Ketika Suluh Indonesia Merajai Pers Indonesia
Tidak kaku sebagai media milik partai politik, Suluh Indonesia melesat ke tangga nomor satu media nasional pada era 1960-an.
Tidak kaku sebagai media milik partai politik, Suluh Indonesia melesat ke tangga nomor satu media nasional pada era 1960-an.
Penulis: Hendi Jo
-
Bagaimana KEK Singhasari memanfaatkan sejarah? Keunggulan lain dari KEK Singhasari yakni adanya sektor pariwisata dengan tema heritage and sejarah. Hal ini dilatarbelakangi nilai situs sejarah kerajaan Singhasari.
-
Siapa yang meneliti sejarah Sidoarjo? Mengutip artikel berjudul Di Balik Nama Sidoarjo karya Nur Indah Safira (Universitas Nahdlatul Ulama Sidoarjo, 2000), Kabupaten Sidoarjo terkenal dengan sebutan Kota Delta yang merujuk pada sejarah daerah ini yang dulunya dikelilingi lautan.
-
Di mana sejarah terasi dapat ditelusuri? Sejarah terasi di kawasan Cirebon dapat ditelusuri hingga masa kekuasaan Pangeran Cakrabuana, yang memainkan peran penting dalam perkembangan kawasan tersebut.
-
Bagaimana sejarah Waduk Sempor? Waduk Sempor diresmikan pada 1 Maret 1978 yang ditandai dengan adanya prasasti bertanda tangan Presiden Soeharto. Semula, waduk ini difungsikan sebagai sumber pengairan bagi sejumlah kompleks persawahan di sekitarnya. Namun lambat laun waduk itu menjadi destinasi wisata baru bagi warga sekitar.
-
Di mana warugan lemah tercatat dalam sejarah? Dalam catatan sejarah, naskah itu sudah ada sejak 1846 dan dikenalkan oleh Bupati Bandung, Wiranatakusumah IV kepada Masyarakat Batavia. Namun diduga pembuatannya sebelum runtuhnya Kerajaan Padjajaran, sekitar tahun 1400-an masehi.
-
Bagaimana Asisi Suharianto menyajikan kisah-kisah sejarah? Asisi dan sang istri pun mendapatkan pengalaman luar biasa selama keliling dunia. Keduanya bertemu dengan saksi mata maupun para korban perang masa lalu di beberapa negara.
TANGAN lelaki sepuh itu terlihat agak gemetar. Namun perlahan dia tetap meraih sebuah album yang ada di meja. Sembari sesekali membersihkan debu yang meliputi foto-foto tua itu, mulutnya tak berhenti membicarakan masa lalu.
"Ini saya waktu bertemu (Josip Broz) Tito di Yugoslavia," ungkapnya sambil tersenyum.
Satya Graha adalah pemimpin redaksi (pemred) terakhir Suluh Indonesia (Sulindo). Itu nama koran yang dikelola Penerangan Propaganda Partai Nasional Indonesia (Penprop PNI). Awal 1960-an bisa dikatakan sebagai masa-masa Sulindo berjaya. Menurut Satya, saat itu tirasnya stabil di angka 150 ribu-350 ribu eksemplar perhari.
"Memang tidak serta merta begitu. Perjuangan kami panjang," ujar lelaki kelahiran Blitar pada 5 Agustus 1931 tersebut.
Awal 1950-an, suasana ketar-ketir meliputi elit PNI. Kendati pemilihan umum hanya tinggal beberapa tahun lagi, namun sebagai salah satu kontestan pesta demokrasi 1955, mereka sama sekali belum memiliki sebuah 'corong'. Situasi berbeda terjadi pada partai lain: Masyumi siap tempur dengan Abadi-nya, PSI percaya diri dengan Pedoman-nya, NU dengan Duta-nya dan PKI sudah bersiap dengan Harian Rakjat-nya.
Tetapi ketua umum PNI Sidik Djojosukarto, tak mau berlama-lama dengan situasi tersebut. Secara cepat dia menugaskan dua kader senior PNI, M. Tabrani dan Sayuti Melik, untuk membuat sebuah surat kabar bernama Sulindo. Rekrutmen pun dilakukan. Sebagai pemimpin redaksi, Sajuti lantas mengambil Satya Graha sebagai redaktur pelaksana.
Pada 1 Oktober 1953, Sulindo nomor perdana terbit dengan empat halaman. Kendati terkesan masih sederhana, namun partai memutuskan untuk mencetaknya dengan jumlah gila-gilaan: 75.000 eksemplar. Distribusi dilakukan via dua cara: melalui agen-agen surat kabar dan lewat cabang-cabang PNI di pelosok. Nomor perdana itu langsung ludes, namun tanpa disertai untung karena mayoritas peminat mengambilnya begitu saja.
"Ya maklum saja, kaum marhaen ini kan bacanya mau, tapi bayarnya susah," ujar Satya sambil terkekeh.
Saat detik-detik Pemilu 1955 tiba, oplah Sulindo terus digenjot hingga angka 150 ribu eksemplar. Seiring dengan peningkatan kuantitas, kualitas tulisan pun lebih ditingkatkan. Corak PNI terus dikentalkan dalam setiap pemberitaan. Hasilnya, PNI menjadi kampiun dalam pemilu pertama di Indonesia itu.
Perombakan dilakukan usai Pemilu 1955. Posisi Sayuti Melik sebagai pemred digantikan oleh M.Supardi, eks pendiri koran Nasionalis. Kepindahan Supardi ternyata “membawa gerbong” berjumlah 10 orang. Sang redaktur pelaksana Satya Graha tentu saja merasa senang dengan adanya tenaga segar itu.
Supardi ternyata hanya saru tahun saja menjadi pemred Sulindo. Giliran Manai Sophian tampil. Itu pun tidak lama juga. PNI tetiba menggantinya dengan Jusuf Muda Dalam Berbeda dengan pengangkatan Supardi dan Manai yang tanpa gejolak, saat Jusuf didapuk sebagai pemred, Satya melakukan protes keras kepada Ketua Umum PNI.
"Pak Sidik, tidak salah mengangkat dia sebagai pemred?" tanya Satya Graha.
"Memang ada apa dengan Jusuf?" ujar Sidik malah balik bertanya.
"Sepengetahuan saya dia itu dulu pernah menjadi anggota penting di Partai Komunis Belanda …" jawab Satya Graha.
"Ah…Kamu ini Satya, ketinggalan berita…"
"Maksud Pak Sidik?"
"Dia itu kan sudah lama tobat, saya jamin dia tidak akan ngapa-ngapain kok…"
Satya pun tak bisa berbuat apa-apa. Tahun 1957, Jusuf Muda diganti oleh Mohamad Isnaeni, tokoh muda sekaligus anggota parlemen dari PNI. Seiring pengangkatan tersebut, posisi Satya Graha naik menjadi wakil pemimpin redaksi (wapemred). Saat ada dalam posisi inilah, Satya membentuk Berita Minggu (BM), tabloid mingguan yang masih merupakan anak media Sulindo.
"Saya lakukan itu supaya mengurangi beban keuangan partai, saya atur BM menjadi mesin uang buat Sulindo…" ujarnya.
BM tampil dalam perwajahan yang sangat ciamik. Bukan saja lay-out-nya, isi pemberitaan dan tulisannya pun dirancang sepopuler mungkin. Kriminal, kehidupan anak muda dan seks adalah tema-tema yang mendapat porsi utama. Sisanya baru berita politik dan sosial.
"Itu pun ditulis secara ringan saja," ungkap Satya.
Kiat Satya ternyata berjaya. Di seluruh Indonesia, BM menjadi media yang ditunggu oleh ratusan ribu pembacanya. Otomatis dengan situasi tersebut, para pengiklan pun banyak yang masuk.
"Kami sampai menolak sebagian pengiklan yang tak sempat bisa kami tampung," kenang eks Pemred BM tersebut.
Keberhasilan BM tentu saja mempengaruhi eksistensi Sulindo secara langsung. Secara cerdas, Satya membuat aturan kepada para distributor: jika membeli 10 tabloid BM maka harus pula membeli satu eksemplar Sulindo. Nama PNI pun semakin melambung.
(mdk/noe)