Menilik Kehidupan Mahasiswa Perantau di Jakarta, Alami Culture Shock dan Biaya Hidup Tinggi
Mahasiswa perantauan harus merogoh kocek yang tidak sedikit untuk bisa bertahan di Jakarta
Mengalami beberapa culture shock saat awal tiba karena perbedaan kebiasaan dari daerah asal mereka
- Menengok Kembali Kasus Suap Harun Masiku dan Kaitannya dengan Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto
- Cerita Merawat Keasrian Jakarta
- Cerita Pilu dari Mampang, Sekeluarga Tewas Terjebak di Atas Kobaran Api Kepung Lantai Bawah
- Sederet Para Pesohor dari Dapil Jabar I Lolos ke Senayan, Ada Melly Goeslaw hingga Istri Ridwan Kamil
Menilik Kehidupan Mahasiswa Perantau di Jakarta, Alami Culture Shock dan Biaya Hidup Tinggi
Gemerlap ibukota memang memiliki daya tarik bagi orang-orang yang penuh dengan ambisi. Jakarta seperti ladang peluang yang siap menyambut siapa saja datang kehadapannya, khususnya bagi pelajar perguruan tinggi yang kepalanya penuh dengan rasa ingin tahu.
Namun seperti pepatah “ada harga, ada rupa,” para mahasiswa perantauan harus merogoh kocek yang tidak sedikit untuk bisa bertahan.
Merdeka.com mewawancarai dua mahasiswa yang adu nasib sebagai pekerja magang di perusahaan Jakarta, Dion dan Yola, keduanya mengaku mengalami beberapa culture shock saat awal tiba karena perbedaan kebiasaan dari daerah asal mereka sebelumnya.
“Kalau di Purwokerto orangnya ramah-ramah, kalau di Jakarta orang-orangnya serba cuek, individualis. Cara aku beradaptasi ya aku harus bisa mengurus diri sendiri. Belum lagi culture shock tentang kebahasaan, di Jakarta musti lo-gua,” tutur Dion
Lebih lanjut, Dion dan Yola juga sama-sama menggarisbawahi bahwa adaptasi yang mereka lakukan termasuk pada adaptasi pengelolaan uang karena adanya perbedaan harga barang-barang kebutuhan pokok antara Jakarta dengan daerah lain.
Sejalan dengan pengakuan Yola, Dion juga menyatakan bahwa pengeluarannya dalam sehari minimal mencapai Rp80 ribu. Berbanding terbalik dengan pengeluaran harian di tempat asalnya, Purwokerto, dimana ia hanya mengeluarkan rata-rata Rp50 ribu.
“(Di Jakarta) biaya makan mungkin sekitar Rp30 ribu sampai Rp40 ribu, uang jajan Rp10-20 ribu tapi enggak tiap hari. Terus transportasi habisnya Rp20 ribu dalam sehari,” ujar Yola yang berasal dari Situbondo.
“(Biaya) makan sangat tinggi, kalau sehari-hari aku di Purwokerto enggak sampai Rp50 ribu, kalau di Jakarta tuh harus minimal paling kecil Rp80 ribu karena sekali makan aja udah Rp25 ribu,” tukasnya.
Selain karena harga kebutuhan yang relatif lebih mahal, minimnya tempat hiburan yang ada di alam juga membatasi para mahasiswa perantauan untuk refreshing dengan tarif yang sedikit.
Opsi yang bisa mereka tempuh untuk rehat dari gemuruh ibukota adalah menyambangi pusat perbelanjaan yang pada akhirnya juga membuat mereka mengeluarkan uang lagi.
“Kalau di Jakarta kan cuma ada mall, kalau mau ke gunung kan enggak ada, kalau misalkan ke mall tuh biaya sehari (yang keluar) itu bisa banyak banget, bisa Rp400 ribu,” kata Dion.
Dion menambahkan bahwa pengeluarannya dalam sebulan ketika ia tinggal di Purwokerto bahkan tidak mencapai Rp1 juta, namun dengan ganasnya harga kebutuhan di Jakarta ia bisa mengeluarkan dana Rp2 juta untuk bertahan hidup.
Di sisi lain, tantangan yang dilalui para mahasiswa ini dalam hal keuangan justru membuat mereka menumbuhkan kemampuan untuk mengatur pengeluaran dan pendapatan yang masuk. Mereka harus menerapkan trik-trik tertentu agar tetap bisa berhemat.
“Tips yang paling bagus buat mengatur budget menurutku adalah masak sendiri, either memasak semuanya sendiri atau mamasak nasi sendiri dan beli lauk di luar. Karena harga makanan itu ketika bikin sendiri, kita cuma beli mentahnya terus kita masak sendiri dibandingkan makanan siap saji itu menurut aku jauh (perbandingannya),” kata Yola.
Saran lain yang ditambahkan Yola dalam managemen uang adalah untuk menerapkan batas pengeluaran.
Caranya dengan menetapkan berapa pengeluaran maksimal yang bisa dihabiskan dalam sehari dan harus menahan diri untuk tidak melebihi batas yang telah ditentukan.
(Reporter magang: Alma Dhyan Kinansih)