Hasilkan Empat Nada, Begini Uniknya Tradisi Menumbuk Padi oleh Ibu-ibu di Kampung Urug Bogor
Tradisi menumbuk padi di Kampung Adat Urug benar-benar unik
Tradisi menumbuk padi di Kampung Adat Urug benar-benar unik
Hasilkan Empat Nada, Begini Uniknya Tradisi Menumbuk Padi oleh Ibu-ibu di Kampung Urug Bogor
Kampung Urug di Desa Kiara Pandak, Kecamatan Sukajaya, Kabupaten Bogor, mejadi salah satu permukiman adat yang tersisa di wilayah Jawa Barat.
Di sini masyarakatnya masih menjaga tradisi leluhur, salah satunya aktivitas nutu pare yang biasa dilakukan oleh ibu-ibu setempat.
-
Apa yang unik dari kambing di Bogor? Ada kambing bertanduk 5 yang menggegerkan masyarakat di Kecamatan Bogor Tengah, Kota Bogor, Jawa Barat.
-
Kenapa Bogor disebut Kota Hujan? Karena jumlah milimeter air yang tercurah berada di atas angka 2.000, maka bisa dipastikan jika intensitas air hujan bisa terus turun sepanjang tahun. Ini yang membuat Bogor masih diselingi kondisi hujan saat musim kemarau karena jumlah kandungan air di awan yang tinggi.
-
Dimana lokasi Kampung Warna-Warni Jodipan? Kampung Warna-warni Jodipan terletak di Jalan Ismoyo, Kelurahan Ngemplak, Kecamatan Klojen, Kota Malang, Jawa Timur.
-
Kapan Desa Panggungharjo dibentuk? Desa Panggungharjo dibentuk berdasarkan maklumat monarki Yogyakarta tahun 1946 yang mengatur tentang tata kalurahan saat itu.
-
Kapan Bojonegoro menjadi ibukota Provinsi Jawa Timur? Ada sejumlah daerah yang sempat menjadi Ibu Kota Jawa Timur selain Kota Surabaya. Daerah-daerah ini menjadi pusat pemerintahan Jatim sejak 11 November 1945 hingga 24 Desember 1949.
-
Di mana Kampung Sukatinggal berada? Adapun lokasi perkampungan tersebut berada di Kampung Sukatinggal, Desa Deudeul, Kecamatan Taraju, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat.
Nutu pare memiliki arti menumbuk padi di atas lesung. Padi yang sudah dipanen akan dipisahkan dari sekam dengan cara ditumbuk. Uniknya, muncul irama-irama tertentu dari aktivitas tersebut.
Menurut warga, irama itu biasanya terdiri dari empat nada dan memiliki makna tertentu. Sampai saat ini, tradisi nutu pare masih dijalankan sebagai salah satu budaya pertanian khas Kampung Adat Urug.
“Biasanya nutu itu sebulan sekali, kalau ada tetangga yang ingin memakai beras,” kata salah seorang warga, Sri Wulandari, mengutip YouTube Balai Kebudayaan Wilayah IX Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kamis (4/1).
Merupakan proses mengolah padi jadi beras
Nutu diartikan sebagai proses mengolah padi menjadi beras. Ini karena padi dari sawah atau rumah lumbung (leuit) akan ditumbuk untuk dipisahkan dari kulitnya, sehingga bisa diolah lebih lanjut.
Selain itu, nutu juga bisa untuk mencuci beras, karena beras yang tadinya kotor akan bersih dan bisa digunakan untuk konsumsi sehari-hari.
“Walaupun sudah ada mesin, tapi memang adatnya harus begini (nutu). Ini mau mutihin padi juga bisa,” kata Sri.
Dilakukan beramai-ramai
Di setiap pelaksanaannya, nutu selalu dilakukan beramai-ramai oleh kaum perempuan. Pantang bagi laki-laki untuk melakukan ini karena sudah aturan turun temurun.
Biasanya ibu-ibu akan berkumpul di lahan kosong, tempat pemilik padi yang akan dinutu dan langsung melakukan penumbukan hingga padi bersih.
“Kualitas berasnya nanti akan sama saja seperti padi yang digiling dengan mesin, tetap bagus,” terang Sri.
- Melihat Tradisi Unik di Pelosok Hutan Jati Grobogan, Hanya Digelar Dua Tahun Sekali
- Tradisi Unik Turun Temurun, di Perkampungan Terpencil Ini Laki-laki Dilamar Duluan Oleh Wanita
- Uniknya Tradisi Sambut Lebaran di Bengkulu, Bakar Batok Kelapa dengan Penuh Sukacita
- Mengenal Ngalungsur Geni, Tradisi Pembersihan Benda Pusaka di Kabupaten Garut
Bernilai gotong-royong
Walaupun dilakukan serempak oleh ibu-ibu di sana, namun mereka tidak meminta bayaran atau dibayar oleh pemilik padi.
Ini sudah menjadi kebiasaan sejak zaman dahulu, di mana tradisi tersebut merupakan bagian dari gotong royong masyarakat untuk saling membantu.
Walau begitu, menurut Sri, tidak menutup kemungkinan si pemilik hajat akan memberi imbalan pada ibu-ibu yang menumbuk dalam bentuk lain seperti makanan atau minuman secara suka rela.
Hasilkan empat nada untuk dinyanyikan
Kegiatan menumbuk padi ini tak sekedar membersihkan hasil panen, namun di balik itu terdapat makna keakraban lewat empat ketukan nada yang masing-masingnya memiliki nama.
Menurut Sri, nama-nama nada yang dihasilkan itu yakni Sampro Kuda, Hujan Palis, Ngarempuk dan Takekok.
“Ini ada empat nada, dan bisa dinyanyikan,” lanjut Sri.
Kampung dengan tradisi pertanian leluhur Sunda
Merujuk laman Pemkab Bogor, warga di Kampung Urug benar-benar menaati perintah nenek moyang terkait pengelolaan pertanian.
Mereka dilarang memperjual belikan padi, dilarang mengelola sawah dengan pupuk kimia dan hanya boleh panen satu tahun sekali.
Menurut Sesepuh Kampung Adat Urug, Abah Ukat Raja Aya, aturan tersebut merupakan bentuk ketahanan pangan tradisional yang bermanfaat saat masa paceklik. Walaupun masa panennya jarang, namun warga di sini tidak pernah ada yang merasa kelaparan.
“Jadi kami di sini panennya hanya setahun sekali, bahkan kami masih bisa melaksanakan tradisi pertanian Seren Tahun dan meminta kepada Gusti Allah agar dicukupkan,” katanya.
Di Kampung Urug masih banyak dijumpai rumah-rumah lumbung padi atau leuit, dengan usia penyimpanan hingga puluhan tahun. Ini jadi rahasia kenapa kampung ini tidak pernah ada yang kelaparan.