Warga Negara Ini Masih Berada di Tahun 2017, Bukan 2024 Seperti Negara Lain, Begini Sejarahnya
Hal ini didasarkan pada sejarah yang telah berlangsung selama berabad-abad serta semangat nasionalisme yang mendalam.
Pada 11 September lalu, warga Ethiopia merayakan penutupan tahun dan menyambut tahun baru. Tidak salah lagi, Ethiopia merayakan tahun barunya di bulan September. Menariknya, negara di Afrika Timur ini baru memasuki tahun 2017 menurut kalender Ethiopia.
Lantas, bagaimana hal ini bisa terjadi?
-
Apa perbedaan utama antara kalender Ethiopia dengan kalender yang digunakan di negara lain? Pasalnya, Ethiopia memiliki kalender dan sistem penanggalannya sendiri.
-
Bagaimana orang Ethiopia menghitung kalender mereka? Kalender negara ini menggunakan hari lahir Tuhan Yesus sebagai titik awal untuk perhitungan mereka. Orang Ethiopia menyebut metode yang digunakan untuk menghitung kalender Bahere Hasab, atau ‘lautan pikiran’.
-
Dimana Ethiopia berada di benua Afrika? Negara yang terletak di bagian paling timur daratan Afrika ini memang bisa dibilang berbeda dari negara lainnya.
-
Dimana kalender kuno tersebut ditemukan? Awal tahun ini, sejumlah artefak yang mencakup potongan kayu dan beragam item lainnya ditemukan di sebuah makam di distrik Wulong, yang terletak sekitar 870 mil (1.400 kilometer) barat daya Beijing.
-
Kenapa kalender kuno tersebut dimakamkan? Dalam pandangannya, ini bukan sekadar ‘buku’ melainkan objek yang digunakan untuk menyoroti suatu tahun tertentu.
-
Siapa yang memperkenalkan kalender Jawa? Kalender ini diperkenalkan oleh Sultan Agung dari Kesultanan Mataram pada tahun 1633 sebagai upaya untuk menyatukan berbagai sistem penanggalan yang ada di Nusantara, terutama kalender Hindu-Saka dan kalender Islam.
Semua ini berakar dari tradisi nasional yang telah ada selama berabad-abad dan semangat nasionalisme yang kuat.
Seperti yang dilaporkan oleh CNN, Ethiopia mengakui tahun kelahiran Yesus Kristus atau Isa Almasih tujuh hingga delapan tahun lebih lambat dibandingkan dengan kalender Gregorian, yang dikenal sebagai kalender "Barat" dan diperkenalkan oleh Paus Gregorius XIII pada tahun 1582.
Para ahli menjelaskan bahwa Gereja Roma mengubah perhitungannya pada tahun 500 M, sementara Gereja Ortodoks Ethiopia memilih untuk tetap menggunakan tanggal yang lebih kuno. Walaupun banyak negara lain telah mengadopsi kalender Gregorian, Ethiopia tetap setia pada kalender tradisionalnya.
"Kami unik," ungkap Eshetu Getachew, CEO Rotate Ethiopia Tours And Travel. "Kami [tidak] pernah dijajah. Kami memiliki kalender sendiri. Kami memiliki alfabet kami sendiri. Kami memiliki tradisi budaya kami sendiri." Dengan pernyataan tersebut, Eshetu menegaskan identitas dan keunikan budaya Ethiopia yang tetap terjaga meskipun dunia telah berubah.
Kalender Ethiopia memiliki sejarah yang unik dan menarik
Diperkirakan telah ada sejak lebih dari 1.500 tahun yang lalu, Kalender Ethiopia memiliki banyak kesamaan dengan Kalender Koptik yang digunakan oleh Gereja Ortodoks Koptik Alexandria, sebuah lembaga Kristen Ortodoks Oriental yang berlokasi di Mesir.
- Mengingatkan Generasi Muda Meneladani Perjuangkan Pahlawan dan Perkuat Nilai Nasionalisme
- Iduladha pada Zaman Kolonialisme Belanda, Warga Harus Bayar Pajak, kalau Menolak Hewan Kurban Dirampas Penjajah
- Kisah Pengorbanan Menteri Patriot di Balik Lomba Perahu Naga dan Bacang
- Sejarah Hari Pendidikan Nasional 2 Mei Lengkap Beserta Tujuan dan Maknanya
Kalender ini mengikuti siklus matahari dan bulan dengan total 13 bulan, di mana 12 bulan terdiri dari 30 hari, sedangkan bulan terakhir hanya memiliki lima hari, atau enam hari jika tahun tersebut merupakan tahun kabisat.
Banyak wisatawan yang datang ke Ethiopia sering kali merasa terkejut karena merasakan seolah-olah "kembali ke masa lalu." Beberapa dari mereka bahkan membagikan kebingungan mereka di media sosial. Di sisi lain, bisnis dan sekolah internasional yang beroperasi di negara ini umumnya mengikuti kalender Gregorian.
Oleh karena itu, banyak warga Ethiopia terpaksa menggunakan Kalender Ethiopia dan kalender Barat secara bersamaan.
"Ini sangat sulit," ungkap Goitom W. Tekle, seorang arkeolog Ethiopia yang kini tinggal di Jerman. "Saya masih belum bisa beralih ke salah satunya... Ini tantangan yang cukup besar. Saya perlu memikirkan jamnya, hari-harinya. Terkadang berbulan-bulan, dan terkadang bahkan setahun," tambahnya.
Dengan adanya perbedaan ini, masyarakat Ethiopia harus beradaptasi dengan dua sistem penanggalan yang berbeda, yang tentunya menambah kompleksitas dalam kehidupan sehari-hari mereka. Hal ini menciptakan tantangan tersendiri, terutama bagi mereka yang terlibat dalam interaksi dengan dunia luar.
Perbandingan antara Kalender Ethiopia dan Kalender Gregorian
Tekle menjelaskan bahwa beberapa lembaga harus terus-menerus beradaptasi antara dua sistem kalender yang berbeda, dengan mencantumkan tanggal dan waktu yang berbeda, terutama saat berinteraksi dengan warga Ethiopia, terutama yang tinggal di daerah pedesaan dan yang berada di luar negeri.
Proses yang sederhana seperti pengajuan akta kelahiran dapat menimbulkan kesulitan ketika mencoba mengintegrasikan sistem Ethiopia dengan sistem Barat.
“Misalnya, seorang bayi berusia tiga tahun, dan Anda mengajukan akta kelahirannya ke pemerintah kota atau pemerintah daerah,” ungkap sejarawan Jerman, Verena Krebs, yang memiliki spesialisasi dalam sejarah Eropa dan Afrika abad pertengahan.
“Kemudian Anda menyatakan berdasarkan sistem waktu Ethiopia, dan Anda harus berharap bahwa petugas melakukan konversi dengan benar. Jadi ada variabel-variabel tertentu yang bisa menyebabkan ulang tahun dicatat dua kali atau bahkan tiga kali,” tambahnya.
Situasi ini menunjukkan betapa kompleksnya integrasi antara dua sistem yang berbeda. Oleh karena itu, penting bagi institusi untuk memahami dan mengatasi tantangan ini agar pelayanan kepada masyarakat dapat berjalan dengan lebih lancar.
Negara-negara lain yang memiliki kalender unik
Krebs juga menyatakan bahwa kalender tradisional Ethiopia bukanlah satu-satunya sistem penanggalan yang berbeda. Ia mengacu pada kalender Mesir kuno, di mana tahun 2024 bersamaan dengan tahun 6266.
"Ini jelas merupakan cara yang sangat berbeda dalam menghitung waktu," ungkapnya.
Selain itu, Arab Saudi secara tradisional lebih mengutamakan kalender Hijriah, yang terdiri dari 12 bulan dengan total 354 hari. Namun, baru-baru ini, mereka juga menyetujui penggunaan kalender Masehi untuk keperluan resmi.
Di sisi lain, kalender Ibrani merupakan sistem penanggalan resmi yang digunakan di Israel. Krebs merasakan bahwa ketertarikan terhadap kalender Ethiopia telah meningkat dalam beberapa tahun terakhir.
Ia berpendapat bahwa fenomena ini mungkin berkaitan dengan kenyataan bahwa kalender tersebut "sangat dekat" dengan kalender Gregorian, meskipun terdapat perbedaan di antara keduanya. Minat yang tumbuh ini menunjukkan bahwa orang-orang semakin menyadari keberagaman sistem penanggalan yang ada di dunia. Hal ini juga mencerminkan bagaimana budaya dan tradisi dapat mempengaruhi cara kita memahami waktu.