Kisah Pengorbanan Menteri Patriot di Balik Lomba Perahu Naga dan Bacang
Di negeri asalnya, Peh Cun yang dirayakan setiap bulan kelima tanggal kelima dalam penanggalan Tiongkok, punya sejarah panjang dan makna filosofis yang dalam.
Nasihatnya diabaikan raja. Negara hancur lebur akibat menteri korup. Sang patriot pun memilih bunuh diri dalam kesedihan mendalam.
Kisah Pengorbanan Menteri Patriot di Balik Lomba Perahu Naga dan Bacang
Penulis: Arsya Muhammad
Festival Perahu Naga dirayakan setiap tahunnya. Kini tak cuma keturunan Tionghoa, kegiatan ini terbuka untuk seluruh masyarakat Indonesia. Seperti Pemerintah Kota Tangerang yang menggelar Festival Perahu Naga di Sungai Cisadane dari tanggal 2-16 Juni 2024.
Biasanya Festival Peh Cun ini diisi dengan aneka lomba, mulai dari menangkap bebek, mendirikan telur, makan bacang, hingga memandikan perahu dan pawai meriah.
-
Apa simbol perjuangan rakyat Indonesia? Bambu runcing adalah simbol perjuangan rakyat Indonesia melawan penjajah.
-
Siapa yang berjuang untuk Indonesia? Kata-kata ini membangkitkan semangat juang dan patriotisme dalam diri setiap pemuda Indonesia.
-
Mengapa Tangkuban Perahu terkenal? Tempat wisata ini tidak hanya populer di kalangan wisatawan lokal, tapi juga wisatawan dari luar negeri. Disebut Tangkuban Perahu karena bentuk gunung ini yang dikatakan seperti perahu yang terbalik.
-
Dimana perahu nelayan Indramayu dibuat? Terdapat beberapa titik lokasi pembuatan kapal, pertama di wilayah Karangsong, Pasekan dan di Kecamatan Indramayu.
-
Mengapa lomba Perahu Bidar dilakukan? Di samping lomba, terdapat pula pesta yang digelar para pejabat pemerintahan Belanda saat itu.
-
Siapa pahlawan Timnas Indonesia? Dalam laga yang berakhir imbang 1-1 di King Abdullah Sports City, Jeddah, Maarten Paes berperan sebagai pahlawan sekaligus penjahat.
Dulu perayaan Peh Cun sempat digelar di kali-kali Tionghoa di wilayah Batavia. Namun sejak terlalu dangkal, pada tahun 1900an, lomba perahu naga dipindah ke Sungai Cisadane di Tangerang.
“Untuk ini penduduk Jakarta pergi ke Tangerang dan merayakannya di atas kali Cisadane yang lebar,” tulis Nio Joe Lan, seorang penulis Tionghoa dalam bukunya Peradaban Tionghoa Selayang Pandang.
Di negeri asalnya, Peh Cun yang dirayakan setiap bulan kelima tanggal kelima dalam penanggalan Tiongkok, punya sejarah panjang dan makna filosofis yang dalam.
Tahun 340-278 sebelum masehi hiduplah seorang penyair legendaris, sekaligus menteri senior di kerajaan Tjou bernama Kut Goan. Saat itu merupakan masa penuh kekacauan di Tiongkok. Negara-negara saling berperang dan ingin menguasai satu sama lain. Ku Goan adalah seorang patriot. Dia bekerja keras mempertahankan kerajaan Tjou dari ancaman Tjin.
“Tjou adalah kerajaan terbesar, tetapi negara terkuat adalah Kerajaan Tjin,” tulis Nio Joe Lan.
Kalah oleh Menteri Korup
Pada saat Kut Goan menjadi menteri, posisi Kerajaan Tjou sedang lemah dan terancam. Kut Goan mengusulkan agar Tjou bersama negara-negara lain menjalin aliansi untuk melawan kekuatan Tjin.
Namun Kerajaan Tjin mencoba memutus aliansi enam negara dengan segala tipu daya. Raja Tjin pun pura-pura berbaik hati pada Raja Tjou, Thou Huai Ong. Kut Goan sekuat tenaga mengingatkan raja akan tipu daya Tjin. Namun apa daya, Tjin ternyata menyogok menteri-menteri lain yang korup, sekaligus permaisuri Tjou.
Nasihat Kut Goan diabaikan sang raja. Dia pun dijauhkan dari samping raja agar tidak bisa memberikan nasihat lagi.
Puncaknya Raja Tjou berhasil diperdaya untuk mengunjungi Istana Kerajaan Tjin. Di sana Tjou Huai Ong ditawan. Tak lama kemudian Kerajaan Tjin menyerang dan memporak-porandakan Kerajaan Tjou.
Kut Goan yang tengah berada di pengasingan, tak henti-hentinya menangis melihat negeri yang dicintainya hancur. Dalam keputusasaan dan duka mendalam, dia memeluk sebuah batu dan melompat ke dasar sungai.
Orang-orang yang berada di situ kaget. Mereka ramai-ramai naik perahu hendak menolongnya. Namun mereka terlambat, jenazah Kut Goan tak pernah ditemukan.
Supaya jenazahnya tidak rusak dimakan oleh hewan air, masyarakat yang amat mencintai Kut Goan kemudian melemparkan beras yang dibungkus oleh batang bambu. Di kemudian hari batang bambu, berganti menjadi daun. Inilah awal mula makanan Bacang yang sangat populer.
“Untuk memperingati Kut Goan, tiap tahun rakyat berduyun-duyun pergi ke sungai. Kebiasaan ini kemudian beralih menjadi pesta di atas air, yang sampai sekarang kita kenal sampai sekarang,” tulis Nio, sastrawan legendaris Tionghoa itu.
Festival tersebut dinamakan Peh Cun, Marcus AS dalam buku Hari Hari Raya Tionghoa menyebutkan Peh artinya dayung, Cun artinya perahu. Arti harfiahnya kira-kira Lomba Mendayung Perahu.
Kini perahu-perahu dihias dengan indah. Kemeriahan mewarnai perayaan Peh Cun setiap tahunnya. Dulu di masa Orde Baru berkuasa, pemerintah melarang adanya perayaan festival atau hari raya Tionghoa. Selama puluhan tahun Peh Cun pun tak bisa dirayakan.
Kini Lomba Perahu Naga menjadi salah satu kekayaan budaya di Indonesia. Presiden Jokowi pun sempat naik perahu naga saat meresmikan Bendungan Ladongi di Kabupaten Kolaka Timur, Sulawesi Tenggara, 28 Desember 2021 lalu.
“Tadi saya mencoba memakai perahu, mendayung, karena memang arahnya waduk ini juga bisa dipakai sebagai tempat wisata, sehingga ini menjadi tanggung jawab kabupaten maupun provinsi untuk mengembangkannya,” pesan Jokowi.
Begitu pula bacang, makanan ini mudah ditemui di mana saja. Isinya sekarang tentu tak hanya daging babi seperti awalnya di Tiongkok.
Bacang berisi daging sapi dan daging ayam adalah salah satu kuliner peranakan yang sangat digemari di Indonesia.