Kisah Pengusaha Anyaman Pandan dari Kebumen, Berdayakan Masyarakat Sekitar
Muhammad Suwoto merupakan seorang pengusaha anyaman pandan dari Kebumen. Dalam memproduksi produknya, ia memberdayakan para warga sekitar. Ada lebih dari 100 perajin yang ia berdayakan. Produk-produknya pun laku hingga ke mancanegara.
Muhammad Suwoto (37) pada awalnya tak pernah terpikir untuk menjadi seorang perajin anyaman pandan. Ini semua berawal dari saat ia pindah ke kampung halaman istrinya di Desa Karanggayam, Kecamatan Karanggayam, Kabupaten Kebumen.
Di sana, Suwoto memulai lembaran baru kehidupan dengan bekerja sebagai petani. Pada waktu itu, ia melihat banyak masyarakat di tempat tinggal barunya yang bekerja sebagai penganyam. Bahkan mereka belanja kebutuhan sehari-hari dan membayarnya dengan anyaman hasil kebutuhan mereka.
-
Kenapa Jaka merantau? Dengan penuh tekad, Jaka pun memutuskan untuk merantau ke negeri orang untuk mencari nafkah dan mewujudkan semua impian mereka berdua.
-
Kapan Beji Sirah Keteng dibangun? Mengutip Instagram @purbosasongko_dalang, Situs Beji Sirah Keteng dibangun pada masa pemerintahan Raja Sri Jayawarsa.
-
Apa yang diterima Pemprov Jateng dari Balai Bahasa? Pada Kamis (10/8), Pemprov Jateng menerima hibah dari Balai Bahasa berupa bangunan gedung permanen dan perangkatnya.
-
Bagaimana cara membuat Jenang Saren? Mengutip Kemdikbud.go.id, bahan utama yang digunakan untuk membuat jenang saren adalah tepung ketan dan gula jawa.
-
Kenapa Candi Jago dibangun? Sejarah Candi Jago dibangun atas inisiasi Raja Kertanegara untuk menghormati mendiang sang ayah, Raja Sri Jaya Wisnuaedhana (1248-1268).
-
Bagaimana cara membuat kue jipang? Berasnya dimasukkan ke situ,” ungkap pemilik kanal YouTube Brent Sastro sembari menunjuk sebuah alat pemanas yang dihubungkan ke gas elpiji. Di sebelahnya, tampak sebuah wajan berisi air gula yang dicampur minyak sedang dipanaskan.
Pada tahun 2013, anyaman hasil kerajinan masyarakat setempat makin menumpuk di rumah. Tebersit niat Suwoto untuk menjual produk dari warga di tempat tinggalnya ke luar desa. Memang produknya laku di pasar. Tapi itu tak berlangsung lama. Pada tahun 2014 pasar kerajinan di Kebumen lesu. Makin sedikit pengepul yang berminat untuk membeli produk anyaman yang dijual Suwoto.
Maka dari itu pada tahun berikutnya, ia mencoba menjual produk anyaman pandan ke Yogyakarta dan Tasikmalaya. Di tempat-tempat itu, anyaman diolah menjadi produk jadi oleh perajin setempat.
Dari sanalah muncul keinginan Suwoto untuk membuat produk jadi. Ditambah lagi waktu itu produk anyaman di Desa Karanggayam kurang mendapat perhatian dari pemerintah setempat.
Mengajak Tetangga
©Istimewa
Pada akhirnya Suwoto mengajak para tetangganya untuk ikut kursus menjahit. Dari hasil kursus itu, Suwoto mengajak para penganyam di Karanggayam untuk membuat produk jadi dari hasil anyaman yang telah mereka buat.
“Bahkan untuk memotivasi mereka, saya membohongi mereka dengan membuat order fiktif. Saya minta mereka untuk produksi banyak demi memenuhi orderan. Padahal saya sendiri yang order. Tapi mereka tidak tahu,” kata Suwoto saat dihubungi Merdeka.com pada Kamis (22/6).
Pada tahun 2017 mereka memperoleh pesanan yang cukup banyak dari institusi pemerintah di Kebumen. Jumlahnya mencapai ratusan. Dari sana produk jadi kerajinan anyaman Suwoto beserta para warga Karanggayam mulai dikenal. Apalagi produknya bervariasi mulai dari tas, topi, kipas, kotak kado, dan lain sebagainya. Namun untuk bisa membuat produk tersebut itu perlu biaya modal awal.
“Saya awalnya mengajak mereka untuk iuran mengumpulkan modal. Kalau untung dibagi bersama, tapi kalau rugi ditanggung bareng-bareng. Karena tidak ada yang mau ambil resiko makanya saya ambil alih untuk menanggung modalnya,” terangnya.
Perlahan-lahan namun pasti usahanya makin berkembang. Produk yang kemudian diberi nama brand Jaxee itu bisa tembus mulai dari pasar nasional hingga luar negeri. Bahkan pada tahun 2018, brand milik Suwoto pernah mendapat juara pertama sebagai brand lokal terbaik se-Kebumen.
Titik Tertinggi
©Istimewa
Pada awal masa pandemi COVID-19, kerajinan anyaman Suwoto tidak terdampak. Justru pada saat itu ia mendapat langganan konsumen dari Malaysia.
“Pada saat pandemi ini justru omzet kami mencapai titik tertinggi. Kalau normalnya rata-rata omzetnya Rp40-50 juta per bulan, kalau waktu itu kami mencapai Rp150 juta,” kata Suwoto.
Omzet yang telah diperoleh kemudian dibagi lagi kepada para pekerja maupun warga desa yang ikut membuat produk. Total ada lebih dari 100 orang warga desa yang diberdayakan Suwoto. Tak hanya memberdayakan lewat pelatihan pembuatan kerajinan anyaman pandan, Suwoto juga memberdayakan mereka lewat pengolahan lahan. Suwoto mengajak mereka untuk mengolah lahan-lahan kosong untuk menjadi ladang tanaman pandan.
“Jadi sebelum ada lahan itu warga mengambil daun-daun pandan yang tumbuh liar di kebun. Kini mereka punya kelompok tani yang khusus menanam pandan. Dari hasil pertanian kami bisa memanennya sebagai bahan baku yang kemudian diolah menjadi produk kerajinan,” kata Suwoto.
Walaupun bisnisnya terus berkembang, namun Suwoto tetap ingin belajar dan terus memperdalam ilmu dalam dunia kewirausahaan. Ia pun bergabung untuk mengikuti program Pengusaha Muda Brilian yang diadakan oleh Bank Rakyat Indonesia (BRI).
Melalui program tersebut, Suwoto memperoleh ilmu bagaimana langkah-langkah membangun usaha dari bawah demi mencapai target bisnis di masa depan. Sebelum mengikuti program tersebut, Suwoto mengaku belum punya rencana yang jelas dalam membangun bisnis. Semua yang ia lakukan semata-mata untuk berdagang dan memperoleh penghasilan.
“Manfaat lainnya tentu memperluas circle pertemanan dari kalangan pengusaha. Selain itu membangun relasi dengan bank membuat akses permodalan jadi lebih mudah,” ujarnya.
Dalam membangun usahanya, Suwoto berharap ke depan punya rumah produksi sendiri. Selama ini produk-produk kerajinannya masih diproduksi di rumah pribadinya. Selain itu ia berharap produknya bisa terus berkembang mengikuti perkembangan zaman, dan dengan begitu tingkat kesejahteraan para perajin anyaman pandan di desanya makin meningkat.