Mengenal Sosok Achdiat Karta Mihardja, Sastrawan Sunda yang Menggabungkan Perspektif Budaya dan Filsafat di Karyanya
Novel Atheis mengungkap kehidupan masyarakat Sunda di masa transisi perang kemerdekaan yang memperlihatkan ketaatan pada ajaran Islam.
Novel Atheis mengungkap kehidupan masyarakat Sunda di masa transisi perang kemerdekaan yang memperlihatkan ketaatan pada ajaran Islam.
Mengenal Sosok Achdiat Karta Mihardja, Sastrawan Sunda yang Menggabungkan Perspektif Budaya dan Filsafat di Karyanya
Achdiat Karta Mihardja merupakan nama besar di bidang sastra Sunda. Ia lahir di Kecamatan Cibatu, Kabupaten Garut, Jawa Barat pada 6 Maret 1911. Sederet karyanya dianggap melampaui zaman di masanya.
Namanya mungkin tak seterkenal Ajip Rosidi atau Eka Kurniawan di masa sekarang. Namun Achdiat punya gaya penulisan yang berbeda, yakni menggabungkan perspektif budaya dan filsafat di setiap karyanya.
-
Apa saja contoh karya-karya sastra lakon dari Adjim Arijadi? Kemudian, melalui sanggar ini ia mengangkat karya sastra lakon, Bapa Purba, Alam yang Diputihkan, Pangeran Banjar, Alam Roh Kalimantan dan Parade Drama Pahlawan.
-
Gimana cara kuda ngedul nipu Abdul di cerita lucu Sunda? Dina hiji poe si kuda teh dibawa ka kota ku abdul, rek dagang uyah dua karung. eta karung teh terus ditalian dina tonggong kuda. Di tengah jalan jalan si kuda ngedul teh ngagejeburkeun maneh kana walungan.Barang hanjat si kuda ngarasa hampang, sabab uyah nu dina tonggongna beak kabawa ku cai sarta teu bisa ka pulung saeutik-eutik acan.
-
Apa yang dilakuin kuda ngedul di cerita lucu Sunda? Unggal poe abdul ka kota mawa kudana keur ngajual barang dagangan anu loba diperlukeun ku urang kota. Ku sabab ngarasa hoream kudu indit mawa barang dagangan, kuda ngedul teh boga rencana nipu ka dununganana. Dina hiji poe si kuda teh dibawa ka kota ku abdul, rek dagang uyah dua karung.
-
Kenapa Raden Adipati Djojoadiningrat berani melamar Kartini? Karena gagasannya ini, pada awal abad ke-20 Kartini mampu mendirikan sekolah perempuan pertama di rumahnya yang berada di Kabupaten Rembang untuk memberdayakan perempuan sehingga bisa membaca, berhitung, dan menulis.
-
Siapa Suparna Sastra Diredja? Sosok ini bergerak masif di bawah tanah untuk mengajak rakyat melawan penjajah. Suparna Sastra Diredja menjadi sosok heroik yang membela rakyat Indonesia hingga akhir hayat.
-
Kapan kata-kata Sunda nyindir biasanya disampaikan? Kata-kata ini biasanya disampaikan secara halus.
Salah satu karya yang dianggap terbaik di masanya adalah Atheis yang mendapat ulasan positif. Karya novel tersebut dianggap sebagai pembaharuan di awal-awal masa kemerdekaan karena dikenal hingga ke luar Indonesia.
Berkat novel tersebut, kultur masyarakat Sunda yang saat itu belum dikenal luas berhasil terangkat di mata khalayak.
Akrab dengan Ilmu Filsafat dan Agama
Dalam perjalanan hidup Achdiat Karta Mihardja di laman esi.kemdikbud.go.id, ia sejak kecil sudah mengenyam bangku pendidikan yang lengkap.
Dimulai dari Hollandsch Inlandsche School (HIS) di Bandung pada 1925, lalu Algemene Middelbare School (AMS) Bagian Kesusastraan Timur di Kota Surakarta pada 1932.
Kemudian dirinya kembali melanjutkan pendidikan agama di tarekat Qadiriyah Naqsabandiyah milik K.H. Abdullah Mubarok (Ajengan Gedebag) hingga dilanjutkan kuliah filsafat Thomistik dengan pembimbingnya Pater Dr. Jacob S.J., dan juga mengikuti kuliah filsafat kepada Prof. Dr. R.F. Beerling di UI pada 1950-1951.
Dari sana, dapat terbayang keilmuan antara budaya timur dan barat menjadikan setiap tulisannya kaya akan gagasan, serta banyak menggambarkan kritik budaya.
Sempat Jadi Jurnalis
Achdiat sempat memulai kariernya sebagai jurnalis di harian Indie Boek, lalu menjadi redaktur di Bintang Timoer dan media koran lainnya.
Ia juga pernah bekerja sebagai penyalin di Balai Pustaka Pekabaran Radio Jakarta, redaktur kebudayaan mingguan Spektra, dan majalah Pudjangga Baroe, serta guru di Taman Siswa dan Kepala Jawatan Kebudayaan Perwakilan Jakarta Raya.
Kemudian, kariernya mentereng sebagai Ketua PEN Club Indonesia, Wakil Ketua Organisasi Pengarang Indonesia, Pengurus Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional (BMKN), dan Anggota Partai Sosialis Indonesia (PSI). Ia juga menjadi Wakil Indonesia dalam Kongres PEN Club Internasional di Swiss.
- Filosofi Tari Bedana, Berisi Ajaran Islam dan Cermin Tata Kehidupan Masyarakat Lampung
- Sosok Merari Siregar, Sastrawan Asal Tapanuli yang Hidup dalam Ketatnya Adat dan Kawin Paksa
- Potret Dian Sastro dan Ibunda yang Berbeda Keyakinan, Kisah Mualafnya Tahun 2002 Jadi Sorotan
- Arti Istiqomah dan Tawadhu, Ketahui Ciri-Ciri dan Keutamaannya
Ikut Mendirikan LEKRA Namun Keluar
Bayang-bayang kolonialisme Belanda yang masih terjadi sampai akhir 1940, membuatnya gerah.
(Foto: Ensiklopedia Sastra Kemdikbud)
Ia kemudian mengajak sejumlah sastrawan yang anti kolonialisme untuk membentuk Lembaga Kebudayaan Rakyat (LEKRA).
Beberapa sastrawan yang diajaknya yakni A.S. Darta dan M.S. Azhar. Namun ia hanya bertahan tidak lama dan pada 1950 dirinya menyatakan keluar dari LEKRA.
Sebab ia mundur karena perbedaan ideologi, usai Lekra menyatakan diri sebagai onderbouw Partai Komunis Indonesia (PKI) saat pertemuan internasional PEN Club di Swiss, 17 Agustus 1950.
Dari sana, ia memilih untuk fokus menjadi seorang penulis, sekaligus akademisi sastra di Fakultas Sastra Universitas Indonesia mulai tahun 1956 hingga 1961, dan pindah mengajar di National University, Canberra, Australia.
Karyanya Melampaui Zaman
Achdiat menghasilkan beragam karya, termasuk novel "Atheis" (1949) dan "Debu Cinta Bertebaran" (1973).
(Foto: Wikipedia)
Cerpen-cerpennya terkumpul dalam karya berjudul "Keretakan dan Ketegangan" (1956), "Kesan dan Kenangan" (1960), "Belitan Nasib" (1975), dan "Pembunuh dan Anjing Hitam" (1975).
Ia juga menulis drama seperti "Bentrokan dalam Asrama" dan "Pak Dulah in Extremis". Esainya juga berfokus ke tema kebudayaan termasuk "Pengaruh Kebudajaan Feodal" (1948) dan "Polemik Kebudajaan" (1948).
Salah satu karya yang menarik adalah “Atheis” karena mendapat banyak ulasan positif salah satunya dari dosen senior Bahasa Indonesia di Canberra University College A.H. Johns karena dianggap sebagai novel yang bagus pada awal perkembangan sastra Indonesia modern.
Kemudian, ulasan positif juga datang dari kritikus sastra Indonesia ternama, A. Teeuw, yang menyebut jika novel Atheis dianggap menarik, dan memiliki terobosan soal ide, tema dan gaya penulisan yang melampaui zaman
Sedikit Kisah tentang Novel Atheis
Mengutip Wikipedia, novel ini mengungkap kehidupan masyarakat Sunda di masa transisi perang kemerdekaan yang memperlihatkan ketaatan pada ajaran agama (Islam).
(Foto: Kemdikbud)
Di sisi lain, masyarakat Sunda kala itu diwarnai praktik mistik, serta masuknya ideologi Barat Marxisme yang menciptakan ketegangan dan kegamangan terutama di kalangan kaum muda tatar Priangan.
Dari kisah tersebut, novel Atheis mendapat hadiah tahunan dari Pemerintah Indonesia di tahun 1969, dan novel kemudian diterjemahkan ke bahasa Inggris oleh R.J. Maguire.
Atheis kemudian diangkat menjadi film oleh Syuman Djaja di tahun 1974, bersama karya Achdiat lainnya seperti Keretakan dan Ketegangan yang sebelumnya mendapat penghargaan sastra nasional dari BMKN 1957.
Achdiat Karta Mihardja diketahui meninggal dunia pada usia 99 tahun di Canberra pada 8 Juli 2010.
(Foto: Merdeka.com)