Mengenal Nyai Djuaesih, Aktivis Muslim Perempuan asal Sukabumi Perintis Muslimat NU
Memiliki peran yang kuat untuk mengenalkan kaum perempuan terhadap hal yang biasa diemban kaum pria, memuat Nyai Djuaesih mendapatkan penghargaan yang setara dengan RA Kartini secara tertulis dari Nurfitriana, Istri dari Bupati Sumenep Busyro Karim tahun 2018 lalu
Semangat gerakan perempuan yang dikenalkan oleh RA Kartini di awal tahun 1900an rupanya terus menggelora. Salah satunya dibawa oleh tokoh perempuan asal Jawa Barat bernama Nyai Djuaesih.
Wanita kelahiran Sukabumi, bulan Juni 1901 tersebut turut menandai kebangkitan perempuan di tatar Sunda, khususnya dalam perspektif Agama Islam melalui asas kuat dari Nahdlatul Ulama (NU).
-
Apa yang diresmikan oleh Prabowo Subianto di Sukabumi? Menteri Pertahanan (Menhan) Prabowo Subianto meresmikan lima titik sumber air di Sukabumi, Jawa Barat, Sabtu (30/12/2023).
-
Kapan nama surat kabar Benih Merdeka diubah? Akhirnya pada tahun 1920, ia mengubah nama menjadi "Mardeka".
-
Mengapa serangan harimau di Sukabumi menjadi sorotan media asing? Kasus penyerangan harimau terhadap manusia sendiri kala itu sampai mendapat sorotan koran asing milik Belanda, karena seringkali brutal dan korbannya sulit tertolong.
-
Apa yang terjadi saat serangan harimau di Sukabumi? Biasanya warga yang menjadi korban harimau akan diterkam tiba-iba, diseret ke hutan dan keesokan hari jasadnya sudah dalam bentuk tulang belulang.
-
Kenapa Padi Salibu dilirik Pemprov Jabar? Padi dengan teknologi salibu saat ini tengah dilirik Pemprov Jabar sebagai upaya menjaga ketahanan pangan.
-
Kenapa Curug Cimarinjung di Sukabumi terkenal? Memotret diri dengan keindahan ngarai dan air terjun akan membuat hasil foto pengunjung semakin istimewa.
Djunaesih sendiri memang dikenal akrab dengan lingkungan agama yang kuat. Terlebih kedua orang tuanya yakni R.O Abbas dan R. Omara S sudah membekalinya dengan ilmu agama sejak ia masih kanak-kanak.
Kondisi tersebut kian melekat kuat saat ia menikah dengan pengurus NU di Jawa Barat bernama Danuatmadja alias H. Bustomi hingga menjadi seorang mubaligh perempuan.
Dari situ Nyai Djuaesihsemakin bertekad kuat untuk mensyiarkan Agama Islam (NU) dengan berceramah mengitari Jawa Barat. Berikut kisah lengkapnya yang berhasil dirangkum Merdeka dari berbagai sumber, Rabu (21/04).
Peduli dengan Pendidikan
©2021 Kanal Youtube Narasi Perempuan /editorial Merdeka.com
Sebagaimana dilansir Merdeka dari muslimatnu.or.id, sejak kecil Djuaesih memang tidak berkesempatan mengenyam pendidikan formal seperti perempuan lainnya di masa itu. Namun kondisi tersebut tidak ingin ia tularkan kepada para anaknya. Ia berhasil menyekolahkan anak-anaknya sampai ke jenjang MULO (setingkat SMP di zaman Belanda).
Semenjak menikah dengan H. Bustoni dirinya semakin peduli dengan pentingnya pendidikan bagi kemandirian perempuan, khususnya dalam hal ilmu Agama. Ia pun mulai sering mendampingi suaminya berdakwah dengan tujuan mengenalkan asas asas Islam di ranah Nahdlatul Ulama.
Dari keikutsertaanya itu, Nyai Djuaesih banyak bergaul dengan kalangan perempuan di daerah-daerah seperti Tasikmalaya, Ciamis, Sukabumi, Bekasi hingga Pandeglang untuk bersama sama mensyiarkan Agama Islam
Mewadahi Aspirasi Lewat Nahdlatul Ulama
Kepeduliannya akan wajah perempuan islam yang mandiri akhirnya membuahkan hasil dengan mendirikan sebuah wadah bernama Muslimat NU
Dalam catatan yang dikutip dari paper Gerakan Perempuan Nadhatul Ulama dalam transformasi Politik karya Sri Roviana, Nyai Djuaesih tercatat memiliki peran sentral dalam mewadahi aspirasi perempuan melalui organisasi tersebut.
Ia pun ingin perempuan bisa turut menyiarkan Agama Islam, layaknya laki-laki. Mengingat di masa itu pendakwah hingga mubaligh tidak ada yang berasal dari kaum perempuan.
“Di dalam Islam, tidak hanya kaum laki-laki yang harus dididik mengenai pengetahuan agama dan pengetahuan lainnya. Kaum perempuan juga wajib mendapatkan didikan yang selaras dengan kehendak dan tuntutan agama. Karena itu, kaum perempuan yang tergabung dalam Nadhatul Ulama mesti bangkit,” ujarnya seperti tertulis dalam paper yang diakses dari bincangmuslimah.com.
Memajukan Perempuan Lewat Mukhtamar NU di Banten & Magelang
©2021 Kanal Youtube Narasi Perempuan /editorial Merdeka.com
Nyai Djuaesih sendiri diketahui menjadi pembicara perempuan pertama di acara Mukhtamar NU ke-13 di Menes, Provinsi Banten pada tahun 1938 dan ke-14 di Magelang tahun 1939.
Pertemuan dari kedua tempat tersebut yang kemudian dijadikannya sebagai titik balik. Sehingga menghasilkan sejumlah rumusan yang poin utamanya adalah mengukuhkan kaum perempuan dalam organisasi NU sebagai simbol pendidikan serta dakwah di tengah-tengah masyarakat.
Sementara itu forum di Jawa Tengah itu juga dihadiri oleh sejumlah perwakilan dari kota-kota sekitar seperti seperti Muntilan, Sukoharjo, Kroya, Wonosobo, Surakarta, Magelang, Parakan, Purworejo, dan Bandung (Jawa Barat).
Memulai Kepemimpinan di Muslimat NU tahun 1940
Dari dua pertemuan sebelumnya, baru pada pelaksanaan Mukhtamar NU ke-15 di Surabaya cikal bakal Muslimat NU dikenalkan.
Dari situ muncul rumusan anggaran dasar serta pengurus besarnya, yang semakin meneguhkan perannya sebagai perwakilan suara perempuan di bidang keagamaan (Islam).
Adapun peresmiannya terjadi pada Muktamar ke 16 di Purwekerto, bulan Maret 1946. Pertemuan tersebut menghasilkan pembentukan lembaga organik di bidang perempuan dengan nama awal Nahdhaatoel Oelama Moeslimat (NOM) hingga dikenal sekarang sebagai Muslimat NU.
Turut Mengajak Perempuan Melawan Penjajah
©2021 Kanal Youtube Narasi Perempuan /editorial Merdeka.com
Tak hanya pandai mengajak perempuan bangkit dari keterpurukan pendidikan, khususnya Agama di masa penjajahan. Nyai Djuaesih juga dianggap pandai memancing gelora perjuangan fisik kaum perempuan di Jawa Barat, khususnya pada masa perang kemerdekaan di tahun 1950 an.
Hal tersebut ia lakukan setelah kebebasan Muslimat NU mendapat hak otonomi di Muktamar ke-19 di Palembang tahun 1952.
Saat itu ia menyatakan bahwa perempuan juga memiliki cita-cita yang menjadi hak untuk membantu pembebasan negara dari segala bentuk penjajahan, hingga Nyai Djuaesih pun mengajak perempuan di Muslimat NU untuk ikut terjun di perang fisik revolusi melalui wadah bernama Sukarelawati Muslimat NU yang berisi perempuan tangguh pengangkat senjata.
Setara dengan Kartini
Memiliki peran yang kuat untuk mengenalkan kaum perempuan terhadap hal yang biasa diemban kaum pria, membuat Nurfitriana, Istri dari Bupati Sumenep Busyro Karim menyematkan penghargaan yang setara dengan RA Kartini di tahun 2018 untuk Nyai Djuaesih.
Dalam tulisannya di portal matamaduranews, Nurfitriana menuliskan bahwa Nyai Djuaesih bersama Raden Ajeng Kartini serta Nyai Siti Walidah Dahlan (istri dari KH. Ahmad Dahlan yang merupakan pendiri Muhammadiyah) merupakan sosok penting dalam mengangkat emansipasi perempuan lewat pendidikan keagamaan hingga membantu membebaskan negara dari belenggu penjajah.
Tak hanya itu, Nurfitriana juga menuliskan alasan lain bahwa Nyai Djuaesih setara dengan RA Kartini karena beliau mampu menembus tradisi syar’i yang memang identik dengan NU dalam mengangkat derajat perempuan lewat perannya memimpin organisasi Muslimat NU.