Mengenal Feng Shui Asli Budaya Sunda, Gambarkan Baik Buruknya Pola Permukiman Masyarakat
Ini akan menentukan baik atau buruknya warga yang mendiami suatu lahan permukiman.
Ini akan menentukan baik atau buruknya warga yang mendiami suatu lahan permukiman.
Mengenal Feng Shui Asli Budaya Sunda, Gambarkan Baik Buruknya Pola Permukiman Masyarakat
Selama ini Feng Shui identik dengan budaya Tionghoa. Pengertiannya adalah berkaitan dengan ilmu untuk mengatur mata angin yang membawa hal baik dalam kehidupan sehari-hari. Namun ternyata leluhur Sunda turut memiliki ilmu ini bernama Warugan Lemah.
-
Apa tujuan Fengshui? Fengshui merupakan ilmu yang mengatur keseimbangan kehidupan manusia dengan lingkungan sekitarnya. Bagaimana penerapan fengshui yang benar agar rumah mendatangkan rezeki dan kebahagiaan bagi penghuninya?
-
Apa itu tatarucingan Sunda? Tatarucingan adalah permainan tradisional berbentuk pertanyaan yang disusun sedemikian rupa sehingga jawabannya sulit ditebak.
-
Bagaimana cara orang Sunda berbaur dengan warga lokal? Kini warganya telah hidup berbaur dengan masyarakat setempat, dan meneruskan keturunannya.
-
Bagaimana cara bambu hoki menyeimbangkan elemen Feng Shui? Ya, bambu hoki erat kaitannya dengan feng shui dalam kebudayaan Asia Timur. Dengan menempatkan bambu hoki, maka kelima elemen feng shui tersebut dapat lebih diseimbangkan. Salah satu cara paling direkomendasikan yaitu menempatkan bambu hoki di dalam vas atau pot tanaman yang berunsur kayu atau tanah.
-
Kenapa penting untuk memilih lokasi rumah yang tepat dalam feng shui? Pilih lokasi rumah yang memiliki energi positif dan tidak terlalu dekat dengan jalan raya atau tempat-tempat yang berisik. Selain itu, pastikan bahwa rumah Anda tidak terlalu dekat dengan tempat-tempat yang berbahaya seperti tempat pembuangan limbah atau tempat-tempat yang berbau tidak enak.
-
Apa tujuan desain rumah sehat menurut feng shui? Desain rumah yang sehat tidak hanya berfokus pada estetika, tetapi juga pada keseimbangan energi yang ada di dalam rumah tersebut.
Mengatur pola permukiman orang Sunda
Mengutip Instagram @napakjagatpasundan, warugan lemah rupanya memiliki fungsi untuk mengatur pola permukiman orang Sunda zaman dulu.
Selain itu, warugan lemah juga mengatur hal lainnya terkait dengan permukiman seperti permukaan dan posisi tanah, sampai bentuk-bentuk wilayah agar membawa kebaikan.
Dalam catatan sejarah, naskah itu sudah ada sejak 1846 dan dikenalkan oleh Bupati Bandung, Wiranatakusumah IV kepada Masyarakat Batavia. Namun diduga pembuatannya sebelum runtuhnya Kerajaan Padjajaran, sekitar tahun 1400-an masehi.
Kental akan nuansa Hindu
Prediksi ini juga diaminkan lewat tidak adanya satu kata yang bernuansa Arab. Selain itu, isi teksnya kental dengan anasir agama Hindu, salah satunya melalui mantra-mantra yang menggunakan bahasa agama Hindu.
Ini bukan berasal dari peradaban Islam karena tidak ada satu kata pun yang berbentuk kaligrafi maupun ejaan Arab.
Naskah ini diketahui tersimpan di Perpustakaan Nasional RI (PNRI) dengan nomor koleksi L 622 Peti 88.
Menceritakan tentang bidang tanah dan rumah
Dalam naskah ini isinya secara keseluruhan tentang bidang tanah, sekaligus bentuk bangunan yang berdiri di atasnya.
Jika dilihat arti pada kalimat pertama tertulis warugan lemah yang berarti bentuk (warugan) dan lemah (tanah), bahasa Jawa kuno. Dalam bahasa Sunda, ini merujuk ke penyebutan bagian tubuh (bangunan) dari lemah (tanah).
Bentuk naskah diketahui berbahan daun lontar, dengan ukuran 28,5 x 2,8 cm, dan berisi empat baris tulisan di tiap lembarnya
Talaga Hangsa, desain yang mendatangkan kasih sayang dari orang lain.
Bentuk bangunan ini cenderung baik dan memikat. Bentuk dari bangunan tersebut adalah berdiri di atas tanah yang condong ke kiri.
Selain itu terdapat Purba Tapa yang memiliki bentuk tanah condong ke depan. Ini dianggap kurang baik karena biasanya memiliki rasa hilang simpati kepada orang lain.
Kemudian Banyu Metu juga dianggap kurang baik, karena akan membuat apapun yang disayang oleh pemiliknya tidak akan jadi.
Ambek Pataka menyebabkan orang lain menyakiti hati
Ambek Pataka jadi salah satu pantangan berikutnya dalam mendirikan bangunan. Di sini topografi tanahnya cenderung mengarah ke kanan dan menyeybankan orang lain menyakiti hati.
Ngalingga Manik memiliki bentuk yang baik karena tanah untuk bangunan membentuk puncak permata (menggunduk).
Orang yang tinggal di atasnya akan diperhatikan oleh dewa. Ini juga menjadi daratan yang dicari oleh tokoh Sunda zaman dulu, Bujangga Manik dalam mengakhiri kehidupannya (berhenti berkelana).
Topografi selanjutnya adalah Singa Purusa. Ini posisinya berada di antara puncak dan kaki bukit yang diapit pasir, dengan dampak yang positif bagi orang tinggal di atasnya karena akan meraih kemenangan dalam berperang.
Sri Mandayung sampai Wilayah Melipat
Dalam warugan lemah juga disebutkan bahwa Sri Mandayung merupakan topografi tanah yang kurang baik untuk ditinggali karena pemiliknya akan dimadu oleh perempuan. Posisinya berada di antara dua aliran sungai yakni kecil di kiri dan besar di kanan.
Sumara Dadaya atau posisi tanah datar yang dianggap baik karena menggambarkan sosok Rama sebagai salah satu penguasa Sunda. Tempat tinggal atau permukiman yang berada di lokasi ini memungkinkan didatangi oleh sosok penguasa.
Luak Maturun sebagai area yang berceruk atau cekung menyerupai lembah. Ini dianggap kurang baik karena penduduk yang tinggal di sana akan mendapatkan sejumlah penderitaan akibat perang.
Wilayah Melipat, yakni topografi yang dianggap kurang baik lantaran berkurangnya kekayaan. Bentuknya sendiri tidak disebutkan secara spesifik dalam naskah tersebut.
Di zaman dulu, aturan ini dipercaya untuk pedoman masyarakat dalam membentuk perkampungan dan permukiman masyarakat. Ini akan menentukan baik atau buruknya keluarga yang menempatinya.