Belajar Toleransi dari Raja Pajajaran Prabu Siliwangi, Izinkan Rakyat Memeluk Islam Meski Kerajaan Bercorak Hindu
Kebijakan ini jadi salah satu tanda kemurahan hati Prabu Siliwangi, sehingga rakyat boleh meninggalkan agama yang sebelumnya menjadi mayoritas di tanah Sunda.
Pada masa kekuasaan Kerajaan Pajajaran, hampir seluruh wilayah Jawa bagian barat memiliki corak Hindu. Dalam catatan kuna prasasti Batu Tulis disebutkan bahwa ibu kota Pakuan yang saat ini masuk wilayah Bogor, menjadi pusat kerajaan dengan ajaran leluhur yang kuat.
Sebelumnya, candi-candi Hindu juga banyak dibangun seperti kompleks Batu Jaya di Karawang, sampai Candi Cangkuang peninggalan Galuh di Garut. Tempat-tempat itu terus dirawat oleh kerajaan Sunda terbesar itu.
-
Bagaimana cara Sunan Kalijaga menyebarkan agama Islam di tanah Jawa? Saat itu, dalam rangka menjalankan misinya buat menyebarkan agama Islam di tanah Jawa yang masyarakatnya sudah memegang kepercayaan Kejawen, Sunan Kalijaga menggunakan pendekatan budaya.
-
Bagaimana Islam menyebar di Kesultanan Perlak? Seiring banyaknya pedagang yang singgah dan melakukan perniagaan di Kesultanan Perlak kemudian terjadilah pernikahan antara mereka dengan masyarakat Perlak. Faktor inilah yang menyebabkan ajaran-ajaran Islam sangat cepat menyebar.
-
Dimana Prabu Siliwangi bersembunyi dari kerajaan Islam? Mitos lain yang melibatkan Alun-Alun Surya Kencana adalah perannya sebagai tempat persembunyian Prabu Siliwangi dalam menghadapi kerajaan Islam.
-
Bagaimana Sunan Gunung Jati menyiarkan Islam di Cirebon? Melalui gelar ini, Sunan Gunung Jati mulai bergerilya untuk mengenalkan ajaran Islam di wilayah Cirebon yang warganya masih memeluk agama Hindu Buddha serta kepercayaan leluhur.
-
Apa yang menjadi pusat penyebaran Islam di Sidoarjo pada masa silam? Masjid Jami' Al Abror di Jalan Kauman Desa Pekauman merupakan salah satu saksi bisu sejarah berdirinya Kabupaten Sidoarjo. Masjid ini juga merupakan pusat penyebaran Islam di Sidoarjo pada masa silam.
-
Bagaimana jamu dikembangkan sejak masa kerajaan Mataram Islam? Sejak masa berdirinya Kerajaan Mataram Islam, perkembangan obat-obatan yang memanfaatkan tanaman maupun rempah-rempah Nusantara berkembang pesat. Hal itu terbukti dengan masih dijumpainya pedagang jamu gendong atau pabrikan, produk kosmetik, maupun obat-obatan yang menggunakan bahan dasar dari tanaman Nusantara.
Pada masa Sri Baduga Maharaja Prabu Siliwangi, tempat peribadatan terus diperbagus. Raja tersebut juga memiliki peraturan yang memasukkan ajaran Hindu agar dipatuhi masyarakat. Namun ada hal menarik di era kepemimpinannya, karena rakyat dibebaskan untuk memeluk ajaran apapun.
Kebijakan ini jadi salah satu tanda kemurahan hati Prabu Siliwangi, sehingga rakyat boleh meninggalkan agama yang sebelumnya menjadi mayoritas di tanah Sunda. Kira-kira apa alasan Prabu Siliwangi membolehkan rakyat memeluk ajaran Islam meski Pajajaran bercorak Hindu kuat? Berikut informasinya.
Masuknya Ajaran Islam di Tanah Pajajaran
Sebenarnya, ajaran Islam sudah mulai dikenal masyarakat Sunda pada sekitar abad ke-14. Ketika itu, banyak pedagang rempah asal negeri Timur Tengah yang menjelajah ke negara-negara di dunia untuk menawarkan dan bertukar hasil alam.
Karena interaksi yang masif, maka terjadilah percampuran budaya dengan rakyat yang mereka singgahi. Lambat laun, pembesar kerajaan Hindu Buddha di nusantara turut terpengaruh, tak terkecuali Pajajaran.
Menurut Ferry Taufiq El-Jaquene dalam bukunya berjudul “Hitam Putih Pajajaran: Dari Kejayaan hingga Keruntuhan Kerajaan, mengatakan Islam masuk ke tanah Sunda setelah dikenalkan oleh kerabat kerajaan Galuh yakni Bratalegawa.
- Tidak Menyembelih Sapi, Begini Cara Masjid Menara Kudus Jaga Toleransi Umat Hindu saat Hari Raya Iduladha
- Tradisi Kearifan Lokal Mampu Depankan Toleransi
- Masyarakat Diminta Perkuat Toleransi & Hindari Prasangka Buruk Terhadap Perbedaan
- Melihat Jejak Prabu Siliwangi di Desa Pajajar Majalengka, Konon Dulu Sosoknya Menghilang di Sini
“Dalam naskah Carita Parahyangan, disebutkan bahwa sedikit demi sedikit orang Sunda mulai mengenal ajaran Baru. Ini juga dikenalkan oleh Bratalegawa yang merupakan kerabat dari raja Kerajaan Galuh (selanjutnya Pajajaran), Sanghyang Bunisora Suradipati,” Tulis Taufiq.
Keluarga Kerajaan Turut Dikenalkan
Karena cukup memiliki pengaruh, Bratalegawa pun turut mengenalkan ajaran baru yang dibawa pedagang asal Gujarat itu. Bahkan, dirinya sudah menikah dengan salah satu putri pedagang Muslim hingga selanjutnya melahirkan keturunan beragama Islam.
Meski memiliki pandangan berbeda, namun anggota kerajaan masih mau menerima Bratalegawa dan mencoba memahami apa yang dibawa. Meski begitu, rakyat belum bisa melepaskan ajaran leluhur dan agama Hindu yang sudah dianut.
Penyebarannya kemudian berlanjut, termasuk di era Kerajaan Pajajaran yang berkembang setelah keruntuhan Galuh. Raja pertama yang memimpin yakni Prabu Siliwangi turut menerima kehadirannya.
“Ketika itu, Prabu Siliwangi menikah dengan Nyi Subang Larang yang beragama Islam. Prabu Siliwangi tak mempermasalahkan itu. Ketiga anaknya yakni Cakrabuana, Larasantang dan Kian Santang diperbolehkan menganut agama sang ibu (Islam),” katanya
Tak Menganggap Islam sebagai Musuh
Sisi menarik dari pernikahan beda agama antara raja besar Sunda Hindu dengan putri penghulu Islam tersebut, membuahkan toleransi yang kuat di wilayah kekuasaan Prabu Siliwangi.
Ketika anak-anaknya sudah besar dan mendirikan kekuasaan di Cirebon dengan nuansa Islam kental, Prabu Siliwangi bahkan menobatkan keturunannya sebagai pemimpin di wilayah Caruban (kini Cirebon).
Taufiq menyebut bahwa Prabu Siliwangi sangat terbuka dan tidak menganggap kerajaan bercorak Islam sebagai musuh. Bahkan, dirinya ingin bekerja sama dengan Cirebon yang ketika itu dekat dengan Demak.
“Pajajaran dengan sadar ingin menjalankan hubungan yang harmonis dengan Cirebon, meski corak keduanya berbeda dan itu tidak menjadi masalah. Pada akhirnya, Cirebon dan Pajajaran berunding untuk menentukan arah kerajaan ke depan. Keduanya bersepakat dan mampu memajukan masing-masing negerinya,” kata Taufiq.
Terapkan Aturan Kerajaan yang Longgar
Sebenarnya, aturan dari Kerajaan Pajajaran sudah jelas termasuk meminta rakyat mematuhi ajaran yang dianut kerajaan serta kebijakan-kebijakan leluhur. Namun, Prabu Siliwangi sadar dan tidak ingin mengekang rakyat.
Warga Pajajaran kemudian dibebaskan menentukan ajaran baru yakni Islam. Aturan kerajaan dalam undang-undang berupa Sanghyang Siksakandang Karesian yang berisi aturan pokok kemudian lentur untuk diterapkan.
Dalam naskah dipaparkan bahwa kedudukan raja berada di bawah para Dewa dan Hyang, artinya jabatan ini harus mendapat restu keduanya. Cara agar restu didapat adalah dengan mematuhi ajaran mereka.
Namun di sisi lain, raja juga harus menyadari bahwa kesejahteraan dan kenyamanan rakyat menjadi penentu amanah ini berhasil diterapkan atau tidak. Sehingga, ketika terjadi kekacauan, pemberontakan, dan kehancuran sosial karena kepemimpinan raja yang kolot maka Dewa menjadi murka.
“Di tengah ajaran baru ini, Prabu Siliwangi mampu menciptakan kibab Sangyang Siksakandang Karesian sebagai hal yang dipatuhi masyarakat,” terangnya.
Boleh Memeluk Islam namun Tak Hilangkan Budaya Leluhur
Semakin kuatnya pengaruh Cirebon dan Demak dengan ajaran Islamnya, Prabu Siliwangi kemudian mengubah taktik dengan mengenalkan kitab ini sebagai pedoman tingkah laku. Seluruh ajaran merupakan upaya untuk merawat tradisi leluhur, agar tidak benar-benar tergantikan.
Di saat yang bersamaan, Ia juga semakin terbuka dengan ajaran baru yakni Islam dan membolehkan rakyatnya menganut secara penuh. Namun, Prabu Siliwangi meminta agar rakyat tidak meninggalkan pedoman aturan leluhur di kehidupannya kelak.
“Kalaupun menganut ajaran Islam, ada intisari yang harus dijalankan yakni beragama Islam tanpa meninggalkan laku lampah (ajaran hidup) sebelumnya,” tambah Taufiq.