meninggalkannya.
Ayahnya seorang aktivis politik yang menjadi rekan pemimpin sipil Aung San Suu Kyi.
Ayahnya memang kemudian dibebaskan setelah ditahan selama sebulan, tapi hingga kini Wai Wai Nu masih mengingat apa yang dia rasakan hari itu.
"Saya tumbuh dewasa dengan penuh ketakutan," kata dia, seperti dikutip BBC, Rabu (3/2). "Sewaktu kecil saya selalu takut. Tentara di mana-mana dan saya masih mengingat bagaimana ayah dibawa pergi dari hadapan saya. Saya masih ingat ketika kami memasang earphone dan mendengarkan radio pelan-pelan."
Wai Wai--seorang etnis Rohingya, kelompok masyarakat yang paling ditindas di Myanmar, mengatakan ayahnya selalu diburu.
Ketika dia berusia 10 tahun, keluarganya memutuskan untuk pindah ke Ibu Kota Yangon (Rangoon).
"Saya merasakan sedikit kebebasan di Yangon," kata dia. "Di Rakhine, mayoritas warga adalah Rohingya, tapi di Yangon lebih multietnis dengan berbagai bahasa. Tapi di Yangon banyak orang tidak tahu apa yang terjadi dengan kaum etnis minoritas."
Kala itu kehidupan tampaknya cukup normal bagi Wai Wai Nu.
"Kami pergi sekolah lalu pulang. Di sekolah kami selalu kedatangan jenderal-jenderal dan menghormati mereka. Sistem pendidikannya sederhana, propaganda militer."
Tapi ketika dia sudah berusia 18 tahun, ayahnya kembali dicari dan seluruh keluarganya dijebloskan ke penjara dan mereka mendekam selama tujuh tahun.
Kesalahannya? Karena dia anak seorang aktivis politik.
Setelah dibebaskan, dia kuliah di universitas dan kini bekerja sebagai kativis HAM, membela hak-hak kesetaraan bagi kaum perempuan dan etnis Rohingya.
"Ketika saya dibesarkan, Rakhine itu negara bagian yang miskin tapi tidak buruk, orang di sana masih bisa berjual-beli. Tapi sekarang lain."
Suara orang menguping di telepon
Phyo (bukan nama sebenarnya) punya pengalaman yang lain lagi.
Phyo berasal dari keluarga yang lebih berada. Dia lahir di Yangon dan selama 25 tahun dia ditutup-tutupi atas apa yang terjadi luar sana.
Tapi ketika dia masih kecil, dia ingat sesuatu.
"Kalau kita bicara di telepon, kita bisa mendengar seperti ada latar suara-suara--ada suara orang sedang menonton televisi atau orang mengobrol. Tentara sedang mendengarkan percakapan kita."
"Itu menakutkan karena ketika kita lahir tumbuh dewasa dengan kondisi seperti itu, kita tidak punya alternatif, tapi orangtua kami bilang jangan berbicara di telepon."
Phyo lahir pada 1995, tiga tahun setelah diktator militer Than Shwe naik ke tampuk kekuasaan. Phyo menyebut tahun ketika dia lahir adalah "masa-masa kejayaan kekuasaan militer setelah revolusi '88".
Di sekolah, kata dia, kurikulum sangat diatur selektif tentang apa yang diajarkan.
"Mereka tidak mengajarkan hal yang sensitif. Misalnya kalau di AS mereka mengajarkan kritik terhadap situasi politik, maka kami diajarkan untuk membaca kisah lengkap hikayat Buddha," kata dia. "Atau kita belajar tentang betapa hebatnya raja-raja Birma sampai akhirnya kita dijajah Inggris."
Inggris menjajah Birma dari 1824 hingga 1948.
Phyo mengaku dirinya tidak tahu soal politik yang terjadi di negerinya sampai usianya menginjak 12 tahun.
"Saya masih ingat ketika hari ulang tahun ke-12 saat itulah terjadi Revolusi Jingga," kata dia. "Pada saat itulah saya baru tersadar--selama ini kita hidup dalam kediktatoran."
Revolusi Jingga adalah serangkaian demo yang terjadi di Myanmar pada 2007 yang dilakukan oleh para biksu melawan rezim militer.
Para biksu di Myanmar yang mayoritas Buddha cukup dihormati, tapi banyak dari mereka dipenjara di masa demo itu dan ada laporan sedikitnya tiga biksu tewas oleh aparat keamanan.
"Saya melihat ada banyak demo di luar rumah dan suasana mencekam, tentara di mana-mana," kenang Phyo.
Di masa dia remaja ponsel masih jarang ada dan hanya mereka yang mampu yang memilikinya.
"Mereka membuat ponsel sangat mahal jadi tidak ada yang mampu membelinya. Waktu itu orang hanya punya telepon biasa dan sering ada lampu mati jadi kita tidak bisa menelepon siapa pun."
Phyo kemudian bisa kuliah di luar negeri dan dia menyadari betapa berbedanya kehidupan di negara Barat dibandingkan di Myanmar.
Pada pagi 1 Februari lalu Phyo terbangun pukul 06.00 dan ada banyak pesan masuk di ponselnya.
"Saya terbangun dan tiba-tiba semua pejabat pemerintahan ditangkapi," kata dia.
(mdk/pan)