Tatmadaw dan Penyiksaan Sistematis di Myanmar yang Terlalu Sadis untuk Diceritakan
Sejak melakukan kudeta pada Februari, militer Myanmar menyiksa para tahanan di seantero negeri secara sistemik dan metodis. Seperti ditemukan AP dalam wawancara dengan 28 tahanan yang dibebaskan baru-baru ini.
Tatmadaw dan Penyiksaan Sistematis yang Terlalu Sadis untuk Diceritakan
Sejumlah tentara di wilayah pedesaan Myanmar menyiksa seorang pemuda dan menendang dadanya sampai dia sulit bernapas. Lalu mereka mengejek keluarga pemuda itu sampai dia sakit hati.
-
Kapan Kodak bangkrut? Ya, perusahaan yang memiliki slogan “You press the button, we do the rest” itu pada tahun 2012 lalu dinyatakan bangkrut.
-
Kenapa Kue Tapel mirip Kue Leker? Cita rasa gurih, harum dan sedikit manis berpadu jadi satu di tiap porsinya. Belum lagi teksturnya cukup unik, yakni renyah di luar dan lembut di dalam, membuat Kue Tapel mirip kue leker.
-
Kapan Umbul Manten ramai dikunjungi? Pada saat menjelang Bulan Ramadan, Umbul Manten sering dijadikan lokasi padusan.
-
Kapan Raden Rakha lahir? Raden Rakha memiliki nama lengkap Raden Rakha Daniswara Putra Permana. Ia lahir pada 16 Februari 2007 dan kini baru berusia 16 tahun.
-
Kapan Rafathar potong rambut? 3 Namun, ternyata Raffi dan Nagita ingin anak mereka tampil berbeda menjelang Hari Raya Idul Fitri yang tidak lama lagi.
-
Kapan kapal Dinasti Ming tenggelam? Para arkeolog meyakini bangkai kedua kapal ini berasal dari periode yang berbeda dari Dinasti Ming, sekitar tahun 1368-1664.
"Ibumu, tidak bisa lagi menyelamatkanmu," kata mereka.
Pemuda itu dan kawannya ditangkap secara acak saat mereka mengendarai sepedanya sewaktu hendak pulang ke rumah. Mereka lantas menjadi sasaran penderitaan berjam-jam di dalam balai kota yang diubah militer menjadi pusat penyiksaan.
"Tidak ada istirahatnya, itu terus menerus," ujarnya, seperti dikutip dari laman The Associated Press (AP), Kamis (28/10).
"Saya hanya memikirkan ibu saya," lanjutnya.
Sejak melakukan kudeta pada Februari, militer Myanmar menyiksa para tahanan di seantero negeri secara sistemik dan metodis. Seperti ditemukan AP dalam wawancara dengan 28 tahanan yang dibebaskan baru-baru ini.
Berdasarkan bukti foto, sketsa, dan surat-surat, bersama dengan kesaksian dari tiga pejabat militer yang membelot, investigasi AP memberikan pandangan komprehensif terkait sistem penahanan yang sangat rahasia sejak kudeta. Junta militer telah menangkap lebih dari 9.000 orang. Militer Myanmar yang dikenal dengan nama Tatmadaw, dan polisi telah membunuh lebih dari 1.200 orang sejak kudeta 1 Februari.
Para tahanan mengungkapkan, sebagian besar penyiksaan terjadi di dalam markas militer, tapi Tatmadaw juga mengubah fasilitas publik seperti istana kerajaan dan lainnya menjadi pusat interogasi. AP menemukan belasan pusat interogasi yang digunakan di seluruh Myanmar, selain penjara dan ruang tahanan polisi, berdasarkan wawancara dan citra satelit.
Para tahanan berasal dari berbagai sudut di negara itu dan dari berbagai kelompok etnis, dan mulai dari gadis remaja 16 tahun sampai biksu. Beberapa ditahan karena unjuk rasa menentang militer, yang lainnya karena alasan yang tidak jelas. Sejumlah unit militer dan polisi terlibat dalam interogasi, metode penyiksaan yang mereka gunakan sama di seluruh Myanmar.
AP tidak menyebutkan nama para tahanan atau nama panggilan untuk melindungi mereka dari tindakan balasan militer.
Berdasarkan temuan investigasi AP, militer Myanmar memiliki sejarah panjang penyiksaan, khususnya sebelum negara itu mulai bertransisi menuju demokrasi pada 2010. Dalam beberapa tahun terakhir, penyiksaan sebagian besar ditemukan di wilayah-wilayah etnis, namun sekarang diberlakukan di seluruh negeri.
Teknik penyiksaan yang sebagian besar digunakan menurut para tahanan mirip dengan masa lalu termasuk pengurangan waktu tidur, makanan, dan air; setrum listrik; dipaksa melompat seperti kodok, dan dipukuli dengan tongkat bambu yang diisi adonan semen, tongkat, bogem, dan sepatu milik para tahanan.
Namun kali ini, penyiksaan yang dilakukan di dalam pusat interogasi dan penjara adalah yang terburuk yang pernah terjadi baik berdasarkan skala dan kekejamannya, menurut Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik (AAPP), yang memantau korban tewas dan penangkapan. Sejak Februari, AAPP mengatakan pasukan keamanan telah membunuh 1.218 orang, termasuk sedikitnya 131 tahanan yang disiksa sampai tewas.
Semakin brutal
Ko Bo Kyi dari AAPP dan juga mantan tahanan politik mengatakan, penyiksaan kerap dimulai di jalan atau di rumah para tahanan, dan beberapa meninggal bahkan sebelum tiba di pusat interogasi.
"Militer menyiksa para tahanan, pertama untuk balas dendam, lalu demi informasi," ujarnya.
"Menurut saya militer bahkan menjadi jauh semakin brutal," lanjutnya.
Militer juga berusaha menyembunyikan bukti penyiksaan. Seorang ajudan pejabat tinggi militer di negara bagian Chin mengatakan kepada AP, tentara menutup-nutupi kematian dua tahanan yang disiksa, memaksa dokter militer memalsukan laporan otopsi.
Seorang mantan kapten angkatan darat yang membelot dari Tatmadaw, Lin Htet Aung pada April mengonfirmasi ke AP, penyiksaan militer terhadap tahanan semakin tak terkendali sejak kudeta.
"Di negara kami, setelah ditangkap secara sewenang-wenang, ada penyiksaan, kekerasan, dan pelecehan seksual yang terjadi secara terus menerus," ungkap Aung.
Lin Htet Aung mengatakan taktik interogasi merupakan bagian pelatihan militer, yang melibatkan teori dan praktik. Dia dan para mantan kapten angkatan darat yang membelot baru-baru ini mengatakan pedoman umum dari atasan itu sederhana: Kami tidak peduli bagaimana caranya kalian mendapatkan informasi, sepanjang kalian mendapatkannya.
Setelah menerima permintaan rinci untuk mengomentari hal ini, pejabat militer Myanmar menanggapi hanya dengan satu kalimat dalam surelnya: "Kami tidak ada rencana untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tidak masuk akal ini."
Dalam dua kasus, penyiksaan digunakan untuk mendapatkan pengakuan palsu. Beberapa tahanan dipaksa menandatangani pernyataan berjanji untuk setia kepada militer sebelum mereka dibebaskan. Salah seorang perempuan menandatangani selembar kertas kosong.
Semua tahanan diwawancarai terpisah oleh AP. Mereka yang ditahan di pusat penahanan yang sama memberikan pengakuan terkait perlakuan dan keadaan yang sama, mulai dari metode interogasi sampai tata letak sel sampai makanan yang diberikan.
AP juga mengirim foto beberapa korban penyiksaan yang terluka ke ahli patologi forensik bersama Dokter untuk HAM. Ahli patologi menyimpulkan luka dari tiga korban mirip dengan pemukulan menggunakan tongkat atau balok.
"Ini bukan sekadar pukulan keras. Ini memiliki penampakan sesuatu yang sangat sistemastik dan penuh kekuatan," kata ahli patologi forensik, Dr. Lindsey Thomas.
Selain 28 tahanan, AP juga mewawancarai saudara perempuan seorang tahanan yang diduga disiksa sampai mati, keluarga dan teman tahanan saat ini, dan kuasa hukum yang mewakili para tahanan. AP juga memperoleh sketsa interior penjara dan pusat interogasi yang digambar para tahanan, dan surat-surat kepada keluarga dan teman yang menggambarkan kebengisan dan penyiksaan.
Foto-foto yang diambil di dalam beberapa penjara dan fasilitas interogasi mengonfirmasi terjadinya kelebihan kapasitas dan kondisi yang sangat buruk. Sebagian besar tahanan tidur di lantai beton, berdesak-desakan bahkan mereka tidak bisa menggerakkan kaki.
Beberapa jatuh sakit karena minum air yang kotor yang hanya tersedia dari sebuah toilet bersama. Yang lain harus buang air besar menggunakan kantong plastik atau ember yang digunakan bersama-sama. Kecoa mengerubungi badan mereka pada malam hari.
Perwatan medis sangat minim bahkan tidak ada sama sekali.
Virus juga menyebar di beberapa fasilitas dan jatuh korban jiwa. Seorang perempuan yang ditahan di Insein mengatakan virus corona menewaskan seorang rekan satu selnya.
"Saya terinfeksi. Seluruh asrama terinfeksi. Setiap orang kehilangan indera penciumannya," ujarnya.
"Mereka akan menyiksa kami sampai mereka mendapatkan jawaban yang mereka inginkan," kata seorang tahanan 21 tahun yang ditahan di pusat interogasi.
"Mereka selalu mengatakan kepada kami, 'Di sini di pusat interogasi militer, kami tidak punya hukum apapun. Kami punya senjata, dan kami bisa membunuh kalian dan melenyapkan kalian jika kami mau – dan tidak ada yang akan tahu.’"
Sembunyikan bukti penyiksaan
Para tahanan yang disiksa tewas ketika tentara mulai meneteskan glukosa pada mayat mereka agar terlihat seperti mereka masih hidup, kata seorang pembelot militer kepada AP. Itu adalah salah satu dari banyak contoh yang ditemukan AP tentang bagaimana militer berusaha menyembunyikan penyiksaannya.
Penyiksaan tersebar luas di seluruh sistem penahanan, kata Sersan Hin Lian Piang, yang menjabat sebagai wakil Komandan Wilayah Barat Laut sebelum membelot pada bulan Oktober.
“Mereka menangkap, memukul dan menyiksa terlalu banyak,” ujarnya. "Mereka melakukannya kepada semua orang yang ditangkap."
Pada Mei, Hin Lian Piang menyaksikan tentara menyiksa dua tahanan sampai tewas di pusat interogasi di negara bagian Chin. Tentara memukuli dua pria, menghantam mereka dengan senjata, dan menendang mereka.
Setelah dua pria itu dipindahkan ke penjara, mereka meninggal.
"Mereka memaksa dokter militer di Kalay menulis laporan biopsi di dada bahwa mereka meninggal karena masalah kesehatan mereka," ungkap Lian Piang.
"Lalu jasad mereka langsung dikremasi."
Lian Piang mengungkapkan, perintah langsung untuk menutupi penyebab kematian dua pria itu datang dari Komandan Operasi Taktik, Kolonel Saw Tun dan Wakik Komandan Brigjen Myo Htut Hlaing, dua pejabat tinggi militer yang bertugas di Chin. AP meminta konfirmasi terkait hal ini kepada militer namun tidak ada jawaban.
Menurut salah satu pendiri kelompok HAM Fortify Rights, Matthew Smith, militer mungkin berusaha menghapus bukti dari penyiksaan yang dilakukan. Menurutnya ini adalah teknik yang telah digunakan para diktator sejak lama.
"Saya meyakini yang pemerintah berusaha lakukan setidaknya untuk menciptakan keraguan atas tuduhan para penyintas atau orang atau kelompok HAM atau jurnalis atau pemerintah yang mungkin akan menuduh mereka," jelasnya.
Seorang tahanan lainnya, Kyaw, mengatakan dia disiksa selama beberapa hari dan dibebaskan hanya setelah menandatangani sebuah pernyataan bahwa dia sama sekali tidak pernah disiksa.
Sebanyak 100 tahanan lainnya tiba di fasilitas itu saat Kyaw masih di sana. Beberapa wajah mereka tak bisa dikenali karena dipukul, mereka terlihat tidak lagi seperti manusia. Beberapa tidak bisa jalan. Salah seorang tahanan mengatakan kepada Kyaw, tentara memperkosa putrinya dan iparnya di depan matanya.
Kyaw akhirnya dibebaskan setelah dia menyogok pejabat militer sekitar ribuan dolar. Pejabat tersebut kemudian menyuruhnya menandatangani sebuah pernyataan bahwa militer tidak pernah meminta suap atau menyiksa siapapun. Pernyataan itu juga memperingatkan jika dia berunjuk rasa lagi, dia akan dipenjara sampai 40 tahun.
Kyaw tidak tahu apakah kawan-kawannya masih hidup. Tapi dia berjanji akan tetap melanjutkan kegiatan aktivisnya walaupun harus melanggar janji ke ibunya.
"Saya sampaikan ke ibu saya bahwa demokrasi adalah sesuatu yang harus kita perjuangkan," ujarnya.
___
Dari para tahanan yang diwawancara AP, belasan merupakan perempuan dan anak-anak, sebagian besar mereka disiksa. Sementara para tahanan pria mengalami penyiksaan fisik yang lebih parah, para perempuan kerap mengalami penyiksaan psikologi, khususnya ancaman pemerkosaan.
Su (16) mengingat dia berlutuh dengan tangannya di udara ketika seorang tentara memperingatkan, “Bersiaplah untuk giliranmu.”
Seorang gadis lainnya, sekitar 13 tahun, terus menerus menangis dan pingsan sedikitnya enam kali sehari pada hari mereka ditahan.
Petugas penjara meminta Su jangan pernah mengungkapkan apa yang terjadi di dalam penjara. Dia diminta menceritakan para petugas bersikap baik.
"Apanya yang baik?" kata Su.
Su sebelumnya tidak pernah jauh dari orang tuanya. Sekarang dia dilarang bahkan untuk menghubungi keluarganya, dan tidak tahu kedua kakeknya telah meninggal.
"Segera setelah saya bebas, saya harus meminum obat tidur selama hampir tiga bulan," ujarnya.
“Saya menangis setiap hari.”
Di dalam pusat interogasi Shwe Pyi Thar di Yangon, para perempuan ketakutan setiap malam, ketika para tentara mabuk dan mendatangi sel mereka.
"Kalian tahu kan kalian di mana” kata para tentara kepada mereka.
"Kami bisa memperkosa dan membunuh kalian di sini.”
Ketakutan para perempuan ini sangat beralasan. Militer sejak lama menggunakan pemerkosaan sebagai senjata perang, khususnya terhadap kelompok etnis. Selama tindakan keras militer terhadap warga muslim etnis Rohingya di 2017, militer memperkosa sekumpulan perempuan dan anak gadis.
"Bahkan jika mereka tidak memperkosa kami secara fisik, saya merasa seperti kita semua diperkosa secara verbal hampir setiap hari karena kami harus mendengar ancaman-ancaman mereka setiap malam," jelas Cho, seorang aktivis yang ditahan bersama suaminya.
Kembali ke dalam balai kota di wilayah pedesaan Myanmar, pemuda itu menceritakan selnya dihuni 33 orang. Setiap inci lantai telah ditempati, dan dia tidur berjongkok di sebelah toilet.
Setelah dua hari, keluarganya membayar untuk mengeluarkannya dari penjara. Dia dan temannya dipaksa menandatangani pernyataan mengatakan mereka ikut demo dan sekarang akan setia terhadap aturan militer.
Di rumahnya, ibunya memandangnya dan menangis. Selama sebulan setelahnya, kaki dan tangannya terus menerus bergetar. Bahkan saat ini, pundak kanannya sulit digerakkan.
Dua bulan setelah dibebaskan, dia menyadari diikuti tentara. Ketika matahari terbenam, dia diam di dalam rumah.
"Setelah mereka menangkap kami, saya tahu hati dan pikiran mereka tidak seperti manusia, tidak seperti kita," ujarnya.
"Mereka monster."
(mdk/pan)