Tanggapi PLTS Atap Pemerintah, Pakar Unpad Beri Syarat Ini agar Penerapan Berhasil
Yayan menjelaskan, teknologi tersebut salah satunya akan berhasil jika kalangan pengguna dari rumah tangga atau konsumen memiliki tingkat literasi yang baik untuk pemanfaatannya.
Dosen ekonomi energi dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Padjadjaran, Dr Yayan Satiyakti menanggapi kebijakan pengembangan secara masif pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) di atap gedung atau rumah (rooftop photovoltaic power station).
Dalam keterangannya Selasa (17/08) kemarin, ia menyebut jika berkaca pada pasar Uni Eropa yang relatif berhasil, untuk menyukseskan inovasi tersebut di Indonesia maka harus memenuhi beberapa catatan.
-
Kenapa berita hoaks ini beredar? Beredar sebuah tangkapan layar judul berita yang berisi Menteri Amerika Serikat menyebut Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) bodoh usai Pusat Data Nasional Sementara (PDNS) 2 diserang hacker beredar di media sosial.
-
Apa isi dari surat kabar *Bataviasche Nouvelles*? Mengutip dari berbagai sumber, isi konten tulisan yang ada di surat kabar Bataviasceh Nouvelles ini mayoritas adalah iklan. Ada pula beberapa terbitannya juga memuat aneka berita kapal dagang milik VOC.
-
Apa kabar terbaru dari Nunung? Nunung bilang badannya sekarang udah sehat, ga ada keluhan lagi dari sakit yang dia alamin. Kemo sudah selesai "Nggak ada (keluhan), karena kemo-nya sudah selesai sudah baik, aman, Alhamdulillah," tuturnya.
-
Bagaimana kabar terbaru dari seleb dadakan yang meredup? Meskipun popularitas mereka meredup, beberapa dari mereka tetap aktif di media sosial dan masih memiliki pengikut yang setia. Namun, sebagian lainnya * * * * * Kelima seleb dadakan ini viral karena keunikan mereka, baik dari gaya bicara, penampilan, atau konten yang mereka buat. Namun, popularitas mereka yang meredup bisa disebabkan karena kurangnya konten yang menarik, kejenuhan publik, atau munculnya tren baru.
-
Apa isi dari surat kabar Soenting Melajoe? Terbit pertama kali pada 10 Juli 1912, isi dari surat kabar Soenting Melajoe ini seperti tajuk rencana, sajak-sajak, tulisan atau karya mengenai perempuan, hingga tulisan riwayat tokoh-tokoh kenamaan.
-
Kapan nama surat kabar Benih Merdeka diubah? Akhirnya pada tahun 1920, ia mengubah nama menjadi "Mardeka".
“Artinya pengembangan R&D untuk teknologi rooftop PV di Eropa sangat signifikan menurunkan LCOE selama periode 2017-2019,” kata Yayan, melansir dari ANTARA pada Rabu (18/08).
Mengukur Seberapa Besar Orang Indonesia Bersedia Menggunakan PLTS
Panel tenaga surya di atas gedung
©2019 Merdeka.com/Iqbal S Nugroho
Yayan menjelaskan, teknologi tersebut salah satunya akan berhasil jika kalangan pengguna dari rumah tangga atau konsumen memiliki tingkat literasi yang baik untuk pemanfaatannya. Adapun ia mencontohkan beberapa literasi, seperti literasi lingkungan akan green economy atau green investment (ekonomi hijau dan investasi hijau).
Menurutnya, dari situ akan terlihat seberapa besar kesediaan orang Indonesia dalam menggunakan rooftop PV atau PLTS atap, mengingat masih ada kalangan masyarakat yang tidak willingness to use (tidak ingin menggunakannya).
“Maka jawabannya yaitu economic incentives. Apakah benefit menggunakan teknologi bagi rumah tangga akan lebih banyak dibandingkan cost of investment and maintenance (biaya investasi dan pemeliharaan) dari penggunaan teknologi ini,” ujar dia.
Ia mencontohkan, saat ini sudah terdapat vendor yang siap untuk instalasi, layanan purna jual untuk maintenance dan dapat diakses dengan mobile phine.
“Semua dapat diakses dengan mudah dan nilai ekonomi dari investasi ini mudah diakses dan dibeli dengan murah atau investasi yang efisien,” kata Yayan.
Investasi Tidak Mudah
Catatan berikutnya, perlu diperhatikan terkait investasi yang efisien untuk roofsolar PV yang tidak mudah. Doktor dari Czech University of Life Science Prague, Republik Ceko itu mencontohkan di beberapa negara Eropa seperti Prancis, Jerman, Spanyol atau Italia, Levelised Cost of Electricity (LCOE) kurang lebih 20 sen euro/kWh.
Hal ini masih lebih tinggi jika dibandingkan dengan LCOE di wilayah Eropa tengah dan timur seperti Hungaria, Bulgaria, Romania, dan Estonia yang hanya 5-10 sen euro/kWh pada 2017. Namun, harganya terus turun dalam jangka waktu tiga tahun sebesar 50 persen menjadi 5-10 sen euro/kwH.
“Artinya pengembangan R&D untuk teknologi rooftop PV di Eropa sangat signifikan menurunkan LCOE selama periode 2017-2019,” katanya.
Terdapat Kesenjangan Daya Beli di Indonesia
Menurut Yayan, jika mengacu pada tarif dasar listrik (TDL) di Indonesia, harga akhir listrik PLN berada di kisaran 6-8 sen euro/kWh. Hal tersebut berdasarkan informasi dari PT PLN terkait TDL sepanjang April hingga Juni 2021.
“Kita dapat bayangkan ini harga konsumsi akhir, jika kita bandingkan dengan harga rooftop di EU harga tersebut adalah ongkos produksinya, jadi mereka akan jual di kisaran 9-10 sen euro/kWh. Keekonomian TDL harga listrik saat ini tidak mendukung terhadap keekonomisan dari investasi teknologi rooftop PV,” ungkap Yayan.
Yayan melanjutkan, dari hasil perhitungan di EU, WACC (Weight Cost of Capital) untuk investasi rooftop berada di 7 persen. Sedangkan di Indonesia, WACC atau IRR keekonomian di atas 10 persen.
“Di sini ada kesenjangan antara daya beli vs price, investment vs economic price, harusnya investment = price sehingga price = daya beli (purchasing power),” kata Yayan.
Dari hasil kalkulasi Laboratorium Sistem Tenaga Listrik Institut Teknologi Bandung (ITB) disebutkan, jika tarif PLTS atap tetap 100 persen atau Rp1.444,3 per KWh dan diikuti penambahan kapasitas 1 GW tiap tahun, hingga 2030 maka akan ada kenaikan Biaya Pokok Produksi (BPP) Rp11,3 per KWh atau Rp42,5 triliun selama sembilan tahun.
PLN Wajib Membeli 100 Persen Listrik PLTS
Sementara itu, pakar energi dan guru besar Institus Tekonologi 10 November Surabaya Mukhtasor mengatakan, pemerintah atau negara harus siap menerima konsekuensi dari keputusan yang diambil terkait rencana Kementerian ESDM merevisi Peraturan Menteri terkait PLTS atap.
Dari situ terdapat klausul yang kontroversial, yakni adanya kewajiban bagi PLN untuk membeli 100 persen listrik atas PLTS atap dari sebelumnya 65 persen.
“Rencana penerbitan Permen ESDM soal PLTS atap terburu-buru. Harusnya pihak terkait memberikan masukan dalam penyusunan Permen terkait revisi PLTS Atap. Jika ada informasi yang tidak match, pihak independen dilibatkan. Apalagi ini demi kepentingan nasional dan berdampak tidak hanya bagi PLN, juga keuangan negara,” ujar Mukthtasor saat diskusi dengan media, Selasa (17/8/2021) sore.
Perlu Disiapkan APBN
Adapun menurut dia, apa pun keputusan hasil yang dirumuskan dalam Permen ESDM terkait PLTS atap, keputusan yang diambil harus sudah memperhitungkan konsekuensi dan ada mitigasinya.
“Kalau ditetapkan 1:1 harus ada kompensasi kepada PLN. Berapa beban kompensasinya. Begitu juga kalau 1:0,65, berapa kompensasi yang diberikan,” katanya.
Artinya, lanjut Mukhtasor, APBN harus disiapkan untuk menanggung konsekuensi dari keputusan tersebut, termasuk kuota tertentu.
“PLTS atap kan marak untuk kota besar, khususnya Jakarta. Padahal, yang pas itu pengembangan PLTS yang digunakan untuk menggantikan pembangkit diesel yang kebanyakan dibangun/dipasang di daerah. Sebaiknya fokus ke PLTS bukan ke PLTS atap. Itu hanya menguntungkan orang kaya,” kata dia.